Share

Rumah Tangga Hancur Karena Komunitas Grup
Rumah Tangga Hancur Karena Komunitas Grup
Penulis: Lala uniq

Awal Masalah

"Kang, mau ke mana kamu?"

"Cerewet! Apa setiap mau pergi, harus kuberitahu mau ke mana."

"Bukan begitu, Kang. Tapi ini sudah malam!"

"Justru karena sudah malam, sebaiknya kamu tidur, jangan banyak omong!" bentak kang Andi sambil berlalu pergi membawa jaket juga kunci motornya. 

Dua belas tahun berumah tangga, banyak ujian diawal pernikahan, karena terhalang restu orang tua. Kenalkan namaku, Evita. Usiaku 19 tahun, aku memilih laki-laki biasa dari kota Bogor, Kang Andi. 

"Vi, sepertinya mamahmu kurang suka terhadapku, maafkan Akang ya, belum bisa membuatmu bahagia," ucap kang Andi. 

"Jangan bicara seperti itu, Kang. Sudah cukup cinta yang akang berikan untukku dan aku cukup bahagia dengan itu."

"Tidak, Vi. Semua itu tidak cukup, Akang harus sukses, agar tidak direndahkan oleh keluargamu."

"Apa yang akan Akang lakukan? Evita janji akan mendukung Akang, agar Akang menjadi orang sukses."

"Terimakasih, sayang, Akang mau usaha Vi," ungkap Kang Andi. 

Sejak hari itu, dengan modal dari Bapakku, lalu suport dan kerja keras, aku dan suami berhasil sukses, hingga memiliki lima kios di mall besar di kota Bogor. 

Bukan hanya soal ekonomi, bahkan 

Perjuanganku untuk mendapat seorang anak pun tidak mudah, karena hingga 8 tahun pernikahan aku baru dikaruniai seorang anak, alangkah bahagianya aku, mendapat seorang putra yang lucu dan ganteng, tentu itu membuat rumah tanggaku semakin harmonis. 

______

Kala covid melanda dan dijalankannya PSBB, di mana mall tidak boleh buka, jadilah usahaku dan suami agak tersendat, di sanalah sedikit-sedikit terjadi cekcok dan pertengkaran antara kami, karena kurangnya komunikasi. 

Terlebih setelah suamiku mengikuti salah satu komunitas grup, aku tidak mengerti kegiatan mereka, suamiku selalu pulang malam, dengan bilang rapatlah, ulang tahun temen grup lah, kumpul-kumpul ngga jelas dan seringnya senyum-senyum sendiri ketika melihat ponsel. 

"Kang, ada apa, kok senyum-senyum sendiri?" 

"Ini loh, Bun. Anak-anak becandaannya lucu banget."

"Anak-anak, siapa maksudnya?"

"Oh, iya. Akang lupa bilang, sekarang Akang ikut kegiatan di komunitas, Bun. Visi misinya benar-benar bagus, loh. Banyak membantu orang lain."

"Benarkah seperti itu, Kang?"

"Tentu saja, orang anggotanya saja orang-orang yang paham agama, kok," ucapnya yakin. 

Dia selalu menghindariku ketika ada hal serius tentang bisnis yang ingin kubahas, makin ke sini makin terlihat ogah-ogahan

dalam menjalankan usaha kami, padahal ada beberapa karyawan yang bergantung hidup pada kami. 

Izin berangkat pergi ke kios nyatanya entah ke mana, kulihat akun media sosial suamiku terpampang jelas fotonya dengan beberapa ibu-ibu yang memang usianya lebih tua dariku namun berkelakuan layaknya ABG, jujur aku jengah melihatnya, terlebih melihat senyum semringah suamiku yang seolah menikmati kebersamaan itu. 

"Kang, bisa kita bicara? Bagaimana dengan pendapatan kios kita?"

"Sudah tahu sekarang mall tidak boleh buka, kamu malah tanya itu."

"Tapi kan, kita bisa jualan scara online."

"Iya kalau itu, kamu sajalah yang atur, kamu lebih paham pastinya," ucapnya sambil berlalu pergi. 

Dia lebih mementingkan kegiatan sosialnya, daripada membahas soal usaha yang sedang dijalankan, yang membuatku kesal, dia sering berboncengan dengan Ara, seorang janda. Sudah cukup banyak foto-foto kedekatan kang Andi dengan Ara. Awalnya aku berpikir positif, sampai akhirnya siang itu.

"Bun, Ayah mau pergi ke setu(danau) dulu, yah, sama teman komunitas," ucap kang Andi

"Tapi, Kang. Kasian si Aa (anak kami) sepertinya dia sudah lama ngga kita ajak main."

"Kan, bisa lain kali, Bun. Kegiatan ini untuk perkenalan antar anggota, supaya silaturahmi kami semakin terjaga."

"Tolonglah kang, kali ini saja, sepenting apa acara itu, bukankah tiap malam juga Akang ikut kegiatan, masa hari minggu pun harus pergi sama mereka lagi?"

"Sudahlah, Bun. kamu jangan cerewet! Aku pergi."

"Tapi, Kang …! Akang …." Belum juga kuselesaikan kalimatku dia sudah pergi lagi. 

Diapun berlalu meninggalkanku dan pergi dengan sepeda motornya, lagi-lagi kulihat foto-foto kebersamaan mereka. Kang Andi dan Ara, mereka benar-benar seolah kembali layaknya ABG lupa dengan status dan umur. 

Apakah begini silaturahmi yang baik, sementara anak dan istri terabaikan? Aku bukan wanita yang pengekang andai memang kegiatannya membawa hal positif aku akan mendukungnya, namun nyatanya kang Andi lebih memilih dengan teman-teman komunitasnya dari pada menghabiskan waktu dengan anak istrinya. 

Beberapa kali aku tegur, kang Andi malah menjadi. Puncaknya hari ini anakku sedang kurang sehat aku memintanya untuk menemani kami, tapi dia kembali meninggalkan kami bahkan dengan membentak-bentak. 

"Kang, Aa sakit, antar kami ke dokter ya?"

"Kenapa sekarang kamu manja, Vi. Biasanya juga bawa sendiri, sudah kamu pergi saja sendiri sana."

"Loh, memang Akang mau ke mana?"

"Bukan urusan kamu, dasar wanita sialan!"

Aku yang sakit hati mengancamnya untuk pulang kerumah orang tuaku, bukannya melarang dia malah mempersilahkanku pergi. 

"Baik, kalau sikap Akang seperti ini lebih baik aku pulang."

"Pulang sana, kamu pikir aku perduli!"

Sampai satu bulan aku di rumah orang tua, tidak ada inisiatif dia untuk menjemputku, malah rumah kami yang di Bogor dijadikan sarang perkumpulan mereka, bagaimana aku tidak meradang. 

Kang Andi bilang teman-teman satu komunitasnya kebanyakan orang yang paham agama, kegiatannya pun positif menjenguk orang sakit, menyantuni anak yatim, juga berbagai kegiatan sosial lainnya, paktanya yang kulihat dari akun medsos komunitas itu sendiri, malah banyak kumpul, makan, dangdutan. 

Hiburan-hiburan ngga jelas. 

Di mana letak positifnya, kalau dia saja mulai tidak perduli dengan keluarganya. 

Saat malam putraku satu-satunya mengalami demam, dia terus menerus menyebut ayahnya, meski rasa gengsi menyelimuti, akhirnya kukalahkan egoku, malam itu aku menghubunginya. 

Tuuuut ...Tuuuut…. 

Tak lama telpon diangkat. 

"Kang, Aa panas dari tadi dia panggil-panggil nama kamu, tolong Kang kamu segera datang."

"Salah sendiri, kenapa kamu pulang kerumah orang tua kamu, sekarang seenaknya nyuruh aku datang!"

"Ya ampun, kita ngga usah bahas masalah kita, tolonglah kamu mengalah lihat sebentar anak kita," pintaku memelas

"Kamu pikir dekat apa dari Bogor ke Banten! Sudah jangan ganggu aku."

Tuuuuuuuuttt

Tiba-tiba telpon dimatikan. 

Esoknya kulihat status watshap salah satu teman suamiku yang satu komunitas, di sana kang Andi nampak bahagia berfoto bersama di pantai Pelabuhan Ratu. 

Ya Tuhan … hatiku menjerit kenapa dia malah pergi rekreasi sementara anaknya sakit dan butuh dia. Namun dia tidak perduli, dan yang semakin membuatku meradang, lagi-lagi foto dia bersama Ara terpampang di beranda F******k komunitas itu.

Akhirnya kuberanikan diri menghubungi orang-orang yang berpengaruh di komunitas itu, hasilnya, nihil. Satupun tidak ada yang menanggapi, dan menganggap aku cari perhatian saja. 

Karena kesal akhirnya kuputuskan membuat surat terbuka di beranda F******k agar semua anggota komunitas itu membacanya betapa ada seorang istri yang merasa terganggu dengan kegiatan-kegiatan mereka.

Benar saja hal ini memancing kemarahan suamiku. Dia merasa aku permalukan karena menyangkut pautkan masalah rumah tangga dengan komunitasnya. 

Seketika dia menghubungiku. 

Trininnggg.... 

"Hallo, Yah, a-." Belum juga kuselesaikan kalimatku. 

" Heh, dasar wanita sialan, kurang ajar, tidak tahu diri, kamu sengaja bikin aku malu, posting-posting masalah di F******k. Ingat yah, mulai saat ini dan selamanya kamu tidak perlu menginjakan kaki lagi ke Bogor, saat ini juga, aku talak kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status