Aku memasukkan alamat rumah Anna dari kartu nama yang diberikan Mas Haidar ke g****e Map, dan mengikuti arahannya, tidak terlalu jauh dari sini, hanya 45 menit sudah bisa sampai.
Navigasi berhenti di depan rumah mewah dan besar. Tidak salah! ini pasti rumahnya, rumah bos, wajarlah jika sebesar dan sebagus ini.Seorang satpam datang menghampiri, aku turun dan memutuskan untuk bertanya dari pada salah masuk kandang dan nggak bisa pulang? kan berabe, “Maaf Pak, apakah benar ini rumahnya Ibu Anna?” tanyaku, meski dalam hati yakin ini rumahnya.“Benar Bu, apakah Ibu mau bertemu Ibu Anna?” tanyanya balik.“Benar, tolong sampaikan kalau Kirana mau bertemu.”“Siap, Bu! saya sampaikan dulu.” Satpam itu bergegas masuk ke dalam, tak lama ia pun kembali dan membuka gerbang, aku masuk dan memarkirkan mobil di halaman rumah.Halamannya pun sangat luas, kira-kira cukup untuk menyimpan 10 mobil, dikelilingi dengan berbagai warna bunga lili yang sedang bermekaran, indah sekali.Perlahan aku berjalan menuju pintunya, seorang perempuan berjubah hitam dengan penutup wajah berjalan tergesa, “Kiranaaaa,” sapanya, sembari melebarkan tangan.Aku menghambur dan memeluknya, “Ops, dede bayinya?” Tubuhku terhalang oleh perut Anna yang sudah membesar.“Hahaha …." Kami pun tertawa, lalu berpelukan jauh dan cium pipi kiri kanan.“Bagaimana kabarmu?” ucap Anna sembari mengapit tanganku untuk masuk.“Alhamdulillah aku baik-baik saja, Na,” jawabku tidak berhenti takjub dengan perubahannya. "Kamu makin cantik aja Na." Tambahku.“Alhamdulillah, aku hanya mencoba menutupi aurat dan kekuranganku saja,” jawabnya merendah, padahal jika dilihat dari daerah sekitar mata, Anna memang masih terlihat sangat cantik, selalu terpancar rona bahagia dari setiap kata yang ia ucapkan.“Aku mau mengembalikan ini,” ucapku pelan, menyodorkan bungkusan berisi jas Mas Haidar.Anna menerima bungkusan itu dan menyimpannya di atas lemari kecil, lalu ia kembali duduk di sampingku, “Aku sangat sedih mendengarnya Kiran, bagaimana mungkin suamimu bisa memperlakukanmu seperti itu?” Tangannya mengepal punggung tanganku kuat.Aku mencoba menahan tangis. Namun, selanjutnya tidak dapat kutahan lagi, saat Anna mengelus rambutku dengan penuh cinta, “Kamu adalah perempuan baik Kiran, jangan bersedih! Allah hanya ingin memberi kesempatan untukmu agar bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik,” Suara Anna lembut dan mendayu hingga menghujani hatiku yang gersang.Aku hanya bisa menangis dan tergugu di pundaknya.“Cante, cante, udah besal ko masih nangis, sih?” Seorang anak perempuan tiba-tiba menarik-narik baju yang kukenakan.Aku meliriknya dan segera mengusap air mata, ternyata ada bidadari kecil di hadapanku sekarang.“Kalau cante nangis teyus nanti cakit.” Tangan mungilnya mencoba meraihku, menghapus jejak-jejak air mata di pipi.Aku semakin terharu dan malah menangis tersedu, anak itu ketakutan dan berhambur pada Anna.Anna mengelus punggungnya untuk menenangkan, dia menatapku yang sibuk menyeka air mata, tetapi terus saja keluar, “Boleh nggak tante punya anak kaya kamu?” tanyaku sambil membuka tangan, berharap dia mau dipeluk.Anak itu meraih jemari dan pindah kepelukanku, “Cante belum punya anyak kaya, Bubu?” tanyanya polos.Aku menggeleng pelan. Hatiku sangat sakit ketika mengingat pesan Mas Irawan yang mengatai aku perempuan mandul dan akan hidup sendiri selamanya.“Kalau begitu, anyak-anyak Bubu, boyeh jadi anyak cante, iya kan Bu?” tanyanya meminta persetujuan Anna.Anna mengangguk pelan, dan mengusap rambutnya, “Khaira bisa main dulu sama bibi ya, Bubunya mau bicara dulu sama tante, boleh?” pinta Anna lembut.Khaira mengangguk dan berlari ke arah bibi yang mengasuhnya.“Masya Allah Na, cantik sekali Khaira, berapa tahun usianya?”“Baru 2,5 tahun Kiran.”“Bukannya kamu menikah sudah 6 tahun, ko Khaira baru berusia 2.5 tahun?” tanyaku sedikit heran.“Sebelum lahir Khaira, kami dikarunia seorang anak laki-laki, tetapi Allah mengambilnya kembali ketika usianya menginjak 6 bulan, aku sempat trauma dan menunda memiliki anak, hingga setelah 3 tahun baru siap memiliki anak lagi,” jelasnya.“Alhamdulillah, Na, aku sangat senang dengan beritamu yang sedang mengandung anak kedua. " Aku mengelus perutnya yang sudah besar dan berisi.“Suatu saat nanti Allah akan memberimu anak juga dari keturanan yang sholeh, Insyaallah,” jawabnya.“Aamiin. Aku sangat ingin jadi Ibu,” jawabku lirih, “terimakasih.”“Terus, bagaimana keputusanmu sekarang?”“Aku memutuskan untuk berpisah dan menggugat cerai Mas Irawan kalau ia tidak memberiku talak. Sementara itu, aku akan mencoba melamar pekerjaan lagi.”“Apapun keputusanmu akan selalu kudukung. Mungkin Mas Haidar bisa membantu kalau kamu ingin bekerja lagi, dengan pengalamanmu menjadi manager bukan hal yang sulit untuk kembali ke ranah perkantoran.”“Tidak, aku takut merepotkan suamimu,” tolakku lembut. "Selain itu, Mas Irawan kerja di sana.”“Mas Haidar bisa mengeluarkannya kalau kamu mau, ia sedang menunggu keputusanmu untuk itu.”“Aku takut pembalasanku berlebihan kalau tidak memaafkannya. Selain itu, Ibu Mas Irawan sangat baik, aku tidak enak kalau sampai ia tahu anaknya jadi pengangguran karena aku.”“Kamu memang perempuan luar biasa, Kiran,” Anna kembali mengepal jemariku.“Jadi, Mbak Kiran mau memaafkannya saja?” aku terperanjat saat melihat Mas Haidar masih ada di rumah dan sedang berdiri di samping kami.“Mas Haidar, belum berangkat kerja?” tanyaku sedikit malu.“Sedang tidak enak badan, tadinya mau libur, tapi ada rapat penting yang harus di hadiri,” jawabnya, “Saya punya pekerjaan yang pas untuk Mbak Kiran kalau sudah siap bekerja lagi, dan untuk Mas Irawan, meskipun Mbak Kiran memaafkannya, saya tidak bisa membiarkannya tetap ada di jabatan itu, dia harus mulai dari bawah lagi, agar bisa menghargai orang lain." Sambungnya.“Begitu ya Mas? kalau begitu biar Kiran pikirkan dulu.”Anna berdiri dan merapihkan dasi yang dikenakan Mas Haidar, “Jangan terlalu lelah, nanti kamu drop lagi,” ucapnya pada Anna. Aku mengerutkan alis, kenapa Mas Haidar berkata seperti itu, apa mungkin Anna sedang sakit?“Iya Mas, tekanan darah naik saat hamil itu biasa, aku baik-baik saja." Belanya.Anna mengapit lengan suaminya dan berjalan keluar bersama. Aku mencuri pandang, bagaimana Mas Haidar memperlakukan pasangannya. Dia mengecup kening istrinya dan berbicara pada janin yang dikandung Anna. Sungguh pemandangan yang tidak pernah aku rasakan selama bersama Mas Irawan.Kukira pernikahan itu sama, menyatukan dua orang yang berbeda, tetapi aku salah, pernikahan bukan hanya sekedar itu. Pernikahan berarti menyatukan dua ego yang berbeda dengan saling mengerti ego sama satu sama lain.Anna kembali duduk setelah mengantar suaminya berangkat kerja, “Oh iya, sebelumnya aku minta maaf karena tidak bisa hadir dalam pernikahanmu hari itu, sebenarnya kami sudah sampai ke tempat resepsi, tetapi ketika turun, Mas Haidar tiba-tiba tidak enak badan dan akhirnya kami kembali, aku menemukan …," ucapannya terjeda, "sebentar aku ambilkan ya." Anna membuatku penasaran.Anna menyodorkan sebuah amplop, “Surat ini aku temukan di samping mobilku ketika kami turun, saat kulihat ada namamu tertera di sana, aku tidak berani membukanya, dan memutuskan untuk memberikannya di lain waktu, sepertinya ini waktu yang tepat,” ucapnya.Aku menggenggam surat itu, persis sama seperti yang pernah kudapat, dan saat kubalik ternyata pengirimnya adalah orang yang sama, ‘IR’?Aku menatap Anna, hati bertanya-tanya seolah tak percaya, kenapa surat ini ada di samping mobil mereka?Bersambung ....Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan band
Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah ya
Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl