"Mengapa kamu perlu tahu siapa prianya? Bahkan, saat kamu bersama wanita yang jauh di bawahku saja, kamu memintaku untuk mengerti," sahut Marissa.
Hati Tristan bergejolak, dia juga merasa tak bisa menerima jika istrinya memiliki pria lain selain dirinya. Membayangkan saja sudah cukup membuat Tristan merasa sakit hati. Hingga dia menuntut sebuah kepastian dari Marissa sebenarnya siapa pria yang Marissa bicarakan."Kamu membuatku semakin pusing, aku datang untuk buat kesepakatan saja. Mengapa kamu menantangku akan berselingkuh?" desak Tristan."Ini bukan sebuah tantangan, Tan. Saat kamu mengaku jika kamu punya wanita lain, aku merasa aku harus memperjuangkan diriku sendiri," balas Marissa."Dengan membalas perselingkuhan yang aku lakukan?" tanya Tristan."Jika kamu keberatan, ceraikan aku," ujar Marissa dengan cukup jelas."Tidak, Rissa. Tidak akan ada perceraian sampai kapan pun," sahut Tristan menolak.Marissa diam tak b"Kalian bertentangan?" tanya Naren saat melihat adiknya tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya Naren sudah tahu apa yang terjadi antara adiknya itu dengan Marissa. "Aku gagal mengambil hatinya," lirih Tristan. Entah apa yang terjadi, Naren dan Tristan menjadi dekat sekarang ini. Mereka berdua banyak mengobrol dan banyak bicara berdua semenjak sang ayah sakit. Mereka juga sering bertukar pendapat. Tak bisa dipungkiri jika rencana sandiwara itu adalah menjadi sebuah rahasia umum antara dia dan Naren. Sehingga tak perlu banyak cerita, Naren sudah cukup mengerti. "Sangat sulit untuk mengatakan jika ini mudah, Tan. Pasti sulit," kata Naren. "Sebenarnya tak sulit jika Marissa berpikir ini hanya sementara," balas Tristan. "Hai, hubungan kalian ini bukan hubungan main-main. Ini pernikahan, Tan," bentak Naren. Tristan mengangkat kedua bahunya, dia mengisyaratkan jika sebenarnya dia tak begitu peduli dengan hubungan yang dia d
"Tidak, Pa. Aku ada keperluan sebentar. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Marissa," dusta Naren pada ayahnya.Pria itu meninggalkan begitu saja ayahnya yang berdiri penuh dengan tanya itu. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menghindar. Sembari menuju mobilnya, Naren merogoh ponsel dalam sakunya. Dia segera menempelkan benda pipih itu ke telinga."Aku segera datang." Kalimat itu begitu jelas Naren ucapkan. Hal yang begitu serius itu membuat Tuan Baruna menjadi bingung. Sudah ada kecurigaan di dalam hatinya selama ini, tapi tak dia ungkapkan karena merasa tak ingin membuat keadaan menjadi keruh. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda. Ada hal yang begitu mengganjal di dalam hatinya dan itu terasa sangat nyata."Rissa, aku tak bisa ikut denganmu ke hotel. Aku yakin Papa akan meminta seseorang untuk mengikutiku. Aku begitu ceroboh karena bergegas keluar setelah kamu pergi keluar," jelas Naren.Marissa yang mengemudi dalam keadaan yang cukup k
"Aku siap berpisah dengan Naren jika kamu menutup hubunganmu dengan wanita itu," lanjutnya dalam hati.Mereka berdua masih tak bisa menyelesaikan apa yang terjadi di masing-masing pihak. Yang ada hanya sebuah keadaan yang sampai saat itu tidak bisa disepakati oleh Marissa dan Tristan."Apa sudah ada pria lain yang kamu katakan seperti hari itu?" tanya Tristan."Bukankah itu rahasia? Kamu juga merahasiakan segalanya, jadi apa kamu perlu tahu tentang apa yang terjadi padaku?" Marissa mengelak.Saat ini memang Tristan masih belum tahu apa pun tentang hubungan Marissa dan Naren, sehingga mereka berdua masih cukup aman."Sampai kapan mau seperti ini, Rissa? Lalu apa yang akan kamu lakukan setelah aku memberikan semua ini padamu?" Tristan merasa sudah terdesak oleh keadaan."Siapa yang peduli? Aku bahkan bisa membeli ini semua tanpa uangmu. Seharusnya kamu tahu hal itu," katanya ketus."Lalu aku salah melakukan ini untukmu?" t
"Sudah, Tan. Jangan seperti anak kecil. Salahmu sendiri yang membuatku terkejut dengan berita jika kalian akan segera menempati rumah baru. Kapan kamu membelinya?" Naren memisahkan Marissa dan Tristan yang terlibat cekcok kecil. "Tidak penting kapan aku membelinya, yang jelas aku dan Marissa setuju untuk segera menempati rumah itu," balas Tristan. "Ah, sungguh?" Tuan Baruna menimpali. "Rissa, katakan apa yang Tristan maksud itu benar," seloroh ayah mertuanya. Marissa mengangkat dagunya dan memandang ke arah pria yang mengajaknya bicara itu. "Benar, Pa. Kami akan belanja untuk mengisinya dan kami akan segera berkemas," jawab Marissa. Hal itu membuat Tristan semakin senang, dia merasa menang dan Marissa dalam genggamannya. Walau tak mudah untuk dikendalikan, tapi Marissa cukup mengetahui jika semuanya tidak serta merta sebuah hal yang bisa dia anggap kecil dan remeh. "Jadi, kamu memutuskan untuk pindah? Apa yang kamu inginkan, Rissa?"
"Seperti apa pun akhirnya, inilah adanya," ujar Marissa. Naren menjadi kesal, niat membicarakan hubungan penuh dengan cinta dan ingin menemukan jalan keluar terbaik, nyatanya justru berbalik. Mereka berdua silang pendapat dan justru terlibat salah paham. "Kamu memanfaatkan aku?" tanya Naren. "Tidak sama sekali, kita menjalani hubungan ini dengan kesadaran dan dengan segala konsekuensi atas apa yang akan menjadi masa depan kita, Naren," jelas Marissa. Dengan sadar, Marissa memang ingin mulai menutup hubungan mereka berdua. Dia mencobanya secara perlahan karena mengetahui bagaimana Naren akan bertindak. Pria itu tak akan pernah melepaskan Marissa apa pun alasannya. "Hadapi aku dulu jika kamu memilih untuk tinggal bersama suamimu di rumah lain, Rissa." Naren menimpali. "Naren, aku tahu ini akan terjadi." Marissa sudah tahu apa yang akan Naren lakukan padanya. "Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat saat suamiku
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan