Share

13. Apa yang Keluargaku Sembunyikan?

 “Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling.

 “Terima kasih, Pak.”

Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya.

“Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.”

Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak.

“Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu aku pegangin sepeda yang mau rubuh, sampai gesit juga parkirkan,” timpal istri Pak Haji sambil terkekeh, beliau sekarang ikut duduk di tikar ini setelah membuatkan teh.

Hatiku menghangat. Jika ada yang memuji diri rasanya sulit dipercaya. Hampir semua anggota keluarga menganggapku anak nakal, bodoh, dan banyak kata lain yang membuatku merasa kecil. Sudah lama diam saja, saat kepala ini sering jadi sasaran tempelengan, dorongan, dan sekaranglah aku harus berani melawan.

“Bapak mau tau, Sekar, kamu itu sebenarnya tinggal di mana? Apa benar lari dari rumah?”

Setelah isi mulut kosong kusebut nama lengkap plus binti, nama Bapak di belakangnya. Menjelaskan sedikit kalau aku memang tinggal sendiri.

Pasangan berhati baik ini terlihat terkejut. Pak Haji terdiam sebentar, menyeruput tehnya.

Kami ini ada di rumah kecil di sisi belakang, dekat tempat wudhu masjid, Pak Haji tinggal bersama istri dan dua cucunya usia remaja.

 “Berarti … kamu ini anaknya Saodah yang jual kain di pasar itu?” ujar Bu Haji setengah bertanya.

“Iya, Bu Haji kenal Ibu?”

Ditatap pemilik mata kecil itu aku lekat-lekat.

“Dulu pernah tetangga, kami tinggal di rumah ujung jalan, dekat warung, sebelum pindah ke sini.” Pak Haji yang menjawab.

“Berarti adiknya Winda ini, ya, Bu?” tanya lelaki itu kemudian pada istrinya.

“Itu Rana, Pak. Ini kayaknya yang bungsu, ya?”

Aku mengangguk, menyelesaikan suapan terakhir, lalu minum. Mendengar mereka mulai membahas keluargaku tanpa mengungkit aib kami, rasanya bertambah lega. Entah mereka benar tidak tahu ataukah pura-pura saja, yang pasti aku nyaman ada di sini, merasa jadi manusia yang tetap dihargai privasi-nya.

Namun, kemudian terbit lagi rasa penasaran lama, apalagi melihat Pak Haji dan istrinya saling tatap penuh arti.

Apa mereka tahu cerita masa kecilku …?

 Kecurigaan makin kuat saat mereka mengalihkan pembicaraan, jadi bahas tentang Ummi yang memang dikenal sangat baik oleh hampir semua orang di kota ini.

“Sekar, masih sering ziarah? Masih suka doakan Ummi Nur, ‘kan?” Bu Haji bertanya dengan nada lemah lembut.

 “Iya, Bu Haji. Tiap bulan pasti ada ke makam.” Senyum mudah kukembangkan kalau membahas Ummi. Sosok yang sangat sederhana. Sampai sekarang makamnya terawat, dan selalu harum dari taburan bunga para peziarah.

 “Kalau doakan pasti hari-hari, sering kangen. Semua ceramah Ummi juga kayak masih ada di kepala,” ujarku lagi sambil memandangi kedua orang tua itu mengangguk-angguk, seperti menyetujui kalimatku.

“Alhamdulillah, kamu beruntung pernah merasakan hidup bersama Ummi Nur. Itu bekal yang sangat berharga buat hidup kamu ke depannya.”

Bu Haji kemudian seru menuturkan saat aku TK dan SD sering diikutkan Ummi dalam lomba Dacil (Dai Cilik). Kata beliau aku sangat percaya diri di panggung, meniru ceramah-ceramah Ummi, bicara bak orang dewasa.

Tersipu, sebagian aku ingat masa itu, saat diri belum malu-malu. Kalau tak salah sampai kelas 3 SD masih berani tampil. “Iya, itu gara-gara Ummi kadang ceramah sambil mangku saya, Bu Haji.”

“Masyaallah, jadi ini si Sekar Dewi, yang pernah kita juluki ustazah cilik itu, Bu?” tanya Pak Haji setengah kaget, ternyata beliau tadi diam-diam untuk mengingat siapa aku.

“Itu dulu, Pak Haji. Sekarang Sekar sudah banyak jeleknya,” tanggapku.

“Ah, jangan bicara begitu. Tetaplah berprasangka baik, Nak. Semua pasti ada hikmahnya.”

Masa bersama Ummi sempat sangat menyenangkan, tapi berubah saat aku tahu siapa Ibu dan siapa bapakku. Bukanlah Ummi ataupun Abi yang kusayang. Kelas 3 SD masa berat, yang membuatku bingung dan lebih banyak diam saat Bapak mencariku, lalu terbukalah semua.

Sejak itu diam-diam aku mendengarkan apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan, takut menanyakan pada siapa pun apa sebenarnya yang terjadi. Sampai setahun kemudian Ummi menawarkanku kembali ke Ibu. Aku cuma bisa menangis, menolak, tapi tidak bisa apa-apa.

Pernah juga aku ‘dilempar’ ke rumah Bapak yang hidup di hutan trans dengan keluarga lain dan juga anak kecil yang harus kupanggil adik.

“Bu Haji …” Aku menelan saliva yang terasa perih.

Ragu.

Ini mungkin saatnya aku bertanya … ataukah memilih diam saja dan hanya menatap ke depan?

Ibu juga seolah tak menganggapku lagi … lalu buat apa …?

Minum lagi, lalu kutarik napas panjang.

“… apa boleh saya nanya?”

Tampak serius kedua pasangan itu melihatku.

“Bu Saodah itu … ibu kandung saya, apa bukan?”

Pertanyaanku membuat Pak Haji tersedak. Terbatuk-batuk tanpa henti, beliau segera bangun sambil angkat dua tangan ke atas, seakan melegakan napasnya. Istrinya juga ikut sibuk menepuk-nepuk punggung Pak Haji.

Aku masih terdiam melihat dua orang tua ini bersikap sedikit aneh, sampai mereka kembali duduk. Seperti sengaja menghindar jawab pertanyaanku.

“Bu Haji, dulu katanya sempat tetangga dengan Ibu, pasti Bu Haji, dan Pak Haji tau. Saya kayak anak ayam hilang induk ... kenapa Ibu sampai saudara-saudaranya kelihatan nggak suka Sekar? Ummi nggak pernah cerita apa-apa dulu.”

Tidak ada nada sedih dalam suaraku, seolah ini tentang orang lain. Ya, mungkin aku memang tak punya ikatan hati dengan Ibu. Dulu saat bersama saja aku berusaha menyayanginya, tapi itu sebatas hanya patuh pada pesan Ummi untuk menghargai Ibu. Padahal di dalam hati, posisi Ummi belum bergeser meski raganya sudah tidak ada.

Beberapa saat kemudian, setelah tercenung lelaki tua itu membuka suara, mengatakan aku memang anak Ibu, tapi seakan mengindar dengan menanyakan Bapak.

"Apa sampai sekarang kamu belum pernah dengar kabar lagi dari Pak Sugi?”

Pak Haji menyebut nama Bapak, aku menggeleng.

“Terakhir ketemu waktu Bapak ke rumah, sebelum Sekar lulus SD tapi dilempar Ibu pakai ember .…”

Tiba-tiba panas dan perih lagi mata ini bila ingat kejadian itu. Bapak diusir saat menemuiku. Duit yang digenggamkannya ke tanganku jadi berhamburan, telapak tangan ini dipukul Ibu berkali-kali. Ibu menolak Bapak, mengusirnya dengan sumpah serapah, kalimat buruk yang sama saat marah padaku. Sejak itu Bapak tak pernah terlihat lagi.

“Ya, ya … kita juga sudah lama tidak ketemu lagi. Bapakmu sempat tinggal di trans. Kenal dekat ya pas kecilnya Winda sama Rana.”

Bulir air mata kuusap dengan ujung kerudung. Keluarga Ibu dan Bapak banyak menyimpan misteri bagiku, ternyata bagi yang lain juga, tapi akulah yang nyata menjadi korbannya.

“Pak Haji, kalau Sekar nikah apa Bapak wajib jadi wali? Kalau tidak ketemu Bapak, apa pernikahan Sekar tidak sah?” Teringat Yandi, maka timbullah pertanyaan ini.

“Tentu, Nak Sekar. Bapakmu adalah walimu yang utama, kecuali ada pemberian wewenang untuk diwakilkan.”

Aku menyimak. Teringat saat Kak Rana dan Kak Winda menikah, wali mereka kakek saat masih hidup. Bapak kandung kedua kakakku itu suami pertama Ibu, meninggal saat Kak Rana kecil. Bapak adalah suami kedua Ibu.

Dari Pak Haji ini kutahu, setahun setelah kehilangan suami Ibu menikah dengan Bapak, lelaki perantauan yang bekerja serabutan, tapi sangat bertanggung jawab pada anak-anak Ibu. Keributan mulai ternyata sebelum Ibu hamil aku.

“Kita tidak ada yang tau masalahnya apa, ibumu sering ribut dengan bapakmu ya sejak itu. Tetangga cuma bisa melerai. Bapakmu pergi, tak lama pulang lalu ya ribut lagi. Sampai kamu lahir. Kami tidak bisa ikut campur banyak, Sekar.”

Nyeri.

Kata itu saja tak mampu menggambarkan sakitnya dalam hati. Perpisahan orang tua menjadi misteri yang menyimpan banyak ranjau untuk hidupku, tiap ku melangkah ada saja yang melukai, amarah Ibu yang bertubi-tubi. Sumpah serapahnya menganggap aku bukan anak, padahal nyata aku anaknya.

Apa sebenarnya yang Ibu sembunyikan ...?

Kenapa seorang anak hanya diminta diam dan menurut, tanpa penjelasan?

Aku juga anak yang diciptakan punya akal, bisa menanyakan ini kenapa, itu kenapa. Meski aku tak pernah berani menanyakan langsung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status