Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan.
Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini.
Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H
“Sekar masih belum selesai?” Tatapan prihatin teman sebelah, melihatku yang masih tegang di belakang mesin jahit. Aku merasa lamban dibanding mereka. “Belum, Mbak,” jawabku lemah. “Maaf kita nggak bisa nunggu, ya.” “Iya, nggak apa, Mbak.” Aku mendongak sambil tersenyum, lalu kembali menggerakkan jari yang terasa mulai kebas. Mereka satu persatu pulang, aku cuma bisa melirik, menahan perasaan cemas akan tertinggal lagi sendiri. Tugas wajib selesai, kalau tidak mungkin aku gagal, dan siap-siap ditendang keluar oleh si Kulkas. Harus tetap fokus. “Belum selesai juga?” Kuangkat wajah, baru menyadari ada lelaki berkemeja putih berdiri tak jauh dariku. Dia ini yang kusebut Kulkas itu. “Belum, Pak." A
“Yandi kah?” tanyaku lagi. Salma menggeleng. "Nggak kenal." Selain Yandi di sini aku nggak punya teman lain. … jangan-jangan Tante Mel ngikutin aku ke sini?! Lekas kutarik kerudung dari rak bawah lemari, bagian yang sukarela dibagi Salma untuk menyimpan pakaianku. Belum juga aku keluar, pintu sontak terbuka lebar tanpa diketuk, dan siapa yang muncul itu membuat jantungku melompat. Tante Mel, dan di belakangnya ada dua anak kos yang melihatku dengan wajah tegang. “Buat apa kamu masih pakai kerudung? Topeng!” “Tante?” “Tutup mulutmu. Siapa sudi dipanggil Tante dengan mulut busuk itu. Kamu pikir bisa nipu banyak orang lagi, hah?! Pakai pura-pura sok
Terulang lagi, sampai di tengah malam pekerjaanku baru selesai. Terdengar ketukan sepatu berhenti membuat napas sedikit tertahan. “Apa kamu sengaja lambat biar nggak pulang?” “I-ini sebentar lagi selesai, Pak.” Aku tak mengangkat kepala. Namun, tangan ini berhenti bekerja, bermaksud menghargai kehadirannya. “Benarkah? Lalu itu apa?” Terpaksa aku mendongak, melihatnya memandangi ranselku yang gemuk di sisi meja. “M-maaf, Pak. Saya dikeluarkan dari kos. Bu Kos mengira saya liar sampai pulang malam selama kerja di sini.” “Pulang pagi,” ralatnya. Aku meringis, menahan wajah panas. “I-iya, Pak. Pulang pagi, jadi mereka kira saya-” “Siapa yang tanya? Kemarin sudah diberitahu, bukan? Kalau lambat lagi kamu tahu konsekuensinya.”
“Ini ke mana, Pak?” Lagi, lelaki kulkas itu tak menjawab pertanyaanku. Tak lama mobil berhenti di halaman bangunan berlantai dua. “Turun.” “Pak ini kos?” tanyaku saat turun sambil memandangi deretan rumah yang sama persis bentuknya. Bukan kos, tapi ini ruko apa rumah? Masih bengong sendiri aku kaget merasa ada yang menarik ransel di tanganku. “Masuk, Mbak.” Kupandangi wanita berseragam hitam putih mengajakku masuk. “Sebentar, Mbak. Ini rumah siapa, ya?” tanyaku sembari memegang lengannya. Menahan langkah, wanita ini tersenyum melihatku yang takut masuk. “Ini rumah Pak Calvin.” “Hah?! Kenapa aku dibawa ke rumahnya?”
Kuambil beberapa lagi buntalan kertas, membukanya lalu memilih mana yang akan kuambil. Garis sketsanya sangat bagus. Aku mau bisa buat begini. “Sekar!” Panggilan salah satu pekerja di pintu dapur membuatku menoleh. “Ya, Mbak!” Aku segera memisahkan sampah yang berantakan. “Kamu cepat ke atas, dipanggil Pak Calvin!” “I-iya, Mbak, sebentar.” Lekas kuselesaikan pekerjaan. Tak lupa membawa puluhan lembar yang sudah kupilih, kertas ini kutaruh di kamar sebelum mencuci tangan dan bersiap ke atas. . . Woww, ruang di atas sini sejuk, banyak embusan angin dari jendela lebar yang dibuka penuh. Ruangan lega dan terang. “Di sana, Mbak.” Aku mengangguk pada perempuan berpenampila
Sampai di kamar, kubuka amplop, puluhan lembar uang merah lengkap dengan kertas rincian gajiku hampir dua minggu kerja. Mengejutkan lagi saat lihat tulisan uang lembur. Padahal itu kan karena aku kerja lemot. Baiklah, aku terima aja, ini kesempatan belanja pakaian pantas pakai saat kerja besok. Selepas Ashar, aku langsung mengganti pakaian, memakai sweater dan rok lebar, tak lupa kerudung instan. Uang kumasukkan dalam kantung rok yang lumayan besar, terbiasa tak pakai dompet, karena memang aku belum punya benda itu, hee. “Mbak Atun, di mana ya tempat beli pakaian kantoran gitu, tapi yang harga sedang.” Aku menemui Mbak Atun yang lagi menyiram tanaman di sisi kolam renang. “Baju kantor? Buat siapa, Mbak Sekar?” Wanita berwajah bulat ini bertanya tapi tampak matanya membulat, menggodaku. “Buatku, Mbak. Pak Calvin minta aku kerja d
Kutepuk punggung lelaki berjaket hijau ini. “Pak! Kok, beda jalannya?” “Lho, Bapaknya Calvin yang penjahit, ‘kan, Mbak?” Bapaknya Calvin? Penjahit?! “Bukan, Pak. Calvin itu nama yang punya. Rumahnya besar, nggak sampai di sini, tempatnya masih di dalam kota, Pak.” Aku melihat sekitar, tempat ini agak sepi, di depan sana ada rumah padat sedikit kumuh, sepinya kayak di kota asalku. “Di depan rukonya ada gambar jas besar, tolong Bapak antar aku ke sana aja.” Ingat di tempat kerja sebelumnya yang pinggir jalan besar, mungkin area mudah dicari. Aku minta diantar ke sana saja. “Alamatnya jalan apa, Mbak?” Waduhh, aku juga nggak tau di sana alamatnya!
Kepala terasa memberat seperti dibebani batu besar di bagian belakangnya. Kucoba buka mata, meringis sambil menyentuh kepala yang berdenyut. “Sekar?” Ringisanku terhenti mendengar suara seseorang di dekat telinga. Kupaksa lagi membuka mata. Melihat bayang samar mirip orang yang kukenal di depan muka. Kulebarkan mata melihatnya lebih jelas. “Sekar?” “Yan …?” “Kamu sudah sadar?” Ditepuknya pelan pipiku. Kupandangi matanya yang lelah, dengan wajah sangat khawatir melihatku. “Aku kenapa, Yan?” “Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu sampai ada di sini?” Yandi mengambilkan air teh, membantuku duduk untuk minum. “Mana kerudungku?!” Aku kaget menyadari kepalaku tanpa penutup