Share

Bab 3

“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya.

“Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar.

Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah bau keringat. Jadi aku memanggilnya persis setelah melewati gerbang sekolah.

Tidak seperti biasanya, pagi ini mentari belum menunjukkan dirinya. Langit masih berwarna kemerahan dihiasi awan-awan berwarna putih yang memenuhi langit. Sekolah nampaknya belum ada penghuninya, begitu sepi dan senyap. Ada beberapa petugas kebersihan yang sibuk menyapu halaman dan mengepel lantai. Sepagi ini, teras-teras kelas dan lapangan sekolah sudah terlihat bersih, hanya satu-dua bagian saja yang belum dibersihkan.

Kami menyusuri teras-teras kelas untuk menuju kelas. Seperti biasa, aku menoleh dan melihat ke dalam kelas yang pintunya terbuka. Kami melewati paling tidak delapan kelas—aku tidak benar-benar menghitungnya—kelas kami lumayan di belakang, tapi masih ada dua kelas lagi setelah kelas kami. Kelas-kelas yang aku lewati benar-benar masih kosong. Aku tidak tahu apa yang mereka kerjakan di rumah, hingga sampai kini belum berada di sekolah.

Syla membanting tas ke meja—bukan benar-benar membanting, tapi dia meletakkannya dengan kasar—dan diikuti pantatnya yang dia dudukkan di kursi. Aku duduk di kursi sebelahnya, meletakkan tas di atas meja dengan lembut. Aku mengamati keadaan kelas. Di depan sana ada papan tulis besar yang bersih—sudah dibersihkan sepulang sekolah, di atas papan tulis ada foto presiden dan wakil presiden yang dipisahkan oleh foto garuda pancasila. Di Pojok dinding sebelah kanan kelas ada jam dinding yang jarumnya bergerak normal, tidak hanya pajangan.

Di belakang kelas secara urut, ada alat kebersihan, rak sepatu, dan rak buku. Sesuai kesepakatan teman-teman sekelas, kami harus melepas sepatu ketika berada di dalam kelas—tidak termasuk guru. Sejak sebelum aku bersekolah disini, rak buku sudak ada di semua kelas walau kosong melompong. Itu merupakan program sekolah untuk meningkatkan literasi siswa. Rak buku bisa diisi buku apapun yang dimiliki siswa agar bisa saling meminjam dan berbagi bacaan. Tidak hanya asal ambil, perpustakaan kelas kami memiliki struktur dan peraturan yang jelas, sama seperti perpustakaan pada umumnya. Pundakku dicolek oleh seseorang tiba-tiba, aku menoleh.

“PR?” tangan Syla menengadah, menjulur ke arahku.

Aku menyerngit, PR? Ah, dia meminta buku tugasku? Aku membuka resleting tas, merogoh apa yang ada di dalam sana. Aku mengeluarkan tanganku ketika menyentuh sesuatu yang dibutuhkan Syla. Buku tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan sampul coklat diterima Syla.

“Lupa atau malas?” Syla meletakkan buku coklat yang sudah terbuka di atas meja. Tangannya cekatan mengambil buku yang juga bersampul coklat dan sebuah pena dari tasnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera menulis apa yang seharusnya ia tulis.

“Malas” Syla menjawab dengan mantap walaupun tangan dan matanya sudah bekerja. Aku kembali mengambil sebuah buku dari dalam tas, sebuah novel yang populer akhir-akhir ini. Aku meminjamnya dari perpustakaan daerah, sudah tiga hari novel ini ada di tanganku, hanya tinggal puluhan lembar lagi aku akan menyelesaikannya. Aku menyangga novel itu dengan tanganku agar dapat membacanya dengan nyaman.

Ini merupakan salah satu novel serial fantasi dari seorang penulis terkenal yang karyanya banyak disukai oleh para remaja. Aku menyukai penulis ini sejak setahun yang lalu, karena baru tahu saja. Tidak ada yang memperkenalkanku dengan penulis ini, dan tidak ada novel seperti ini di perpustakaan sekolah. Aku tahu penulis ini dari salah satu penulis idolaku, dan aku bersyukur bisa mengenal penulis ini.

Jam dinding di depan kelas menunjukkan pukul 06.01 waktu setempat. Aku sudah hafal di luar kepala jadwal keberangkatan teman-teman sekelasku. Sering, aku menjadi yang pertama, diikuti dengan Syla yang datang beberapa menit kemudian. Tidak jarang pula Syla menjadi yang pertama, seakan-akan kami berebutan gelar orang yang datang paling pagi di kelas. Sungguh, itu benar-benar lelucon terburuk sejauh aku mendengar. Mana ada orang yang bangga menjadi orang pertama yang berada di sekolah? Yang lebih aneh adalah, bagaimana mereka bisa tahu orang yang pertama kali datang padahal mereka tidak melihatnya sendiri?

“Selamat pagi, semua!” Aku melihat ke arah pintu, lalu fokus kembali pada bacaanku.

Dia Slamet, sesuai namanya dia seorang laki-laki yang tidak memiliki ciri khas orang Jawa. Orang Jawa dikenal banyak orang karena sopan santunnya. Nah, dia? Tidak sama sekali! Dia bahkan tidak sadar bahwa suaranya mengganggu Syla yang sedang berkonsentrasi penuh, keningnya berkerut, pertanda ia sedang menahan emosinya. Walau begitu, dia bisa bergaul dengan siapa pun dan punya banyak teman.

Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang.

“Lehermu kenapa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status