Dari semua hari di musim kemarau, Selasa ini langit tampak berwarna kelabu, berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya dengan matahari yang bersinar terik. Ibu-ibu yang tinggal di pemukiman kumuh segera berlari ke dalam rumah, membawa keluar benda apa pun yang dapat digunakan sebagai wadah, ada ember, bak mandi, panci, gentong air, bahkan botol air mineral pun dibuat untuk menampung air hujan. Sudah sejak tiga minggu yang lalu, sungai di belakang pemukiman mereka kering kerontang. Entah airnya menghilang kemana, membuat repot warga sekitar yang membutuhkan air.
Menyeberang laut, di sebuah pulau nun jauh disana, pohon-pohon saling merapat, nampak hijau tumbuh dengan subur seakan menandakan persediaan air tanah begitu melimpah. Namun, sama seperti mereka yang tinggal di pinggiran ibu kota, mereka yang berada di pulau-pulau tersebut juga mengalami krisis air. Bukan karena tidak ada air, tetapi kurangnya sarana dan prasarana penunjang untuk mendapatkan air dari dalam tanah.
Tes! Setetes air mulai turun menyentuh tanah. Teriakan-teriakan mulai terdengar, ekspresi bahagia terpampang jelas di wajah banyak orang, tarian sembarang mulai dilakukan seiring tetes air yang turun bertambah, anak laki-laki saling berlarian, mencoba mengambil alih bola yang terus menggelinding, sedangkan para anak perempuan kejar-kejaran ditengah hujan, diteriaki orang tua mereka untuk masuk kedalam rumah. Ah, pemandangan yang menyenangkan.
Langit semakin mendung, hujan semakin deras. Matahari yang semula bersinar terang di langit, menjadi tidak berbekas sekarang. Walaupun jam dinding di rumah-rumah penduduk masih menunjukkan pukul dua lebih dua puluh lima siang, suasana menunjukkan pukul dua dini hari. Semua orang yang berada diluar segera berlari masuk ke dalam rumah, hujan semakin lebat. Para anak laki-laki sebelum diteriaki orangtua mereka juga telah berlari ke halaman salah satu rumah penduduk. Mereka tidak akan pulang ke rumah, hanya menunggu hujan agak reda dan melanjutkan permainan.
Jauh di dalam hutan, suara napas yang terengah-engah terdengar jelas diantara suasana yang hening. Seorang wanita tengah berlari menyibak pepohonan, seorang diri tanpa membawa apa pun. Wanita itu berlari sambil sesekali menoleh ke belakang, ekspresi di wajahnya sudah tidak bisa dideskripsikan lagi. Wajahnya penuh air–entah air mata atau air hujan, rambutnya yang disanggul tampak berantakan. Suara dedaunan kering yang terinjak terdengar keras di belakangnya, wanita itu semakin mempercepat langkah kakinya.
Sayangnya, hujan yang turun ke bumi telah membasahi tanah hingga becek. Langkah kaki wanita yang berusia paruh baya itu mulai memberat, napasnya sudah tersengal. Wanita itu semakin panik karena tidak bisa mendengar apa pun. Telinganya hanya bisa mendengar suara derasnya air hujan yang bergesekan dengan daun-daun kering.
Wanita itu menoleh ke belakang. Selintas, terlihat ada bayang-bayang orang di balik pepohonan. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, ia mencoba menambah kecepatan langkah kakinya. “Tidak, kumohon. Bertahanlah.” Wanita itu berbisik lirih, menyemangati diri sendiri.
Langit benar-benar menggelap. Cahaya yang hanya sisa selarik sudah hilang, tertutup oleh banyaknya awan gelap. Wanita itu sedikit oleng. Tangannya dengan sigap meraba apa pun yang ada di dekatnya mencoba menyeimbangkan badan. Tangan wanita itu tidak dapat meraih apa pun, namun wanita itu bisa menyeimbangkan diri lagi dengan segera.
Kecepatan wanita itu tidak berkurang bahkan saat hampir terjatuh tadi. Jalanan mulai terasa menanjak, kecepatan wanita itu menurun dengan sendirinya. Wanita itu seperti tidak menyadari kondisi jalanan yang dilaluinya ini karena sempat oleng tadi. Namun, mungkin juga karena tidak adanya selarik pun cahaya yang menerangi hutan, wanita itu asal berjalan. Bayangan yang tadi mengejar di belakang wanita itu terjatuh saat berada di jalan yang mulai naik. Tidak butuh waktu lama, dia segera berdiri dan kembali berlari.
Ctar! Tiba-tiba sekelebat cahaya menyinari hutan. Arahnya berlawanan arah dari yang dituju wanita paruh baya itu. Walau sekilas, penampakan di depannya terlihat jelas. Di mana posisi pohon, bagaimana bentuk jalan, hingga bayangan di belakangnya yang terlihat samar-samar. Wanita paruh baya itu berteriak, bayangan yang ada di belakangnya terasa begitu dekat. Beberapa tetes air hujan masuk ke mulut wanita itu, membuatnya tersedak. Ia kembali oleng ke depan, walau begitu langkah kakinya malah bertambah cepat. Wanita itu menambah lagi kecepatannya sambil tersedak. Matanya awas menatap ke depan.
Wanita paruh baya itu tampaknya sedang berpikir, apakah ada kemungkinan kilat akan menyambar lagi? Jeder! Suara guntur menggelegar memenuhi hutan memekakkan telinga. Jarak waktu saat kilat menyambar dan suara guntur lumayan jauh ternyata, sepertinya sebentar lagi kilat akan kembali menyambar. Napas wanita itu semakin terengah-engah, kakinya bergetar hebat menahan beban tubuhnya. Dia masih berlari hanya karena pikirannya masih bekerja, pikirannya memaksa wanita itu untuk terus berlari. Dia akan segera tertangkap jika masih terus berlari dengan kondisi seperti itu.
Ctar! Kilat menyambar lagi. Pepohonan di depan wanita itu sangat terlihat posisinya, bayangan yang ada di belakangnya berjarak kurang lebih lima meter–sebenarnya posisinya masih sama dengan saat kilat pertama menyambar. Sepertinya bayangan di belakangnya juga kesulitan berlari dengan kondisi hujan deras dan jalan menanjak. Jeder! Kali ini gunturnya terdengar lebih cepat, juga lebih keras. Wanita itu sedikit terperanjat, kaget karena suara gunturnya yang dekat dengan telinga.
Sejak hujan mengguyur, kali ini hutan terasa paling sepi, tidak ada satu pun binatang yang bersuara. Wanita tua itu menghitung situasi dengan cepat. Di depan sana, mungkin berkisar 300 meter, sepertinya jalan akan mulai menurun. Tidak jauh dari situ seharusnya ada padang semak-semak. Sekali lagi, wanita itu berusaha menambah kecepatan langkah kakinya, meneguhkan diri agar dapat bertahan dan selamat.
Selagi berlari, tangan kiri wanita itu ia rentangkan agar tahu letak pasti padang semak di depannya. Sungguh, dia saat ini berharap agar segera sampai di padang semak dan mengakhiri pelarian yang tak kunjung henti ini. Sret! Wanita itu menyentuh dedaunan yang tidak tinggi. Tidak hanya beberapa helai, tapi banyak dedaunan. Benar, ini semak-semak.
Wanita itu segera masuk ke semak-semak, tidak lagi berlari lurus. Dia menggunakan kedua tangannya untuk meraba sekeliling, mencoba melewati semak belukar yang tumbuh rapat.Wanita paruh baya itu masuk agak jauh ke semak-semak. Kebetulan, semak-semak disini sangat luas dengan tinggi rata-rata seratus meter. Setelah dirasa agak jauh, wanita itu segera menunduk, bersembunyi dari bayangan yang mengejarnya. Tempat bersembunyi wanita itu sangat tidak nyaman, seluruh tubuhnya dikelilingi semak berduri. Hanya karena pakaian panjang yang wanita itu kenakan, tidak ada lecet yang berarti ditubuhnya.
Ctar! Kilat kembali menyambar, menunjukkan keseluruhan hutan secara sekilas. Wanita paruh baya itu menatap awas sekitarnya, berjaga-jaga atas kemungkinan terburuk. Semak belukar di sekitarnya ternyata sangat padat, jadi tidak terlalu kelihatan. Kira-kira dimana posisi bayangan yang mengejarnya saat ini? Dengan harap-harap cemas, wanita itu mencoba menajamkan telinganya. Berusaha mengalahkan suara derasnya hujan.
Percobaan pertama, suara hujan sangat dominan. Sulit sekali mengabaikan nyaringnya suara air jatuh yang bertabrakan dengan dedaunan kering. Wanita itu menghafalkan dan merenungkan suara yang memenuhi gendang telinganya dengan teliti. Lalu wanita itu mencari suara lainnya yang tersembunyi, berusaha sekuat tenaga menyibak suara hujan. Wanita itu mulai mendengar suara nyamuk di sekitarnya. Awalnya tipis seperti sehelai benang, lambat laun suara nyamuk terasa jelas.
Wanita itu kembali menajamkan telinganya. Jeder! Suara guntur menggelegar, sedikit banyak mengganggu konsentrasi wanita paruh baya itu. Ia memulai lagi berkonsentrasi. Kali ini tidak terlalu butuh waktu, wanita itu kembali bisa mendengar suara nyamuk yang ada di sekelilingnya. Hujan masih terdengar, namun hanya sebatas musik latar. Tak lama, wanita itu mendengarkan suara daun kering yang terinjak-injak. Suara itu sepertinya agak jauh dari lokasiku sekarang. Mungkin bayangan yang mengejarnya terus berjalan kedepan. Wanita paruh baya itu menghembuskan napas lega, bersyukur dia masih selamat.
Wanita paruh baya itu mendongak, menikmati air hujan yang menerpa wajahnya. Sudah berminggu-minggu hujan tidak datang, maka tak heran jika wanita itu juga menikmati hujan. Seharusnya saat ini, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan warga lainnya, memenuhi ember-ember di rumah dengan air hujan.
Srek srek! Tiba-tiba wanita itu menangkap suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering yang sudah basah. Wanita paruh baya itu kembali menajamkan telinganya, mungkinkah itu langkah kaki bayangan yang mengejarnya? Wanita itu harap-harap cemas, matanya mencoba menangkap bayangan apa pun yang bergerak. Tidak, mata wanita itu tidak bisa menangkap apa pun. Sedangkan bayangan yang mengejarnya terasa semakin mendekat. Wanita itu menahan napas, anggota tubuhnya ia pastikan tidak ada yang bergerak apalagi menimbulkan suara.
Perlahan-lahan, suara gesekan telapak kaki dengan dedaunan menghilang. Namun anehnya, suara itu tidak terasa menjauh dari tempat wanita itu sembunyi, suaranya menghilang begitu saja. Tunggu! Wanita itu mendengar samar-samar suara semak yang tersibak. Wanita itu memaksakan diri untuk tetap bersikap tenang.
Ctar! Kilat menyambar kembali. Wanita itu mendongak. Bayangan yang mengejarnya tadi ada didepannya. Wanita itu panik. Hutan kembali gelap, ia tidak bisa melihat apa pun lagi. Belum lima detik, kilat kembali muncul. Seseorang yang ada didepannya mengayunkan sebuah pisau. “TIDAK!”
“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya. “Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar. Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah
“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla. Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang. “Lehermu kenapa?” Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti. Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan
Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.