Share

SELUMBARI
SELUMBARI
Penulis: Tiyas Tuti

Prolog

            Tap tap tap. Suara derap langkah kaki menggema di sepanjang gang. Dengan kondisi yang sepi, suara langkah kaki itu terdengar keras sekali. Semua orang sudah masuk rumahnya masing-masing, meninggalkan semua hal yang telah terjadi hari ini dan bersiap memulai hari esok yang baru. Tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah walau untuk melihat bulan purnama yang bersinar terang. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Suhu malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tidak heran, karena ini musim kemarau.

Aku baru saja selesai membeli sebungkus nasi goreng dari perempatan jalan besar. Di waktu yang tidak lagi sore, tiba-tiba perutku merasa lapar, memaksaku untuk mencari makanan meskipun baru beberapa jam yang lalu selesai menyantap bakso. Jalanan lengang, lampu-lampu jalan mati, membuatku agak sedikit risau. Namun, semua itu sirna ketika Dewi Malam hadir memberikan penerangan yang benderang, mengubah suasana horor menjadi hangat.

Beberapa saat yang lalu, masih banyak anak-anak bermain hingga memenuhi gang, ibu-ibu juga saling bergosip ria sambil menunggui anak-anaknya bermain. Dan kini, tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan batang hidungnya. Pukul 10.38 ditunjukkan oleh jam tangan analog yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Aku bergegas mempercepat langkah agar segera sampai rumah, apalagi suhu terasa semakin mencekik.

Teng! Teng! Teng! Di tengah sunyinya suasana, tiba-tiba terdengar bunyi yang tidak wajar, itu mungkin suara anak-anak yang bermain dengan tiang listrik. Suara yang seperti dua logam yang saling beradu itu terasa sangat dekat di belakangku. Entahlah, dengan kondisi yang kedinginan ini—aku ingin segera berada di bawah selimut—tidak ada niat sedikit pun untuk berbalik mengecek keadaan.

Jujur saja, saat ini aku agak merasa takut, kehangatan yang aku rasakan beberapa saat lalu menghilang begitu saja, purnama juga perlahan-lahan mulai meredup. Perasaanku sangat tidak enak sekarang. Mati-matian aku berusaha menghilangkan rasa takut yang tiba-tiba datang menyerang.

Deg! Aku berhenti, sebuah telapak tangan menyentuh pundakku. Aku menggenggam nasi bungkus di tangan kiriku dengan erat. Siapa? Bukankah tadi jalanan lengang? Aku mengatur napas dan mengumpulkan tekad, aku membalikkan badan untuk melihat sosok di belakangku. Tangan sosok yang memegangku terlepas saat aku mulai berbalik. Ada seseorang yang memiliki tubuh tinggi di depanku, dilihat dari perawakannya dia seorang pria. Dengan kondisi cahaya yang minim, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas walau jarak kami tidak sampai satu meter.

Ctar! Kilat menyambar. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Walaupun sekilas, aku dapat melihat wajah pria ini tidak mulus, aku tidak yakin. Ctar! Kilat menyambar sekali lagi. Aku tercekat, wajah pria ini tertutup dengan topeng. Dan mataku menangkap sesuatu yang menyilaukan mata saat kilat menyambar, aku melihat ke arah sumber yang aku lihat. Tangannya, memegang... pisau? Aku menatap wajah pria di depanku, melihat ke tangannya lagi. Oh, tidak. Apa yang akan dilakukan pria ini? Aku berlari.

“TOLONG!” Aku berteriak kencang, mengeluarkan seluruh tenagaku. Jantungku berdetak lebih cepat. Apa yang terjadi? Apa yang akan terjadi padaku? Air mataku tiba-tiba menetes, aku berlari sambil menangis. Aku tidak berani menoleh kebelakang, seakan-akan jika aku melakukannya, nyawaku akan melayang.

Drap drap drap! Suara langkah kaki berat itu semakin dekat, aku mempercepat gerakan kakiku. Nasi bungkus yang ada di tangan kiriku tiba-tiba menghilang, entah sejak kapan. Aku mendadak lupa dimana rumahku, aku hanya berlari, pikiranku tiba-tiba terasa buntu, sarafku hanya terfokus pada kaki agar berlari lebih cepat.

Keringat mulai mengucur dari dahi, suhu tubuhku menjadi panas. Rambut panjangku berkibar-kibar terkena angin—tidak aku ikat—mengganggu pandanganku yang mulai kabur. Tanganku mengambil semua rambut yang mengganggu, membawanya ke samping kiri bahuku, memegangnya agar tidak lagi terbang sembarangan.

Aku melihat sekeliling, di sekitarku cuma ada tembok. Aku sedikit gelisah, sedari tadi aku tidak menemukan adanya pertigaan maupun perempatan. Gang yang aku lalui ini seakan membawaku ke satu tempat, membuatku merasa lebih khawatir lagi. Apa yang akan terjadi jika orang itu menemukanku? Rumah-rumah warga sudah menghilang, tertinggal jauh dibelakang. Aku memasuki wilayah tanpa penduduk, samping kanan dan kiriku hanya ada tembok pembatas. Aku mencoba tidak menghiraukan semuanya, berusaha keras memikirkan jalan keluar. Aku tidak akan selamanya berlari, sebentar lagi aku pasti ditangkap. Setidaknya, sebelum itu terjadi, aku harus sempat bersembunyi.

Perempatan! Aku mempercepat langkah. Karena lintasan yang agak melengkung, mungkin aku akan bisa menghindar. Tentu, aku pasti selamat. Setidaknya, dengan pencahayaan yang kurang, sosok itu pasti bingung akan memilih jalan yang mana. Walau aku hanya punya peluang sepertiga saja, tidak masalah. Aku memilih jalan yang lurus. Aku berjalan perlahan setelah melewati perempatan, berusaha tidak meninggalkan jejak. Orang itu berada tepat di perempatan. Jalan mana yang akan ia pilih? Orang itu tidak segera memilih, ia mengamati semua cabang jalan.

Aku menahan napas, apa yang perlu dia pastikan? Pria itu dengan langkah pasti mulai berlari ke arahku. Astaga?!! Mengapa dari tiga jalan yang ada, ia memilih jalan yang sama denganku? Aku ketakutan sekarang, dengan tersendat-sendat segera mulai berlari. Bagaimana orang itu menemukanku? Padahal aku sudah menahan napas, bahkan tidak bergerak satu mili pun. Aku mendesah kecewa, memaki dalam hati. Bagaimana ini?

“Aw,” aku memekik tertahan, menutup mulut dengan tangan.

Kakiku terkilir, membuatku sedikit terhuyung. Aku berusaha keras untuk menyeimbangkan tubuh, tidak ingin terjatuh. Berhasil, aku segera lanjut berlari. Dua langkah, aku terhuyung lagi. Aku berjalan dengan tertatih-tatih, persis seperti balita yang baru belajar berjalan. Tangan kiriku menyentuh tembok, menjadikannya pegangan. Kaki kananku mulai melangkah dengan cepat, mencoba usaha terbaiknya. Sedangkan kaki kiriku terseret paksa. Aku menggigit bibir, kaki terkilir benar-benar sangat merepotkan.

Drap drap drap! Aku menghentikan langkah sejenak, napasku memburu kencang, suara itu terdengar sekitar sepuluh meter di belakangku. Aku melepaskan pegangan tanganku pada tembok, tubuhku sempurna berdiri tegak. Aku melakukan pemanasan sebentar, lantas detik berikutnya aku berlari dengan kencang. Aku mengerahkan seluruh tenagaku. Kaki kiriku yang terus berdenyut dapat berlari dengan baik.

Aku fokus menatap ke depan, tidak akan aku biarkan sesuatu mengganggu lagi. Aku masih berada di gang sempit yang diapit dua tembok besar. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku masuk ke dalam kegelapan. Tidak ada lampu penerangan sama sekali, membuatku harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Suasana semakin mencekam, dan langit gelap total.

Brak! Aku memekik. Dengan kasar, tubuhku dibanting ke tembok. Aku berputar di udara, lantas memantul di atas aspal. Tubuhku menggelinding kesana-kemari sebentar. Duak! Belum sempat aku menikmati rasa sakitku, tubuhku dibanting lagi ke tembok. Aku merosot turun, posisi tubuhku bersandar pada tembok.

Aku memperbaiki posisi dudukku dengan perlahan. Ah, rasanya sulit sekali, tubuhku menegang kaku. Aku melihat sosok yang ada di depanku, ia masih membawa pisau di tangannya. Berlama-lama di kegelapan, membuat mataku dapat beradaptasi dengan cepat, dan kini orang itu sedang menatapku tajam. Duak! Orang itu membenturkan kepalaku, lantas menekan pundakku ke tembok.

“Jangan berharap banyak bocah, ini hanya permulaan.”

Pria itu berbisik di telingaku. Aku pias, tidak tahu harus melakukan apa. Pria itu bergerak mundur, sedikit menjauh dariku. Diasahnya pisau yang dibawanya itu menggunakan tangan. Aku bergidik ngeri. Badanku benar-benar kaku tidak bisa digerakkan. Setelah beberapa lama, pria itu menghentikan kegiatannya dan mendekatiku sambil membawa pisau di tangannya. Ia berjongkok di depanku, tangan kirinya menekan bahuku ke tembok, sedang tangan kanannya memegang pisau.

Aku tercekat, sebuah benda dingin menempel di leherku. Aku menahan napas. Sret! “Ah!” Tanganku refleks memegang leher.

Cairan kental keluar dari sana melalui sebuah luka. Aku mengganti tangan kananku yang memegang luka menjadi tangan kiri—untuk menutup luka yang berupa goresan untuk sementara. Mataku menatap lebar-lebar wajah orang didepanku. Orang itu terlihat menyeringai, lantas sedetik kemudian ia menatapku tajam. Orang itu membenturkan kepalaku ke tembok lagi, aku mengeluh, kepalaku benar-benar sakit sekarang. Pria tinggi besar itu berdiri, berjalan perlahan meninggalkanku.

Aku mengerang. Luka di leherku menjadi perih, dan darahnya tidak berhenti keluar. Tangan kananku memegang tembok. Dengan perlahan, kakiku berusaha sebaik mungkin untuk menopang tubuhku. Setelah aku berdiri sempurna, tangan kananku mendorong tembok—atau lebih tepatnya, aku bersandar pada tembok melalui tangan kananku—mengumpulkan tenaga yang nyaris hilang.

Butuh waktu satu menit, hingga aku dapat melepaskan pegangan pada tembok. Kaki kananku mulai melangkah diikuti dengan kaki kiri perlahan. Aku berjalan tertatih, tangan kiriku masih memegang leher. Kepalaku berdenyut, darah di leherku mengalir semakin deras. Aku berhenti berjalan pada langkah ke enam. Denyut di kepalaku semakin kencang, kakiku terasa lemas, tidak lagi kuat menyangga beban tubuh. Aku terjatuh, kepalaku terbentur keras. Aku meringis, lalu semuanya menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status