Tap tap tap. Suara derap langkah kaki menggema di sepanjang gang. Dengan kondisi yang sepi, suara langkah kaki itu terdengar keras sekali. Semua orang sudah masuk rumahnya masing-masing, meninggalkan semua hal yang telah terjadi hari ini dan bersiap memulai hari esok yang baru. Tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah walau untuk melihat bulan purnama yang bersinar terang. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Suhu malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tidak heran, karena ini musim kemarau.
Aku baru saja selesai membeli sebungkus nasi goreng dari perempatan jalan besar. Di waktu yang tidak lagi sore, tiba-tiba perutku merasa lapar, memaksaku untuk mencari makanan meskipun baru beberapa jam yang lalu selesai menyantap bakso. Jalanan lengang, lampu-lampu jalan mati, membuatku agak sedikit risau. Namun, semua itu sirna ketika Dewi Malam hadir memberikan penerangan yang benderang, mengubah suasana horor menjadi hangat.
Beberapa saat yang lalu, masih banyak anak-anak bermain hingga memenuhi gang, ibu-ibu juga saling bergosip ria sambil menunggui anak-anaknya bermain. Dan kini, tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan batang hidungnya. Pukul 10.38 ditunjukkan oleh jam tangan analog yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Aku bergegas mempercepat langkah agar segera sampai rumah, apalagi suhu terasa semakin mencekik.
Teng! Teng! Teng! Di tengah sunyinya suasana, tiba-tiba terdengar bunyi yang tidak wajar, itu mungkin suara anak-anak yang bermain dengan tiang listrik. Suara yang seperti dua logam yang saling beradu itu terasa sangat dekat di belakangku. Entahlah, dengan kondisi yang kedinginan ini—aku ingin segera berada di bawah selimut—tidak ada niat sedikit pun untuk berbalik mengecek keadaan.
Jujur saja, saat ini aku agak merasa takut, kehangatan yang aku rasakan beberapa saat lalu menghilang begitu saja, purnama juga perlahan-lahan mulai meredup. Perasaanku sangat tidak enak sekarang. Mati-matian aku berusaha menghilangkan rasa takut yang tiba-tiba datang menyerang.
Deg! Aku berhenti, sebuah telapak tangan menyentuh pundakku. Aku menggenggam nasi bungkus di tangan kiriku dengan erat. Siapa? Bukankah tadi jalanan lengang? Aku mengatur napas dan mengumpulkan tekad, aku membalikkan badan untuk melihat sosok di belakangku. Tangan sosok yang memegangku terlepas saat aku mulai berbalik. Ada seseorang yang memiliki tubuh tinggi di depanku, dilihat dari perawakannya dia seorang pria. Dengan kondisi cahaya yang minim, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas walau jarak kami tidak sampai satu meter.
Ctar! Kilat menyambar. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Walaupun sekilas, aku dapat melihat wajah pria ini tidak mulus, aku tidak yakin. Ctar! Kilat menyambar sekali lagi. Aku tercekat, wajah pria ini tertutup dengan topeng. Dan mataku menangkap sesuatu yang menyilaukan mata saat kilat menyambar, aku melihat ke arah sumber yang aku lihat. Tangannya, memegang... pisau? Aku menatap wajah pria di depanku, melihat ke tangannya lagi. Oh, tidak. Apa yang akan dilakukan pria ini? Aku berlari.
“TOLONG!” Aku berteriak kencang, mengeluarkan seluruh tenagaku. Jantungku berdetak lebih cepat. Apa yang terjadi? Apa yang akan terjadi padaku? Air mataku tiba-tiba menetes, aku berlari sambil menangis. Aku tidak berani menoleh kebelakang, seakan-akan jika aku melakukannya, nyawaku akan melayang.
Drap drap drap! Suara langkah kaki berat itu semakin dekat, aku mempercepat gerakan kakiku. Nasi bungkus yang ada di tangan kiriku tiba-tiba menghilang, entah sejak kapan. Aku mendadak lupa dimana rumahku, aku hanya berlari, pikiranku tiba-tiba terasa buntu, sarafku hanya terfokus pada kaki agar berlari lebih cepat.
Keringat mulai mengucur dari dahi, suhu tubuhku menjadi panas. Rambut panjangku berkibar-kibar terkena angin—tidak aku ikat—mengganggu pandanganku yang mulai kabur. Tanganku mengambil semua rambut yang mengganggu, membawanya ke samping kiri bahuku, memegangnya agar tidak lagi terbang sembarangan.
Aku melihat sekeliling, di sekitarku cuma ada tembok. Aku sedikit gelisah, sedari tadi aku tidak menemukan adanya pertigaan maupun perempatan. Gang yang aku lalui ini seakan membawaku ke satu tempat, membuatku merasa lebih khawatir lagi. Apa yang akan terjadi jika orang itu menemukanku? Rumah-rumah warga sudah menghilang, tertinggal jauh dibelakang. Aku memasuki wilayah tanpa penduduk, samping kanan dan kiriku hanya ada tembok pembatas. Aku mencoba tidak menghiraukan semuanya, berusaha keras memikirkan jalan keluar. Aku tidak akan selamanya berlari, sebentar lagi aku pasti ditangkap. Setidaknya, sebelum itu terjadi, aku harus sempat bersembunyi.
Perempatan! Aku mempercepat langkah. Karena lintasan yang agak melengkung, mungkin aku akan bisa menghindar. Tentu, aku pasti selamat. Setidaknya, dengan pencahayaan yang kurang, sosok itu pasti bingung akan memilih jalan yang mana. Walau aku hanya punya peluang sepertiga saja, tidak masalah. Aku memilih jalan yang lurus. Aku berjalan perlahan setelah melewati perempatan, berusaha tidak meninggalkan jejak. Orang itu berada tepat di perempatan. Jalan mana yang akan ia pilih? Orang itu tidak segera memilih, ia mengamati semua cabang jalan.
Aku menahan napas, apa yang perlu dia pastikan? Pria itu dengan langkah pasti mulai berlari ke arahku. Astaga?!! Mengapa dari tiga jalan yang ada, ia memilih jalan yang sama denganku? Aku ketakutan sekarang, dengan tersendat-sendat segera mulai berlari. Bagaimana orang itu menemukanku? Padahal aku sudah menahan napas, bahkan tidak bergerak satu mili pun. Aku mendesah kecewa, memaki dalam hati. Bagaimana ini?
“Aw,” aku memekik tertahan, menutup mulut dengan tangan.
Kakiku terkilir, membuatku sedikit terhuyung. Aku berusaha keras untuk menyeimbangkan tubuh, tidak ingin terjatuh. Berhasil, aku segera lanjut berlari. Dua langkah, aku terhuyung lagi. Aku berjalan dengan tertatih-tatih, persis seperti balita yang baru belajar berjalan. Tangan kiriku menyentuh tembok, menjadikannya pegangan. Kaki kananku mulai melangkah dengan cepat, mencoba usaha terbaiknya. Sedangkan kaki kiriku terseret paksa. Aku menggigit bibir, kaki terkilir benar-benar sangat merepotkan.
Drap drap drap! Aku menghentikan langkah sejenak, napasku memburu kencang, suara itu terdengar sekitar sepuluh meter di belakangku. Aku melepaskan pegangan tanganku pada tembok, tubuhku sempurna berdiri tegak. Aku melakukan pemanasan sebentar, lantas detik berikutnya aku berlari dengan kencang. Aku mengerahkan seluruh tenagaku. Kaki kiriku yang terus berdenyut dapat berlari dengan baik.
Aku fokus menatap ke depan, tidak akan aku biarkan sesuatu mengganggu lagi. Aku masih berada di gang sempit yang diapit dua tembok besar. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku masuk ke dalam kegelapan. Tidak ada lampu penerangan sama sekali, membuatku harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Suasana semakin mencekam, dan langit gelap total.
Brak! Aku memekik. Dengan kasar, tubuhku dibanting ke tembok. Aku berputar di udara, lantas memantul di atas aspal. Tubuhku menggelinding kesana-kemari sebentar. Duak! Belum sempat aku menikmati rasa sakitku, tubuhku dibanting lagi ke tembok. Aku merosot turun, posisi tubuhku bersandar pada tembok.
Aku memperbaiki posisi dudukku dengan perlahan. Ah, rasanya sulit sekali, tubuhku menegang kaku. Aku melihat sosok yang ada di depanku, ia masih membawa pisau di tangannya. Berlama-lama di kegelapan, membuat mataku dapat beradaptasi dengan cepat, dan kini orang itu sedang menatapku tajam. Duak! Orang itu membenturkan kepalaku, lantas menekan pundakku ke tembok.
“Jangan berharap banyak bocah, ini hanya permulaan.”
Pria itu berbisik di telingaku. Aku pias, tidak tahu harus melakukan apa. Pria itu bergerak mundur, sedikit menjauh dariku. Diasahnya pisau yang dibawanya itu menggunakan tangan. Aku bergidik ngeri. Badanku benar-benar kaku tidak bisa digerakkan. Setelah beberapa lama, pria itu menghentikan kegiatannya dan mendekatiku sambil membawa pisau di tangannya. Ia berjongkok di depanku, tangan kirinya menekan bahuku ke tembok, sedang tangan kanannya memegang pisau.
Aku tercekat, sebuah benda dingin menempel di leherku. Aku menahan napas. Sret! “Ah!” Tanganku refleks memegang leher.
Cairan kental keluar dari sana melalui sebuah luka. Aku mengganti tangan kananku yang memegang luka menjadi tangan kiri—untuk menutup luka yang berupa goresan untuk sementara. Mataku menatap lebar-lebar wajah orang didepanku. Orang itu terlihat menyeringai, lantas sedetik kemudian ia menatapku tajam. Orang itu membenturkan kepalaku ke tembok lagi, aku mengeluh, kepalaku benar-benar sakit sekarang. Pria tinggi besar itu berdiri, berjalan perlahan meninggalkanku.
Aku mengerang. Luka di leherku menjadi perih, dan darahnya tidak berhenti keluar. Tangan kananku memegang tembok. Dengan perlahan, kakiku berusaha sebaik mungkin untuk menopang tubuhku. Setelah aku berdiri sempurna, tangan kananku mendorong tembok—atau lebih tepatnya, aku bersandar pada tembok melalui tangan kananku—mengumpulkan tenaga yang nyaris hilang.
Butuh waktu satu menit, hingga aku dapat melepaskan pegangan pada tembok. Kaki kananku mulai melangkah diikuti dengan kaki kiri perlahan. Aku berjalan tertatih, tangan kiriku masih memegang leher. Kepalaku berdenyut, darah di leherku mengalir semakin deras. Aku berhenti berjalan pada langkah ke enam. Denyut di kepalaku semakin kencang, kakiku terasa lemas, tidak lagi kuat menyangga beban tubuh. Aku terjatuh, kepalaku terbentur keras. Aku meringis, lalu semuanya menjadi gelap.
Dari semua hari di musim kemarau, Selasa ini langit tampak berwarna kelabu, berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya dengan matahari yang bersinar terik. Ibu-ibu yang tinggal di pemukiman kumuh segera berlari ke dalam rumah, membawa keluar benda apa pun yang dapat digunakan sebagai wadah, ada ember, bak mandi, panci, gentong air, bahkan botol air mineral pun dibuat untuk menampung air hujan. Sudah sejak tiga minggu yang lalu, sungai di belakang pemukiman mereka kering kerontang. Entah airnya menghilang kemana, membuat repot warga sekitar yang membutuhkan air.Menyeberang laut, di sebuah pulau nun jauh disana, pohon-pohon saling merapat, nampak hijau tumbuh dengan subur seakan menandakan persediaan air tanah begitu melimpah. Namun, sama seperti mereka yang tinggal di pinggiran ibu kota, mereka yang berada di pulau-pulau tersebut juga mengalami krisis air. Bukan karena tidak ada air, tetapi kurangnya sarana dan prasarana penunjang untuk mendapatkan air dari dalam tanah.Tes! Setetes a
“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya. “Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar. Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah
“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla. Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang. “Lehermu kenapa?” Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti. Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan
Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t