Tatapan Alexander semakin tajam, Roi menunduk karena ini adalah kesalahannya. "Aku tidak ingin mendengar laporan seperti ini lagi." Alexander berdiri dan membelakangi Roi, pria itu melanjutkan, "Untuk sementara jangan memberitahu Anna kalau aku sudah kembali, awasi terus dia, laporkan siapa saja yang menemuinya setiap hari." Roi mengangguk."Kau bisa kembali, ingat, awasi Orion dan Orlando setiap kali mereka datang."Tidak lama Roi pergi meninggalkan ruangan Alexander, sekarang tinggallah dia dan Rafh saja. "Tuan ... bagaimana dengan nona Viola, bukankah dia sangat berbahaya?"Alexander berbalik menatap dingin Rafh yang sejak tadi berdiri di samping sofa, "Duduklah! Lebih baik kita minum." Alexander duduk dan menuangkan minuman dalam gelas Rafh.Pria yang menjadi tangan kanannya itu terlalu canggung jika sudah seperti ini. Alexander menatap Rafh dalam, "Bagaimana dengan Caroline? Kenapa tidak membawanya bersamamu?" Alexander menggoyangkan gelasnya angkuh."Tuan, saya--,""Masih saja
Tidak lama, suara pentopel terdengar mendekat, anak buah Orion sudah siapa, tetapi baru saja akan mengacungkan senjata, sejua suh tubang karena senjata yang mereka pegang jatuh karena tembakan yang Rafh berikan.Alexander tersenyum hangat pada teman lamanya, kemudian menatap datar pada mayat Orion yang kali ini Alexander yakin bahwa pria ini sudah benar-benar tiada."Kau ... apa yang kau lakukan?!" Orlando begitu marah, dia belum mengetahui dimana Lyora tetapi Alexander sudah menembak saja sasarannya."Kenapa kau marah? Aku memudahkan langkahmu." Alexander duduk di sofa dimana tadi Orion duduk, pria arogan duduk dengan menyilang kaki.Orlando memejamkan mata kemudian mengarahkan senjatanya pada Alexander tepat di kepala musuh sesungguhnya, "Kapan kau berhenti ikut campur tuan Alexander Darius? Kau sudah keterlaluan kali ini." Orlando menekan setiap kata-katanya."Aku menyesal karena dulu tidak langsung membunuhmu." Orlando sudah akan menarik pelatuk, tetapi tawa Alexander menghentikan
Rianne berdiri dan membelakangi Alexander yang bingung, "Perbaiki dulu handukmu." Alexander melihat ke arah handuknya yang memang sudah tidak terselamatkan, hanya menutup setengah dari pusaka miliknya."Kalau sudah, gunakan pakaianmu setelah itu kita sarapan bersama." Alexander menurut, dia mengambil pakaian yah sudah Rianne siapkan untuknya. Setelahnya barulah dia menyusul dimana Rianne sudah duduk menatap sarapan mereka berdua di halaman belakang rumahnya."Kapan kau kembali? Kenapa tidak pernah menghubungiku." Cerca Rianne setelah menyuapi Alexander nasi goreng yang Anita buat."Semalam. Aku tidak mungkin menghubungimu walaupun aku sangat ingin." Ucapan Alexander dengan terus menatap lurus wajah cantik wanitanya."Kenapa? Nona Caroline tidak membiarkannya?" Rianne tidak akan marah, karena sebenarnya dialah wanita lain diantara Alexander dan kekasihnya."Bukan. Itu ... karena aku tidak bisa menahan rindu dan menyebabkan pekerjaanku tertunda."Rianne mencebik, demi apapun dia tidak a
Karena tidak bisa menahan diri, Alexander terus menyerang Rianne tanpa henti, kedua tangannya tidak tinggal diam. Desahan kecil keluar dari bibir mungil Rianne yang sudah mendongak karena sensasi gila yang Alexander berikan.Tidak menunggu lama, setelah pemanasan panjang, akhirnya penyatuan terjadi, Alexander mengerang karena rasa nikmat yang di rasanya.Tidak rugi jika dia berpuasa lama, sampai Caroline kesal pun Alexander masih bisa menahan diri untuk tidak memangsa wanita yang akhirnya menyerah mendapatkannya.Keduanya melupakan begitu saja apa yang sudah pernah mereka lakukan bersama. Awalnya Caroline tidak ingin menyerah tetapi, Caroline merasa kalau semakin lama Alexander semakin terasa jauh darinya.Dia memiliki impian mengelilingi dunia, jika waktunya dibuang untuk menunggu sampai Alexander menyukainya, bisa dipastikan sampai dia mendekat dengan ajal, impian nya tidak akan terwujud.Hentakan demi hentakan berlangsung, Rianne menutup mata karena tidak tahan dengan rasanya."Buk
Bahkan sampai matahari sudah berada di atas Rianne tidak juga muncul, Rafh sudah kembali ke kantor karena ada hal mendesak lain nya. Sekarang tinggallah Roi dan Anita di dalam kedai, keduanya terpaksa menjadi akrab karena seringnya bertemu."Masih menunggu nona?" Tanya Roi."Hem, apakah mungkin dia sudah pergi menemui teman wanitanya itu, ya?" Gumam Anita menyodorkan cappucino pada Roi."Kau yakin tuan akan memberinya izin?"Anita duduk dengan memeluk nampan besi di dadanya, wajahnya tertekuk tetapi tetap terlihat cantik."Aku mengira hidupku yang paling membingungkan dan menyedihkan, tahu nya kehidupan nona juga."Sekali lagi Anita menghela napas berat, dia membaringkan kepala di meja dengan mengabaikan Roi yang menyesap cappucino nya pelan.____"Dimana tuan Alexander?" Tanya Renata yang melihat hanya Rafh saja yang datang."Kalau ada masalah kau bisa tanyakan langsung padaku." Ucap Rafh datar.Renata yang tidak mendapatkan jawaban memuaskan kembali bertanya, "Tuan Rafh, saya hanya
Di perjalanan, hari sudah mulai gelap Viola menoleh pada Rianne yang sudah memegang kepalanya. Sudut bibir Viola terangkat tetapi sangat samar."Apakah masih lama? Kepalaku rasanya sangat pusing." Keluh Rianne."Satu putaran lagi kalau tidak salah, aku jelas melihatnya disana saat itu." Bohong Viola."Hem, semoga Lyora masih berada disana." Ucap Rianne lirih matanya semakin merapat dan tertutup. Rianne tidak sadarkan diri. Viola tertawa senang, "Wanita bodoh ini, bagaimana bisa di cintai oleh Orion dan Alexander. Cih!"Mobil terus membawa keduanya ke tempat dimana mereka mengurung Lyora, sebelum turun dari mobil, Viola memastikan keadaan setelah itu membawa Rianne keluar dengan bantuan dua anak buahnya."Bagaimana? Apakah wanita sialan itu masih sadarkan diri?" Yang Viola maksud adalah Lyora. Si anak buah mengangguk, dan mengatakan Lyora terus berteriak hingga saat ini sangat lelah. Viola tertawa, ketakutan Lyora membuatnya senang.Kemudian dia memerintahkan mereka membawa masuk Ria
Rianne menyeringai, "Bagaimana bisa kau membunuhku? Senjatamu ada padaku." Rianne memang mengambil senjata Viola yang terjatuh tadi, sementara Viola berusaha berdiri menahan punggunggnya yang terus mengeluarkan darah."Sialan kau!" Viola berusaha menyerang Rianne dengan kakinya tetapi dengan mudah Rianne menghindar dan menodongkan senjata tadi pada Viola.Dalam ketegangan itu, suara langkah kaki menggema, Rianne tidak berbalik sama sekali karena fokusnya pada Viola. Sementara Lyora dan Viola sudah berharap banyak pada siapa saja yang muncul untuk menolongnya."Tu-tuan." Viola berkaca-kaca karena melihat Alexander yang muncul, Viola menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan pada Alexander bahwa dirinya wanita yang lemah dan tidak berdaya.Alexander menatap Rianne yang memar dibagian wajah, tatapannya datar, lalu tidak lama satu orang lagi muncul dibelakang Alexander. Wajah Lyora berbinar.Dia adalah Orlando. Entah bagaimana ceritanya Orlando datang bersama Alexander.Rianne masih me
Renata menelan ludah kasar, ucapan Alexander biasa saja tetapi sebenarnya tersirat rasa tidak suka dikunjungi. Renata menelan ludah kasar, dia jelas melihat otot perut Alexander yang terpampang jelas di hadapannya, sangat menggiurkan, tanpa menunggu lama, Renata berjalan menghampiri sang tuan. Menatap minat ke arah perut yang tidak tertutup apapun, lalu matanya turun ke bawah di antara kedua paha pimpinan Wgrup itu.Perlahan Renata berjongkok, meraba paha Alexander tanpa takut apapun, dia sudah benar, ini yang tuannya sukai. Tidak peduli bagaimana hubungan sang tuan dengan wanita yang baru saja Renata lihat naik ke lantai atas.Baru saja tangannya akan menurunkan celana bahan sang tuan, suara nyaring membuat Renata terkejut. Alexander hanya tersenyum kecil memperhatikan wajah pucat Renata.Langkah panjang Rianne menggema, satu tarikan di kuat Renata rasakan di kepalanya, "Akh ... apa yang kau lakukan?!" Rianne menahan rambutnya, Rianne menariknya sangat kuat sampai Renata langsung be