Sosok itu mendekat dengan perlahan agar suara kakinya tidak terdengar bahkan oleh cicak sekalipun.Ia mengeluarkan sapu tangan hitam dan membekap Rianne dengan cepat. Istri Alexander itu sempat membuka mata sebelum dia benar-benar tak sadarkan diri.Dengan gerakan tangan memanggil temannya yang lain, beberapa orang masuk melalui jalan yang sama seperti pria yang pertama tadi."Bawa Nona Rianne dengan hati-hati. Dan dalam hitungan ke 10 kita ledakkan tempat ini, mengerti." Ke-4 orang itu mengangguk sambil mengangkat jempol tanda setuju dan mengerti.Tidak lama, hanya dengan gerakan tangan menginterupsi teman-temannya, semuanya sudah keluar lagi.Sementara itu, Orlando yang keluar dari kamar Rianne tadi menuju ruang kerja miliknya, ruang yang dilengkapi dengan cctv dimana dia bisa melihat apapun yang Rianne lakukan di dalam kamarnya.Baru saja dia akan memasuki ruangan miliknya, teriakan Lyora kembali mengagetkannya. Orlando tidak menunggu lama untuk melihat itu. Dia berlari kencang ke
Alexander berdiri dan menjauhkan diri dari Orlando, tetapi siapa sangka bahwa pria itu malah menarik kaki Alexander dan kembali menerjangnya. Perkelahian kembali terjadi. Anak buah Alexander yang bersiap akan menyelamatkan tuannya terpaksa berdiam diri saat Orlando mendekatkan pisau kecil dengan dua mata tajam ke arah leher Alexander."Turunkan senjata kalian atau lehernya kupotong sekarang!"Semua menurunkan senjata dengan perlahan, Alexander tidak melakukan apapun walaupun dia sangat ingin. Ia hanya saling tatap dengan Rianne yang juga sangat terkejut dengan apa yang Orlando lakukan."Rianne, minta suamimu melepaskan Lyora sekarang juga.""Lyora?""Yah. Suami bejatmu ini, menculiknya dan menyekap adikku." Rianne meminta jawaban dari Alexander yang bernapas saja akan sangat membahayakan, pisau itu menempel di kulit lehernya. Sekali tekan saja, sudah bisa dipastikan Alexander tidak akan selamat kecuali dia memiliki banyak nyawa."Bicaralah! Katakan dimana kau menyembunyikan adikku bre
Rafh menghembuskan napas pelan, "Kenapa bertanya pada kami? Tujuan kami asalah menyelamatkan nyonya Rianne bukan menculik Lyora.""Brengsek." Satu tinjuan tertahan di udara saat suara dering ponsel terdengar, Orlando meraih ponselnya dan melihat siapa nama si pemanggil."Lyora ... kau dimana?"Orlando masih menatap musuh pada Rafh yang tidak terpengaruh sedikitpun."Kau baik-baik saja? Maksudku, apakah ada yang menghadang atau menculikmu?"Orlando mematikan ponselnya dan berdecak melihat Rafh yang hanya mengedikkan bahu acuh padanya.Orlando kembali pada Rianne yang masih menunggu di kursi tunggu, menutup wajah dengan kedua tangan. Orlando menghela napas panjang, ingin marah pada siapa jika Rianne yang dicintainya tidak ingin bersamanya?"Rianne, aku ...."Rianne menoleh, menampilkan senyum ramahnya pada Orlando, "Bagaimana Lyora? Rafh sudah memberitahumu dimana dia?"Orlando tersenyum kaku, "Suamimu, selain membuat wajahku rusak dia juga membodohiku berulang kali." Orlando mengusap a
Alexander berdecak, "Kalau begini aku, rela melukai diri sendiri terus. Kau akhirnya mengakui kalau mencintaiku."Rianne mengangkat wajah, "Memang aku belum mengatakannya, ya?"Alexander mengangguk, "Mana mau istriku yang cantik ini mengaku." Rianne kembali terkikik geli, dia lupa apakah memang benar dia tidak pernah mengakui mencintai Alexander selama ini."Kalau begitu, aku akan terus mengatakan kalau aku mencintaimu." Putus Rianne membuat Alexander semakin mengeratkan pelukannya."Aku semakin merasa bersalah, aku menghancurkan hidupmu dan sekarang kau berikan seluruh hatimu untukku.""Itu juga hukumanmu."Alexander mengangguk, "Kalau hukuman ini, aku menyukainya. Tidak apa kita tidak bercinta selama setahun, asalkan masih bisa seranjang denganmu.""Otakmu hanya ada itu ya?"Alexander tertawa, "Aku ini pria normal, mana tahan kalau melihat tubuh molek meliuk di depan mata."Alexander langsung memejamkan mata karena sadar dia salah bicara, sementara Rianne memicingkan mata karena ter
Rianne mengangguk. Dengan gerakan kuat Alexander berpacu mengejar pencapaian begitupun dengan Rianne yang sudah menancapkan kuku di punggung Alexander juga siap dengan ledakan besar."Aaaaaakh." Keduanya sampai bersama lolongan merdu terdengar di dalam kamar yang kedap suara. Tubuh mengejang Rianne pertahan melemas dengan jatuhnya Alexander diatas tubuh polos dan basah sang istri.Satu kecupan mendarat di kening, dan ditambah dengan kecupan lain di kelopak mata yang tertutup juga bibir yang terbuka sedikit yang masih terengah mendapatkan bagian bertubi-tubi.Alexander mengecupi seluruh wajah Rianne barulah dia menjatuhkan diri ke samping istrinya. Membawa tubuh polos itu masuk dalam pelukannya."Sayang, berjanjilah, jangan lagi meninggalkanku. Hmmm."Rianne mengangguk lemah, membalas pelukan sang suami dan mulai memejamkan mata.Alexander masih terjaga, mendengar deru napas halus sang istri yang sudah terlelap dengan damai setelah bekerja keras.Jemarinya membelai wajah Rianne yang m
"Kau tidak apa-apa?"Frea mengangguk, langsung memeluk Alexander dan menggunakan air matanya sebagai senjata paling manjur."Maya!!" Teriak Alexander. Luka Frea memang harus segera diobati. Maya yang mendengar teriakan itu langsung berlari dan masuk memeriksa keadaan. Sementara Rafh akan memeriksa nyonya-nya."Ya, Tuan.""Tolong kau lihat luka Frea. Aku akan naik memeriksa Anna." Maya mengangguk tetapi Frea langsung mencegah, dia ingin Alexander menemaninya sebentar."Sebentar saja. Kau tau, 'kan aku takut dengan suntikan." Kilahnya."Nona. Saya. Tidak akan menyuntik Anda. Saya hanya memeriksa dan membersihkan lukanya." Frea menggeleng, memohon pada Alexander untuk tidak meninggalkannya.Menghela napas panjang Alexander duduk dan menunggu Frea yang sementara dibersihkan lukanya.Di dalam hati, Maya mengutuk tuannya, karena masih dapat terpedaya dengan wanita ular di hadapannya."Dia melukaiku." Adu Frea."Maafkan dia. Anna hanya tidak suka miliknya diganggu." Frea sudah menggunakan se
Frea mendongak lalu kembali mengusap bagian itu, sedikit keras dan--besar. Alexander mengeram.karena Frea begitu lihai hanya dengan mengusapnya saja."Aku bisa membantumu menanganinya." Kata Frea tahu kalau Alexander sudah berada puncak, semakin intens juga dia mengusapnya.Alexander mendongak dengan mata terpejam ingin menghentikan aksi Frea tetapi terlalu nikmat baginya. Frea mengeringai tahu kalau Alexander tidak akan mampu menahan diri.Tangan sebelahnya membuka resleting, menariknya turun perlahan. Jantungnya sudah berdebar kencang karena apa yang ingin dilihatnya selama ini sebentar lagi akan menjadi nyata.Mata Frea sudah tidak sabar menunggu sesuatu itu terlihat jelas, namun itu sebelum pintu kamar Alexander di ketuk.Frea mengepalkan tangan kuat, apalagi saat melihat Alexander berdiri dan menjauh darinya. Terlihat Alexander menaikkan kembali resleting nya dan berjalan ke pintu setelah memperbaiki raut wajahnya yang tegang. Persis seperti seorang yang tertangkap basah telah me
Sementara itu, Maya sudah melepas rangkulannya dari Rafh saat Caroline datang mendekatinya. Senyum wanita itu masih tetap sama seperti dulu manis dan juga--menawan.Maya berdehem, berniat akan meninggalkan keduanya tetapi Rafh menahan tangannya. Maya jelas merasa tidak enak, mereka bukan tokoh utama dalam cerita ini tetapi Rafh seolah mengambil peran lebih banyak. Itu yang Maya pikirkan."Bagaimana kabarmu?" Caroline menyapa lebih dulu, memperhatikan Rafh seperti biasanya, bahkan tatapannya juga masih sama seperti dulu."Baik, Nona." Caroline menyapa Maya juga, wanita yang bisa Richard bahas saat mereka senggang, "Anda Dokter Maya, bukan?" Maya mengangguk."Panggil Maya saja. Nona."Caroline terkekeh, "Baiklah, senang bertemu denganmu, Richard selalu membahas dirimu." Maya hanya tersenyum kecil.Caroline menoleh ke kiri dan ke kanan, ada yang belum terlihat olehnya, "Dimana Rianne? Aku tidak melihatnya?" Tanyanya pada Rafh."Nyonya, tidak ikut."Alis Caroline naik setengah, "Kenapa?