Aku melihat tubuh ayah terkapar dengan mulut bersimbah darah. Posisi beliau yang terlentang dan tidak sadarkan diri. Aku panik melihat kondisi ayah yang mengenaskan. Dengan segera aku mendekat ke arah ayah dan meletakkan kepala beliau dalam pangkuanku. Hati di sampingku hanya terdiam dengan wajah bingung.“Ayah, bangun. Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya menangis. Hening, tidak ada jawaban dari beliau. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku ini hanya terdiam dengan wajah yang tampak memucat. Perlahan aku mencoba memeriksa denyut nadi dari pergelangan tangannya dan masih terasa denyutannya meskipun lemah. Berarti masih ada harapan ayah untuk selamat. Keberanianku tiba-tiba muncul demi menyelamatkan beliau. Aku menghubungi rumah sakit untuk dibawakan ambulance segera.Aku bingung harus melakukan apa sembari menunggu mobil ambulance datang. Tiba-tiba terlintas nama kak Lala. Iya, aku harus menghubunginya. Mungkin saja kak Lala tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Aku menerima panggilan Rani meskipun dengan hati ragu. Semoga saja panggilan Rani ada hubungannya dengan pesan aneh yang dikirim Mas Hadi."Hallo, ada apa Rani?" tanyaku memulai pembicaraan."Ibu sudah menerima pesan dari Bapak?" tanya Rani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, sudah. Kenapa kamu bisa tahu kalau Bapak mengirimkan pesan kepada saya?" tanyaku penasaran."Tentu saja saya tahu, karena Bapak dan anak-anak akan pergi bersama saya!" jawab Rani enteng."Kamu jangan main-main, Rani. Katakan kalau apa yang kamu ucapkan itu tidak benar!" hardikku merasa kesal dengan jawaban Rani."Saya tidak main-main. Kami akan pergi bersama dan hidup berbahagia untuk selamanya, ha ... ha ... ha ..." Rani mengakhiri panggilan dengan tawa yang mengerikan.Aku semakin bingung. Mencoba kembali menghubungi Rani untuk meminta penjelasan, namun tiba-tiba kontaknya tidak dapat dihubungi. Aku sedikit panik, namun berulang kali mencoba menghubunginya kembali. "Kenapa, Hanum?" tanya kak Lala penasaran.
"Kamu bayar sendiri biaya persalinanmu. Itu karena salahmu tidak melahirkan anak laki-laki sesuai keinginanku!” bentak Mas Gunawan. Laki-laki bermanik mata hitam itu adalah suami yang sudah memperistriku selama empat tahun. Dia tidak mempedulikan kondisiku yang sedang dalam perawatan di sebuah rumah sakit pasca operasi caesar.“Tega kamu, Mas. Bukannya mengucapkan selamat atau berterimakasih karena sudah melahirkan anakmu, tetapi malah menyalahkanku. Padahal aku hampir saja kehilangan nyawa di meja operasi tadi,” ujarku seraya terisak. Tak terasa buliran bening menetes dari kedua netraku.“Aku tidak sudi punya anak perempuan lagi, karena hanya akan menjadi beban buatku!” hardik Mas Gunawan lagi.“Astagfirullah, Mas. Ini sudah takdir dari Tuhan. Anak laki-laki atau perempuan sama saja, yang terpenting lahir dengan sehat dan sempurna!” timpalku dengan suara serak membuatku Mas Gunawan terlihat semakin tersulut emosi.“Ini bukan masalah takdir. Semua ini terjadi karena kamu jadi Adik Ip
Jangan minta bantuan Ayah atau Kak Lala, aku malu!" akhirnya aku menjawab pertanyaan Hanum.Wanita ini memang selalu menguji kesabaranku. Dia sepertinya tahu kalau kelemahanku terletak pada ayahnya. Aku tidak memungkiri, jika kehidupan kami selama ini tidak lepas dari sokongan dana dari ayahnya.Bahkan rumah yang kami tempati, bengkel yang selama ini aku kelola semuanya milik ayahnya Hanum. Oleh sebab itu, sikapku akan sedikit manis kepada Hanum jika di depan ayahnya. Jangan sampai ayah mertua tahu kalau selama ini aku tidak menafkahi anak dan cucunya dengan baik.Alasan menerima tawaran menikah dengan Hanum pun karena dia putri bungsu Pak Hartawan, pemilik bengkel tempatku bekerja. Beliau adalah seorang pengusaha kaya serta memiliki puluhan bengkel yang tersebar di berbagai daerah. Belum lagi harta lainnya berupa perkebunan, bisnis kuliner, bisnis property dan masih banyak lagi.Hidupku pasti tidak akan susah jika menikahi anaknya. Namun yang jadi ganjalan selama ini adalah kak Lala,
Aku terkejut melihat kedatangan ayah dan kak Lala secara bersamaan. Wajah ayah terlihat tidak bersahabat, terlebih kak Lala. Lantas, apa maksud dari pertanyaannya?Wajah Mas Gunawan terlihat pias mendapatkan pertanyaan dari kak Lala. Jelas terlihat dia meneguk salivanya. "Kenapa diam? Kamu sudah tidak mampu membiayai persalinan Adikku, hingga sampai hati menjadikan KTP-nya sebagai jaminan? hardik kak Lala lagi."Bu-kan be-gitu. Kakak tolong sabar dulu, jangan terbawa emosi." Mas Gunawan terlihat gugup. Wajahnya juga terlihat ketakutan. Apa benar yang dikatakan kak Lala, kalau kartu identitasku mejadi jaminan di rumah sakit? Memang sebelum operasi berlangsung, Mas Gunawan sempat meminjam KTP-ku. "Coba kamu jelaskan kepada kami, kenapa KTP Hanum bisa menjadi jaminan di ruang administrasi?" tanya ayah dengan suara beratnya. Wajahnya yang biasanya tenang, kali ini terlihat tegang.Aku kembali menatap laki-laki berambut ikal dan bermanik mata hitam itu dengan lekat. Ingin tahu jawaban a
Hatiku terasa perih membaca pesan dari kakak ipar yang memang selalu mencampuri urusan rumah tangga kami. Pantas saja Mas Gunawan selalu perhitungan kepada keluarga kecilnya. Rupanya selama ini diam-diam dia mengirimkan uang kepada Mbak Sita. Sebenarnya aku tidak masalah jika dia membantu saudara kandungnya, jika kewajibannya telah dijalankan dengan baik. Namun pada kenyataannya, dia lalai dengan semua tanggung jawabnya.Aku bukan tidak bersyukur menerima nafkah seadanya dari Mas Gunawan, namun aku tahu penghasilan dari bengkel setiap harinya. Jatah bulanan yang aku dapat, tidak ada separuh atau bahkan seperempat penghasilan dari bengkel.Jangankan membeli kebutuhan pakaian yang kini sudah tidak layak pakai, untuk kebutuhan makan sehari-hari, jajan kedua anakku saja masih kekurangan kalau tidak mendapatkan bantuan dari ayah."Hanum, lancang sekali kamu membuka hapeku!!" teriak Mas Gunawan yang sudah berdiri di depan pintu toilet dengan pancaran kemarahan yang membuatku terkejut. Sak
Kondisi tubuhku semakin menurun pada hari ketiga pasca melahirkan. Bukan hanya rasa sakit pada area perut, namun aku merasa kelelahan karena harus begadang setiap malam. Asiku belum kunjung keluar, mungkin itu sebabnya si bayi selalu rewel dan tidak nyenyak tidurnya. Aku merasa menjadi ibu yang tidak berguna, karena tidak dapat memberinya asi. Sementara Mas Gunawan tidak peduli kepada anaknya, meskipun beberapa kali aku telah meminta membelikannya susu formula.Aku menangis tersedu dikamar, meluapkan semua kesedihanku. Bukan kali ini saja aku menangis. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa aku sering menangis tanpa sebab yang jelas. Aku merasa suasana hati gampang berubah-ubah pasca melahirkan. Terkadang aku merasa sedih, namun tiba-tiba merasa kesal bercampur emosi. Bukan karena sikap Mas Gunawan, tetapi aku sendiri tidak tahu penyebab sering menangis tanpa alasan yang jelas.Tiba-tiba perutku terasa mulas, sepertinya aku ingin buang hajat. Aku melangkah perlahan dan berhati-hati menu
Aku berangkat kerja dengan perasaan kesal bercampur emosi. Semua gara-gara Hanum, istriku. Seenaknya dia memintaku membawanya kontrol ke rumah sakit, padahal obatnya saja masih belum habis. Dia bilang harus diperiksa oleh dokter sekalian mengganti plester yang menutupi luka pasca caesarnya, memangnya tidak memakai biaya?Semuanya tidak gratis, sementara uang tabunganku sudah berkurang dua puluh juta karena dipinjam oleh kak Lala untuk membayar tunggakkan arisannya. Aku tidak rela kalau sampai dia dikeroyok oleh teman-temannya karena belum membayar arisan, padahal sudah menang diawal.Aku menolak permintaan Hanum mentah-mentah. Wanita itu memang lebay, padahal proses persalinannya secara caesar sehingga tidak perlu capek-capek mengejan karena proses keluar bayi bukan lewat jalan lahir. Setahuku persalinan caesar keluar lewat perut melalui jalan operasi, itupun sebelumnya disuntik bius terlebih dahulu sehingga tidak akan merasakan rasa sakit.Hanum … kenapa dia sekarang berubah? Padahal