Share

Bab 3. Sering Ke Club'?

Jam 7 malam, aku mengendarai kembali Fortuner hitamku membelah jalanan untuk segera kembali ke Bandung. Tepat di depanku, mobil ambulance tanpa sirine, hanya menyalakan lampu rotator, membawa jenazah Kharisma.

Setelah pemeriksaan jasad Kharisma selesai. Pengurusan fardhu kifayah, aku serahkan pada pihak rumah sakit kepolisian. Setelah semuanya selesai. Aku menyewa satu ambulance untuk membawa jasad Kharisma. Sedangkan aku, sendirian di dalam mobil.

"Aarrrkkhhh!" Kupukuli stir mobil dengan kepalan tangan. Kepala rasanya ingin meledak saat ini juga.

Hasil visum dari jasad Kharisma benar-benar membuatku terpukul. Bulir bening mulai berjatuhan dari mataku.

Kugigit bibir bawah dengan kuat. Menahan supaya tangisku tidak tumpah.

"Jangan menangis, Dewa! Jangan! Dia tidak pantas kamu tangisi!" gumamku pada diri sendiri.

Dengan cepat, aku menyeka butiran bening yang tadi sempat membahasi pipiku.

"Aku tidak boleh—menangis! Tidak ..." parau aku berucap. Suaraku rasa tertahan di tenggorokan.

Kupasang earphone, lalu menghubungi Nakula kembali, untuk menyulap rumahku menjadi rumah duka dan tetap merahasiakan hal ini terutama dari ibuku.

***

Tiga jam perjalanan, akhirnya mobil ambulance itu tiba di depan rumahku. Aku pun memarkirkan mobilku di depan rumah. Petugas rumah sakit kepolisian menurunkan jasad Kharisma dari dalam mobil, lalu membawanya ke dalam rumah.

Di depan pintu rumah. Nakula menghambur ke arahku. Sorot matanya kebingungan dan penuh tanda tanya. Petugas rumah sakit kepolisian menurunkan jasad Kharisma dari dalam mobil, lalu membawanya ke dalam rumah.

Aku memasuki rumah bersama Nakula. Di dalam rumah, sudah ada ibuku.

Aku tertegun dibuatnya. "Naku! Abang sudah bilang, jangan bilang siapa-siapa! Kenapa malah ada ibu di sini?" tanyaku berbisik di telinga Nakula.

"Gue nggak bilang siapa-siapa, Bang! Sumpah! Gue cuma bilang ART, lo, Bi Ima!"

"Terus kenapa bisa ada ibu?"

"Ibu baru aja dateng, Bang!"

Aku menatap tajam Nakula. Mencari kebohongan lewat dua bola matanya. Namun tidak kutemukan. Naku tidak berbohong.

Rumah Ibu hanya terpisah 4 rumah dengan rumahku. Membuat Ibu bisa kapan saja datang ke rumah ini. Tapi ini sudah malam, untuk apa Ibu datang di malam seperti ini? Apa Ibu merasakan firasat mengenai menantunya itu, sampai akhirnya Ibu datang? Ah, entahlah!

Begitu jasad Kharisma dibaringkan. Bi Ima datang dan langsung memasangkan kain jarik, menutupi jasad yang telah dibungkus kain kafan.

Sedangkan, Ibu. Aku melihat tubuhnya merosot di dekat kepala Kharisma. Ibu menutup mulutnya dan mulai menangisi menantu kesayangannya.

"Bi Ima, buatkan kopi hitam dan antar ke atas!" titahku pada Bi Ima.

Aku bergegas menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar. Berjalan cepat memasuki kamar mandi. Melepas seluruh pakaianku, menyalakah shower, lalu membiarkan kucuran airnya membahasi setiap inci kulitku malam ini.

Tubuhku luruh di lantai kamar mandi. Kutumpahkan semua tangis dan sesak yang menghimpit dadaku sejak tadi. Kupukuli dinding kamar mandi di depanku.

Aku menangis sejadi-jadinya di bawah guyuran air shower. Aku tidak kuat lagi menahannya. Ini terlalu menyakitkan.

"Kenapaaa? Kenapaaa?" teriakku seperti orang kesetanan.

"Kenapaaa? Kenapa kamu tega, Risma? Kenapa ...?" lirihku. Aku semakin tergugu di bawah guyuran air shower.

Aku puaskan tangisku saat ini. Aku biarkan air mata mengalir deras malam ini. Biarkan air mataku tersamarkan oleh kucuran air shower.

Setelah ini, aku berjanji. Aku tidak akan lagi menangisinya. Aku berjanji, ini terakhir kalinya, aku menangisi wanita pengkhianat itu.

***

"Bang, elu dipanggil ibu!" ucap Nakula.

Aku tidak menggubris. Aku enggan menemui Ibu. Biarkan Bi Ima dan Ibu yang menemui pelayat. Kusesap rokok dalam jepitan jemariku. Menyesapnya dengan kuat lalu menghembuskannya perlahan menjadi kepulan asap di depan ku.

Beginilah caraku menenangkan diri. Menyesap rokok ditemani segelas kopi. Nakula menyulut rokok yang sama denganku. Lalu duduk di tembok penghalang balkon menghadapku.

Dari balkon lantai dua rumahku, mulai terdengar suara-suara orang membacakan surat Yaasin dari lantai bawah.

"Jadi, yang meninggal itu, istri lu, Bang?" tanyanya. Seharusnya, dia tidak perlu menanyakan lagi. Aku yakin dia pasti sudah melihat, jasad siapa yang ada di bawah.

Aku tidak menjawab. Kusesap kembali rokok di tanganku. Kemudian menikmati kopi hitamku yang sudah dingin.

"Bang! Itu yang meninggal istri lu. Kenapa lu bisa tenang-tenang aja di sini? Sedangkan di bawah ibu nangis-nangis, Bang! Tapi elu suaminya. Malah asik rokok kopi di sini! Gila lu, Bang!" cercanya tanpa titik koma.

Aku mendecih. Dengan satu sudut bibir terangkat, mendengar cercaan adikku barusan.

"Bacain istri lu, yaasin kek, berdoa kek, Bang! Lu gak ada berduka citanya ditinggal istri?!" omelnya lagi.

Lantas aku beranjak, masuk ke dalam kamar. Mengambil amplop putih dan kembali ke balkon. Menyerahkan amplop itu pada Nakula, untuk membungkam mulutnya yang tak bisa berhenti mengoceh.

Setelah Nakula menerima amplop itu, dia membolak-baliknya lalu membukanya.

Aku kembali duduk di kursi dan menyesap rokok di tangan. Sambil memperhatikan ekspresi Naku ketika melihat isi surat yang sedang dibacanya sekarang.

Dahinya berkerut lalu kemudian matanya melotot. "Apaan ini, Bang?" tanyanya spontan.

"Kamu masih bisa baca, 'kan?"

"Ya, maksud gue, isi pernyataan ini udah valid?"

Aku mengangguk. "100%!"

Lekas kutekan sisa rokok ke dalam asbak. Naku terlihat menggeleng. "Gila!" umpatnya. Aku bisa mendengar Nakula mendecih. Disodorkannya kembali amplop itu padaku. Naku kembali menyesap rokoknya.

Aku mengambil kembali amplop dari tangan Naku seraya beranjak ke dalam kamarku, dan menyimpannya lagi di atas meja.

Aku ke luar kamar, meninggalkan Nakula di teras balkon. Aku berdiri di ambang pintu kamar sebelahku. Di atas kasur dengan sprai pink bunga-bunga, anakku tertidur pulas, ditunggui pengasuhnya.

Melihat keberadaanku, pengasuh anakku bergegas meninggalkan kamar. Lantas aku masuk dan mendekati putriku.

Kutatap putriku satu-satunya yang baru berusia 8 bulan. Bayi yang kehadirannya aku dan Kharisma nantikan selama ini. Sekarang, Kharisma justru pergi meninggalkan putri kami untuk selamanya.

Aku mendesah.

Putriku tertidur begitu pulas. Putriku begitu mirip dengan Kharisma. Bulu mata lentik serta mata bulatnya benar-benar turunan dari Kharisma.

Apa putriku tidak merasakan ikatan batinnya dengan Mamanya? Apa karena selama ini, putriku diasuh oleh pengasuh. Sehingga membuat ikatannya dengan Kharisma tak terikat semestinya?

Aku rasa, ada ataupun tidak ada Kharisma, tidak akan berpengaruh pada putriku. Toh selama ini, putriku lengket pada pengasuhnya dari pada Mama kandungnya sendiri.

Kharisma sibuk bekerja di perusahaan manufaktur. Waktunya lebih banyak di kantor daripada di rumah. Aku sudah melarangnya untuk terus bekerja. Penghasilanku lebih dari cukup untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan hidup Kharisma.

Kesibukannya, membuat waktunya bersama putri kami sangat sedikit. Kharisma ada di rumah di hari Sabtu Minggu. Kharisma yang sering ke luar kota untuk beberapa hari pun, sepertinya membuat putriku terbiasa tanpa belaian dari Mamanya.

Nakula kembali menghampiriku. Dia duduk di bibir tempat tidur di sebelahku.

"Bang, asam urat ibu naik karena hal ini," ucapnya.

Aku hanya mampu menghela nafas. Ibu pasti sangat shock dengan kematian Kharisma. Kuusap wajah dengan kasar. Bagaimana aku berterus terang pada Ibu?

"Tapi kamu belum bilang yang sebenernya sama Ibu, 'kan?" tanyaku seraya menatap tajam Nakula.

Nakula menggeleng. "Nggaklah, Bang! Gue takut ibu malah pingsan!" jawabnya.

Aku manggut-manggut. Nakula memang bisa dipercaya.

"Mertua lo, belum dikasih tahu, Bang?" tanya Nakula kembali.

Aku menggeleng.

"Kenapa, Bang? Mereka orangtua istri lo! Mereka berhak tahu keadaan anaknya, Bang!"

"Abang tahu! Tapi alasan apa yang harus Abang katakan Nakula? Ini aib! Abang malu!"

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Bayangan Kharisma sebagai sosok istri sempurna, seolah menari di pelupuk mata.

"Bang!" Nakula memanggilku dengan pelan.

"Gue nggak nyangka, Bang!" sambungnya. Aku masih diam. Dia saja tidak menyangka. Apalagi aku?

"Selain sering ke club, ternyata istri lo pemake, Bang!" imbuhnya.

Seketika aku terperangah. Lantas menoleh pada Nakula di sampingku. "Club?" tanyaku memastikan.

Nakula mengangguk. "Clubing, Bang!"

Aku membelalak tak percaya. Kenyataan apalagi yang akan terungkap setelah kematian Kharisma?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status