POV ALWINA*****Jam delapan lebih lima belas menit. Aku baru tiba di kantor. Aku terlambat lima belas menit, karena ada kendala dengan mobilku.Entahlah, mobil merahku itu akhir-akhir ini sering sekali ngadat. Mobil itu merupakan hadiah ulang tahunku dari Mas Guntur. Aku yang dulu tak bisa menyetir mobil sama sekali. Diajari Mas Guntur dengan telaten dan hati-hati.Jika sering ngadat dan merepotkan ku seperti sekarang ini. Kemungkinan, mobil itu harus kujual saja. Meski tidak aku pungkiri. Mobil itu menyimpan begitu banyak kenangan bersama Mas Guntur.Kenangan manis bersamanya. Meski kadang, jika teringat kembali. Ada rasa tercubit di hatiku. Dan itu, sangatlah manusiawi.Masuk ke dalam ruang pribadi. Netraku menangkap sesuatu tak biasa di atas meja kerjaku.Hingga keningku berlipat, dan mataku menyipit untuk memperjelas apa yang tergeletak di atas sana.Gegas aku melangkah, mendekati meja kerjaku. Semakin dekat, semakin jelas pulalah apa yang tergeletak itu.Aku berdiri di belakang
Aku keluar kantor dengan tergesa. Seluruh karyawan sudah pulang. Sekarang sudah jam lima sore. Aku pulang terlambat dari biasanya. Karena ada jadwal diskusi mendadak dengan kantor utama dan kantor cabang yang lain. Mau tidak mau, aku harus mengikutinya. Demi keberlangsungan kantor yang saat ini kupimpin.Tiba di parkiran. Aku segera masuk ke dalam sedan merahku. Lalu menyalakan mesin mobil. Tiga kali kucoba menyalakan. Tetapi, mobil tak mau menyala juga."Aghh!" Kupukul kesal setir kemudi di depanku. Lalu membuka pintu mobil dan kembali keluar. Berbarengan dengan Alvito yang datang melewati mobilku."Wina, kenapa? Ada masalah? Kamu kelihatan gelisah?" Alvito menghentikan langkahnya, saat melihatku keluar dari mobil."Mobilku nggak mau nyala, Al. Tadi pagi juga ngadat ini mobil. Eeh sekarang kambuh lagi, mana aku buru-buru," sahutku, tak dapat menyembunyikan kekesalan. Kugigit kuku-kuku tangan, gelisah."Emm, naik motorku aja!" ujarnya seketika."Kamu mau anter aku, Al?"Alvito mengang
Aku baru selesai makan malam. Langsung masuk ke kamar dan menghenyakan bobotku di tepian tempat tidur. Sementara ini, aku diharuskan mengurangi kebiasaanku merokok. Menggantinya dengan makan buah serta sayuran. Untuk mempercepat penyembuhan luka jahit di perutku.Kuambil benda pipih di atas nakas. Karena dilanda bosan. Aku memilih berselancar di media sosial.Kubuka aplikasi gagang telepon hijau. Untuk melihat unggahan status dari nomor yang tersimpan dalam kontak.Satu unggahan, menarik perhatianku. Yaitu unggahan dari Alwina.Tap!"Buket bunga mawar?" gumamku setelah unggahan status Alwina terbuka.Menampilkan satu buket bunga, tetapi Alwina membuat warna dari unggahannya menjadi hitam putih. Sehingga aku tidak tahu, bunga mawar itu berwarna merah ataukah putih.Namun, Alwina justru memberikan caption pada unggahannya itu berupa tiga buah tanda tanya.Apa dia tidak tahu siapa yang mengirimkan bunga itu?Apa jangan-jangan, ada pengagum rahasia yang diam-diam ingin mendekatinya juga?
Aku panik. "Bu, Ibu jangan bilang begitu. Ibu pasti sembuh. Kita akan sama-sama pulang, Bu!"Ibu tak bersuara lagi. Hanya deru napasnya yang semakin berat dengan dadanya yang semakin naik turun. Kurasakan genggamannya di tanganku mengendur.Aku mundur. Membiarkan dokter memeriksa dan menangani Ibu kembali. Kulihat napas Ibu tersendat-sendat. Kepalanya lalu terkulai pelan, seiring dengan matanya yang ikut memejam kembali.Terdengar helaan napas berat dari dokter. Disertai gelengan kepala."Bu Utari sudah meninggal, Pak," ujarnya.Aku menggeleng tak percaya. "Nggak mungkin! Nggak! Dokter pasti bohong!"Aku kembali mendekat pada samping ranjang Ibu. Suster melepas alat bantu pernapasan yang terpasang.Mata Ibu telah memejam. Aku mengguncang bahunya. "Bu? Bangun, Bu! Bangun! Jangan tinggalkan Dewa, Bu! Dewa mohon!" pintaku dengan airmata yang tak bisa kubendung.Kuraih kembali tangan Ibu. Menggenggamnya tetapi tangan itu tak membalas genggamanku seperti tadi."Ibuuuu …." Aku meletakkan ke
POV AUTHOR***"Puas lo, hancurin keluarga lo sendiri?"Dewa menyeka sudut matanya. Menoleh, mencari sumber suara.Ternyata dia memang tak salah dengar. Nakula yang berdiri di belakangnya. Didampingi satu petugas kepolisian. Terhalang satu makam dari makam Ibu mereka saat ini.Dewa memalingkan wajahnya cepat-cepat, setelah melihat Nakula. Para tetangga yang ikut mengantar ke pemakaman Bu Utari, telah pergi.Tersisa hanya beberapa kerabat saja di sini."Puas lo? Udah bikin Ibu meninggal, hah?"Sadewa mendongak. Lantas menegakkan tubuhnya yang sedari tadi berjongkok. Menghadap Nakula yang sudah ada di belakang papan nisan yang tertancap."Sekarang aja lo nangisin Ibu. Seharusnya lo pikirin ini sebelum lo bertindak!" ketus Nakula pada sang Kakak.Dewa melirik sekilas pada Nakula yang menghadapnya. Wajah itu memancarkan kemarahan. Sedangkan mata Nakula begitu sembab dengan bola mata yang memerah."Semua ga akan kayak gini. Kalo lo ga khianati gue. Lo ngerti ga, hah? Yang salah disini itu,
Rumah besar Bu Utari. Kini hanya diisi oleh beberapa kerabat yang masih berdiam di sana. Memutuskan pulang, setelah mengikuti tahlilan nanti malam.Di dapur, Bi Yuyun serta Mang Parjo—suaminya. Tengah meratapi kepergian majikan mereka. Sepasang mata mereka masih mengembun. Dipenuhi sisa-sisa airmata.Majikan yang telah memperkerjakan mereka bertahun-tahun. Majikan yang sangat baik di mata mereka. Kini, telah kembali kepelukan Sang Pemilik Kehidupan.Dewa serta Nakula, berada di ruang depan. Duduk berhadapan di sofa single dan Wira di tengah-tengah mereka.Wira menatap bergantian kedua anak dari almarhum Bu Utari. Wira yang merupakan kerabat dekat dari Bu Utari merasakan kekesalan pada kelakuan Dewa dan Nakula.“Kita cari jalan keluar dari masalah yang terjadi di antara kalian!" tegas Wira tanpa banyak basa-basi."Nakula. Kamu yang paling bertanggungjawab, dan menjadi pemicu dari segala masalah yang terjadi saat ini!" ujar Wira. Membuat Nakula mendongak, dan matanya membesar. Tak perca
Dalam kamar Dewa. Wira telah duduk bersila di atas tempat tidur king size. Dengan laptop di pangkuannya.Sementara Dewa. Memilih duduk di hadapan Om-nya itu. Tak sanggup, dia melihat adegan-adegan menjijikan itu lagi. Dewa mual jika harus melihat semua adegan yang terekam di sana.Wira fokus memeriksa satu persatu file yang terdapat dalam galeri.Wira terkejut. Melihat begitu banyak foto Kharisma dalam balutan lingerie terpampang di depan matanya.Begitu juga foto-foto Kharisma di club malam. Belum lagi, foto Kharisma bersama Guntur. Wira hanya mampu menggelengkan kepalanya tak percaya.Dalam galeri foto. Memang tidak ada foto Kharisma bersama Nakula. Lantas Wira segera beralih pada folder video.Mata Wira membesar. Video itu belum dia putar satu pun. Tapi, hanya tangkapan awal video itu saja, sudah membuat jantung Wira hampir copot.Wira terpaksa memutar satu demi satu video yang ada. Termasuk video Kharisma bersama Nakula, yang memang hanya ada satu. Berbeda dengan video Kharisma de
Wira menutup layar laptop. Menaruhnya ke samping. Lantas menatap Dewa di sebelahnya. Wira menatap iba pada anak dari kerabatnya itu. Dewa yang tampan. Mapan. Sukses dan kaya. Harus mendapati kenyataan yang sangat menyakitkan.Wira bisa merasakan posisinya. Wira mengusap punggung Dewa. Menyalurkan sedikit ketegaran padanya. Mengisyaratkan, bahwa dia ada di sana. Ada untuk Dewa dan menolong semampu yang dia bisa. Menyiratkan, bahwa Dewa tak sendiri. Wira akan ada untuknya.Dewa bergeming di tempatnya. Menatap kosong tembok berwarna khaki dalam kamarnya."Bunuh saja Dewa, Om!" cetusnya, dengan pandangan lurus ke depan. Wira dapat mendengar ucapan lelaki di sampingnya itu. Wira mengerti sakit hati yang mendera pada Dewa.Wira menepuk-nepuk punggung Dewa. Lalu tangannya beralih pada pundak Dewa. "Nggak, Wa! Jangan pernah bicara seperti itu. Om mengerti keadaan kamu. Percaya pada Om. Om ada di sini. Kamu nggak sendirian!"Dewa menunduk. Hatinya patah. Hancur berkeping. Bahkan mungkin remuk