Share

3. PERMINTAAN RUJUK

“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.

“Ayo, peluk Mamah, Nak!”

“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.

“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.

“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.

“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.

“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.

“Tapi .... “

Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.

“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”

“Kenapa mamah gak ikut sama kami? Tiara ingin kita seperti dulu lagi. Papah’kan belum meningal jadi kita bisa tinggal di rumah Papah lagi. Ayo, Mah, kita pulang ke rumah Papah!” Tiara merajuk sembari menggoyang-goyangkan tanganku.

“Tiara. Dengerin Mamah, Nak. Kita tidak bisa pulang ke rumah Papah lagi. Karena .... “

“Tapi kenapa, Mah?”

“Pokoknya kalau Mamah bilang gak bisa, ya gak bisa. Tiara harus nurut sama mamah!” ucapku penuh penegasan. Aku tak bisa menjelaskannya untuk saat ini. Tapi suatu saat nanti dia pasti akan tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya.

“Sekarang kamu masuk!”

“Mamah jahat!”

Tiara menangis dan berlari masuk ke dalam rumah. Sebenarnya tak tega melihatnya menangis. Namun semua ini aku lakukan demi kebaikannya.

Sejenak melirik ke arah Mas Arman dengan kesal dan ingin memakinya. Namun saat pandangan kami bersirobok, mulutku tak mampu mengucap kata. Tatapan matanya seolah menyihirku. Aku akui mas Arman adalah satu-satunya pria yang pernah mengisi hari-hariku. Dia pria pertama yang membuatku jatuh cinta. Dan aku pikir dia juga pria terakhir dalam hidupku. Namun takdir berkehendak lain. Sekarang dia sudah menjadi milik wanita lain.

Aku tak ingin larut dalam masa lalu. Lebih baik aku masuk tanpa menyapanya.

“Khanza! Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Arman dengan lembut. Dan anehnya saat mendengar suara itu membuat debaran jantung menguat. Aku harus bisa mengendalikan diri. Lebih baik menolak keinginannya.

“Maaf, aku sibuk!” jawabku singkat.

“Hanya lima menit saja, aku meminta waktumu, demi Tiara!”

Mas Arman sangat tahu kelemahanku. Kalau sudah menyangkut masalah anak, aku pasti takkan bisa menolaknya.

“Oke, hanya lima menit!” ucapku dengan singkat tanpa menoleh ke arahnya.

“Boleh aku duduk?”

“Silakan! Tapi kopi sedang habis!” jawabku dengan kesal sembari menghempaskan tubuh pada kursi kayu yang berada di teras rumah.

“Tenanglah. Aku tidak akan meminta kopi, walaupun aku sangat menyukai kopi buatanmu.” Mas Arman menarik napas panjang sebelum memulai pembicaraan.

“Tiara tadi berbicara, bahwa dia sangat merindukan kebersaman dengan kita. Dan dia mau kalau bisa tinggal satu rumah lagi. Dan ... aku juga sangat merindukan saat-saat itu. Bagaimana menurutmu?”

Aku sangat terkejut mendengar ucapannya. Sama sekali tak menyangka kalau Mas Arman akan mengatakan hal ini.

“Apa maksudmu? tolong katakan dengan jelas!” tanyaku dengan suara bergetar. Entah apa yang aku rasakan saat ini. emosi, kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Bisa-bisanya dia bicara tanpa berpikir panjang.

“Oke, aku paling tidak suka basa-basi. Aku ingin kita rujuk. Semua ini demi kebaikan Tiara!”

Aku sangat terkejut mendengar jawabannya. Walaupun aku sudah mengerti ke mana arah ucapannya.

“Kau bilang apa? rujuk?!” tanyaku dengan menaikkan nada satu oktaf

“Iya! Kenapa?”

“Apa kamu lupa kalau kau sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku?! Itu artinya kita sulit untuk rujuk! Dan aku juga belum bisa melupakan penghianatan dan juga penghinaanmu!”

“Oke, aku minta maaf untuk itu. Tapi apa kamu tidak memikirkan keadaan Tiara yang tumbuh tanpa keluarga yang harmonis?”

“Seharusnya kau tanyakan itu pada dirimu sendiri! Kau lah penyebab semua ini, Mas!” pria di hadapanku ini semakin membuatku meradang.

“Khanza! Aku tidak ingin ribut denganmu. Namun setidaknya pikirkan baik-baik permintaanku. Aku juga akan mencari informasi tentang cara rujuk setelah talak tiga. Aku pamit dulu. Dan tolong pikirkan kembali demi Tiara!”

Mas Arman pergi begitu saja tanpa peduli dengan perasaanku. Begitu mudahnya dia menyuruhku pergi dari hidupnya dan kembali lagi dengan seenaknya. Dasar manusia tak punya hati dan egois.

***

“Tiara, Ayo makan dulu, Nak!” aku menyuapi putriku yang mogok makan. Seharian ini gadis kecilku selalu menangis dan ingin bertemu papahnya. Namun aku tak memenuhi keinginannya hingga membuatnya tak mau makan.

“Tiara gak mau makan! Tiara mau Papah! Titik!” ucapnya sambil berlari menuju kamarnya.

Aku menarik napas. Benar-benar tak mengerti apa yang harus aku lakukan. Semua ini gara-gara Mas Arman. Kalau saja dia tak datang menemui Tiara, semua ini takkan terjadi.

Namun aku juga mengkhawatirkan keadaannya. Kalau dia tetap mogok makan, bisa-bisa putriku jatuh sakit.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nomor tak dikenal muncul pada layar. Segera mengusap tombol berwarna hijau.

“Hallo, Assalamu’alaikmu. Dengan siapa ini?”

“Aku Arman. Aku  ada di depan rumahmu!”

Seketika aku menoleh ke arah pintu. Beraninya dia datang ke sini lagi. Dengan kesal aku mematikan sambungan telepon dan melangkah ke arah pintu. Dada ini sudah tak tahan ingin meluapkan amarah.

Kubuka pintu dengan kasar dan berniat untuk memakinya. Namun aku mengurungkan niat saat melihat Mas Arman membawa boneka dan mainan untuk Tiara.

“Mas, aku mohon jangan datang ke sini lagi!“

“Aku datang untuk Tiara. Tolong, ijinkan aku bertemu dengannya!” mantan suamiku itu berbicara begitu lembut. Dia terlihat sangat sopan. Hal ini tentu saja membuat hatiku luluh.

“Papah!” Suara teriakan putriku cukup mengagetkan. Dari mana tahu kalau papahnya datang. Dan aku tak bisa melarangnya saat keduanya berpelukan dan melepas rindu. Tiara bahkan menyuruh papahnya masuk ke kamarnya tanpa menyapaku. Ya Alloh, semua pengorbananku sia-sia dengan kehadirannya.

Sudahlah, aku harus ikhlas. Bagaimanapun Tiara juga membutuhkan papahnya. Semoga saja dia berhenti mogok makan.

***

Cukup lama aku menunggu keduanya melepas rindu. Celoteh dan canda tawa putriku terdengar hingga keluar. Aku tahu putriku sangat bahagia. Setelah sekian lama aku kembali bisa mendengar putriku tertawa lepas. Rasanya aku juga ikut bahagia.

“Khanza!”

“Astaghfirulloh hal’adzim!” aku sangat terkejut saat mendengar suara Mas Arman.

“Tiara mana?’

“Sedang tidur. Oh, ya, boleh duduk sebentar?”

“Silakan!”

“Bagaimana, apa kau sudah punya jawaban atas permintaanku?”

Aku membisu dan hanya menarik napas panjang. Rasanya sangat berat untuk mengambil keputusan. Aku tak bisa main-main dalam keputusan ini karena menyangkut keluarga besar. Aku juga harus menikah terlebih dahulu dengan pria lain. Rasanya sangat sulit jalan rujuk yang akan kami tempuh.

“Boleh aku jujur?”

“Silakan!”

“Sebenarnya aku tidak ingin kembali padamu. Penghianatanmu masih sangat membekas dalam hatiku.” Kelopak mata mulai memanas. Sekuat apapun menahan airmata cairan hangat tetap mengalir deras membasahi pipi. Hatiku sangat terluka kala mengingat apa yang sudah dilakukannya terhadapku.

Bukan hanya satu wanita, tapi beberapa wanita sudah pernah dikencani oleh mas Arman. Rasanya hati ini sudah tak sanggup menanggung rasa pedih dalam dada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status