Selama satu hari ini aku dibuat tak sabar oleh wanita itu, Hanindiya Atmojo, apa sebenarnya yang dia miliki hingga aku begitu tertantang untuk mengetahui lebih banyak tentangnya? Terlebih setelah pertemuan kami malam itu, saat motornya mogok dan menghadang mobilku di tengah jalan, keberaniannya serta sikap yang terlihat percaya diri bagai magnet yang membuat aku semakin tertarik dan penasaran.Aku menelepon Aldo—anak buahku untuk mengambil motor wanita ceroboh itu di jalan, dia bahkan tak takut motor itu akan dicuri, ya walau pun motornya seburuk itu. Lebih pantas dijual di penampung barang rongsokan.Aku menyukai ekspresi terkejutnya, raut wajahnya saat mendadak marah, itu semua bagaikan mood booster, layaknya candu yang memaksaku kembali menjahilinya. Oh Tuhan, apa aku terpikat janda sekarang? Come on Abi! Wanita itu hampir menguasai pikiranmu saat ini!Saking tak bisa tidur aku meneleponnya, mencari alasan agar kami bisa bertemu lebih cepat besok. Meski sedikit tidak puas dengan j
Saat pulang kerja, aku mendapati pagar rumah terbuka, padahal aku yakin sudah menutupnya pagi tadi, tapi siapa yang membukanya, rasanya tak mungkin jika hanya tertiup angin, ini adalah pagar besi, lalu siapa?"Hanin!" panggil Bu Rami, aku menoleh lantas menghampiri saat wanita paruh baya itu semakin dekat, kini kami berhadapan hanya pagar sebagai penyekat."Ya, Bu?" tanyaku."Tadi ada yang nyariin kamu," terangnya, aku mengernyit alis penasaran, menanyakan siapa yang mencariku. Bu Rami terlihat menggaruk kepalanya sebentar."Itu ... suami kamu sama perempuan cantik, mereka naik mobil mewah," terangnya, aku sedikit terkejut, untuk apa pria itu datang lagi? Belum puaskah dia meremuk hatiku?“Terus motor kamu juga ada yang ngantar, sepertinya orang bengkel dari seragamnya, mereka nitip kunci ke saya,” ucapnya lagi, aku menoleh pada motor yang sudah terparkir di teras."Bentar ya, saya ambil kunci motor kamu dulu," Bu Rumi berlalu ke dalam rumah. Tak lama wanita paruh baya itu keluar, ia
Tiba di ruangan bos, aku bergegas masuk, di sana dia sedang sibuk dengan laptopnya, pria itu hanya melirik aku sekilas."Maaf, Pak, itu jadwal yang sudah saya atur, Bapak bisa memeriksanya sekarang," ucapku. Dia menutup laptopnya kemudian beralih memeriksa map yang kubawa."Bagus, sekarang pergi ke pantry dan buatkan saya mie, persis seperti yang kamu makan semalam, cepat!" serunya, aku membelalak. Jadi dia masih dendam? Ah, ya! Aku lupa, mana mungkin Pak Abimana yang sangat arogan itu bisa melupakan kejadian semalam."Tapi kan sebentar lagi meeting, Pak. Nanti kalau mulut bapak belepotan dan ada minyak-minyaknya gimana tuh? Nggak apa-apa diliatin sama relasi kita nanti?" tanyaku menakutinya, demi apa pun hanya lima belas menit lagi meeting kami akan dimulai.Dia terlihat berpikir, lalu menatap tajam padaku, "Oke, tapi setelah meeting nanti kamu harus buatkan untuk saya, are you understand?" Kata-katanya penuh penekanan, aku menabik padanya."Aye-aye, Boss!" seruku, dia semakin menaja
[Saya tau, Hanindiya. Saya di mobil, tepat di depanmu, cepat masuk! Jangan harap saya mau jemput pakai payung, ini bukan drama Korea. Hurry up, i don't like waiting,]"Tapi bagaimana dengan motor saya, Pak?""Ck! Biarkan saja! Nanti dijemput orang suruhan saya," sahutnya kemudian memutus panggilan. Aku menatap mobil itu ragu-ragu. Naik tidak ya?Biiiiiip!Aku terperanjat mendengar klakson mobilnya, kemudian meraih tas dan menarik kunci motor. Aku payungi kepala dengan tas lalu berlari secepat yang aku bisa ke arah mobil mewah Pak Abi.Sama saja, blazerku terlanjur basah dengan rinai hujan. Gegas membuka pintu mobil lantas memasukinya, di sampingku Pak Abi menatap dengan tatapan yang tak bisa di artikan.Pria itu seperti sedang menghindar, netranya bergerak seperti orang gelisah, lalu aksinya sukses membuatku beringsut dengan tangan yang refleks menutupi bagian depan tubuh, dia ... melepas jasnya."Buka blazermu!" titahnya lagi-lagi membuatku tersentak kaget. Apa yang akan dilakukannya
Aku tak dapat menolak ajakan Pak Abi yang katanya mau mengenalkanku pada seseorang, dia bilang ini adalah bagian dari hukuman atas semua kesalahan baik sebelum dan sesudah aku bekerja di perusahaannya.Saat jam pulang tiba, dia memanggilku ke ruangannya. Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan pria yang paling menyebalkan seantero kantor."Kenapa Bapak melihat saya segitunya? Ada yang salah?" tanyaku sedikit risi dengan dia yang menatapku sejak tadi."No, sorry, saya ingin tanya satu hal," ucapnya menjeda ucapan, seperti tengah menunggu persetujuanku. "Sure, tanya apa?" "Kenapa gaya busanamu mendadak berubah?" tanyanya."Saya rasa itu urusan pribadi, Pak. Bapak tidak perlu tau," sahutku datar. Mana mungkin aku menjelaskan asal mula aku memakai baju tertutup padanya. Walaupun pada akhirnya aku memutuskan itu karena ingin berubah jadi lebih baik, tapi tetap saja."Hmm, oke. Tapi, kamu ikut saya setelah ini," ucapnya."Iya, Pak. Saya sudah setuju sejak siang, tidak usah diulang-ula
"Sudah berapa lama Hanin kenal dengan Abi?" tanya eyang setelah hening beberapa saat. "Belum lama Eyang, Hanin bekerja sebagai sekretarisnya di kantor," sahutku sembari melempar senyum. Eyang tampak manggut-manggut."Abi itu sebenarnya baik, cuma dia jadi terlalu keras pasca patah hati tiga bulan lalu," ucap eyang menerawang jauh.Wow! Fakta baru yang mengejutkan, aku meringis turut memasang wajah prihatin kala mendapati tatapan eyang berubah sendu. Aku mengusap punggung tangannya hangat."Hanin mau nggak tolong eyang?" tanyanya dengan tatapan penuh harap."Tolong apa, Eyang?" tanyaku penasaran, wanita renta itu semakin lekat menatapku."Tolong Hanin bahagiakan Abi dengan tetap ada di sampingnya, dia sudah menderita sejak kecil karena kehilangan orang tuanya dalam sebuah tragedi kecelakaan," ucapnya. Tangan keriput itu bergerak mengusap sudut mata yang sudah berair."Selama Abi menjalin hubungan dengan wanita, hanya dua orang yang dia bawa pada eyang. Dulu Kiara, wanita yang kini sud
Kupacu motorku membelah jalanan menuju rumah, semua pekerjaan dan tugas dari Pak Abi selesai tepat waktu sehingga aku bisa pulang lebih awal.Tiba di rumah, aku mendapati sebuah mobil mewah terparkir di dekat pagar, begitu motorku memasuki halaman rumah, dua orang yang cukup kukenal keluar dari mobil itu lantas ikut masuk.Mau apa lagi mereka? Mas Amm dan wanita barunya. Mereka dengan lancang berani datang menyambangi. Dia—pria yang dulu sangat kucintai merangkul pinggang wanita lain di depan mataku. Aku masih terpaku saat mereka sudah ada di hadapan, keduanya saling melempar senyum bahagia."Hanin, kamu apa kabar?" tanya Mas Amm menyentakku dari lamunan, kupalingkan wajah demi menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, Ya Allah, kenapa dadaku mendadak sesak menyaksikan kehadiran mereka. Kembali kutatap keduanya dengan seulas senyum penuh kegetiran."Aku ... baik, ada keperluan apa kalian kemari?" tanyaku, tak perlu beramah-tamah dengan mengajak tamu tak diundang ini masuk."Aku— aku ...."
Kuayunkan langkah ke ruangan Pak Abi dengan paper bag kujinjing di tangan, tak perlu waktu lama aku sudah sampai di depan ruangannya."Masuk!" seru si bos dari dalam setelah tiga ketukan mendarat di daun pintu ruangannya. Gegas aku menekan hendel pintu kemudian beranjak memasuki ruangan itu.Pak Abi terlihat mengernyitkan alis dengan pandangan tertuju pada bawaanku. "Silakan duduk, Hanin!" titahnya. Aku menjatuhkan bobot tubuh di sofa empuk bahan beludru ini, Pak Abi menatapku saat aku meletakkan paper bag itu di hadapannya."Apa itu?" tanyanya."Jas Bapak dan ... paket yang dikirimkan untuk saya malam itu," sahutku menjelaskan. Dia meraih paper bag itu lantas membukanya."Apa maksudnya, ini?" Ya Salam! Memang apa lagi selain mengembalikan pemberiannya? Dasar lemot! Masalah kerja aja dia cepat tanggap."Saya mau mengembalikan barang yang Bapak kirim buat tugas malam itu, sekaligus jas yang Bapak pinjamkan di mobil, semua sudah saya cuci, jadi Bapak tenang saja, nggak ada bakteri apal