Lyra segera tahu suaminya sedang dalam mode kesetanan. Ia reflek menurunkan kaki, hendak kabur menjauh karena takut disiksa seperti awal pernikahan. Namun, gerakannya kalah cepat dan Rex berhasil menarik sikunya hingga ia terjengkang ke belakang. Dengan kasar, sang suami menarik Lyra sampai terjatuh dengan bokong dan punggung lebih dulu menggempur lantai. “Mas! Ada apa!” jerit Lyra menutupi kepala dan wajah dengan kedua tangannya. Takut tamparan Rex akan mendarat setelah ini. “Kamu sialan! Kamu sudah berjanji tidak akan mengadu apa pun kepada Papaku! Ternyata, kamu adukan semuanya, brengsek! Lacur sialan! Wanita murahan!” amuk Rex menjambak rambut Lyra dengan kasar. “Lepaskan! Sakit! Sakit, Mas! Sakiiit!” jerit Lyra memegangi rambutnya yang dijambak tak berperikemanusiaan. Namun, Rex tidak peduli! Sambil terus menjambak, dia menyeret Lyra hingga kembali ke ranjang dan melempar tubuh mungil istrinya ke atas peraduan.Terengah, ia berdesis, “Kamu tahu? Sejak kamu keguguran, aku mul
Keluarga Adiwangsa duduk di depan ruang IGD. Setengah jam lalu mereka sampai di rumah sakit setelah diberitahu oleh pihak kepolisian bahwa ada anggota keluarga yang mengalami kecelakaan di jalan tol.Harlan, Ajeng, dan Eva duduk berdampingan. Ibu dua orang anak itu pucat pasi, bersandar lemas di pundak suaminya. Air mata sudah membasahi wajah sejak masih di rumah. Pun dengan Eva yang terus menggigiti kuku jari sembari sesekali mengetik di ponsel. Adiknya itu terkadang terisak, bahkan napasnya tersengal. Sementara Lyra, ia berada dua baris di belakang keluarga kaya raya itu. Meski kursi di sebelah Eva ada sekitar tiga buah yang kosong, ia memilih untuk memisahkan diri dan duduk di paling belakang saja. Pikirnya, siapa tahu setelah ini ada anggota keluarga yang lain datang.Apa yang diduga tidak salah, seorang wanita muda berlari memasuki IGD dan langsung berpelukan dengan Eva. Belum bisa dibilang keluarga, tetapi mungkin calon keluarga. “Rex sedang meneleponku saat kecelakaan terjadi
“Aku tidak bisa merasakan atau menggerakkan kakiku!” engah Rex menggeleng dengan wajah panik.“Apa biusnya masih bekerja, Dokter?” tanya Harlan ikut panik dan mendadak pucat. Sudah diberi keterangan oleh dokter bahwa kelumpuhan mungkin saja terjadi, tetapi ia tetap merasa tidak siap menerima kenyataan putranya tidak bisa berjalan lagi.Lyra memandang dengan perasaan bergemuruh kencang. Air mata menuruni pipinya bersamaan dengan Rex yang menjerit dan menangis karena tidak bisa merasakan atau pun menggerakkan kakinya. Sang mantan suami meronta, menjerit histeris hingga dipeluk oleh Harlan. Hari ini, tidak ada yang bisa tersenyum meski sedikit saja.***Dua hari berlalu, kondisi vital Rex yang semakin stabil membuatnya dipindahkan ke kamar biasa. Lyra datang menjenguk saat pemuda itu sedang sendiri hanya ditemani oleh seorang perawat lelaki yang disewa Harlan.“Mau apa ke sini? Aku tidak mau melihatmu lagi!” desis Rex melengos, tak sudi menatap wajah sang wanita.“Hanya mau melihat kead
Permintaan Harlan adalah sesuatu yang sangat berat bagi Lyra. Ketika diri ditalak, separuh batin merasa ini adalah kebebasan yang dinanti. Jika ia menerima, bukankah berarti diri akan kembali terjebak dalam labirin penderitaan yang sama?“Kamu butuh uang untuk keluargamu di desa, bukan? Papa bisa memberikan gaji bulanan kepadamu untuk menjadi perawat Rex jauh lebih banyak daripada ketika kamu menjadi perawat Nenek Tariyah,” ucap Harlan berusaha menggoyah pendirian Lyra.Sang wanita melirih, “Bukan semata masalah uang, Pa. Tapi … Mas Rex membenciku. Dia akan semakin stres kalau ada aku di sisinya. Bagaimana dengan Marina? Bukankah mereka saling mencintai? Apakah marina tidak mau merawat Mas Rex?”Harlan tertawa miris. “Marina? Kamu tidak tahu, ya, Marina itu seperti apa? Saat Rex masih dalam kondisi kritis saja dia justru berangkat ke Korea Selatan untuk jalan-jalan dengan teman geng foto modelnya.”“Keluarga Marina itu sangat materialistis. Papa kenal ibu dan adiknya, tahu seperti apa
Rex melongo mendengar ucapan Marina. “A-apa?” engah sang Tuan Muda menggeleng tak percaya. “Kamu mau apa?”“Aku mau membersihkan badanmu. Itu baju sudah basah semua, harus diganti, ‘kan?” senyum Lyra dengan sabar. Dalam hati, sebenarnya dia juga berdebar. Bagaimana tidak sabar? Selama menikah, tak pernah sekali pun menyentuh atau melihat kejantanan sang suami. Namun, supaya Rex tidak semakin risih, dia berusaha terlihat biasa saja. “Kamu gila! Aku tidak mau!” geleng Rex dengan wajah sontam memerah. Lyra hanya tersenyum, lalu keluar kamar. Ia melihat seorang perawat sedang berlari, “Maaf, bisa meminta satu set sprei dan selimut? Saya dari kamar VVIP. Pasiennya buang air kecil di atas ranjang hingga harus segera diganti.”“Maaf, kami akan segera datang dan mengganti setelah selesai dengan pasien kritis di kamar lain,” ucap perawat sedikit terengah. Menggeleng, Lyra kemudian menanggapi, “Cukup berikan saya set sprei, dan saya yang akan menggantinya.”“Mbak yang akan mengganti? Memang
Jantung Lyra semakin berdetak tidak karuan saat ia menurunkan celana dalam mantan suaminya. Tidak ada pilihan selain berbuat total dalam membersihkan tubuh lelaki itu. Jika Rex menutupi wajah dengan bantal karena malu, Lyra menggigit bibirnya karena gugup akibat melihat kejantanan sang suami yang masih tertidur pulas di antara kedua kaki. ‘Ya, ampun! Jadi, seperti itu bentuknya?’ teriak Lyra menahan keinginan untuk menjerit, tertawa, tergelak, teriak, dan entah apa lagi.‘Sial! Kenapa dia diam saja? Apa dia sedang memperhatikan kemaluanku? Sialan! Sialan! Aku malu sekali! Kenapa dia tidak berbuat apa-apa? Jangan-jangan dia sedang mengambil foto dengan ponselnya!’‘Bisa saja dia dendam, lalu menyebarkannya di internet, ‘kan? Kurang ajar!’ Mendadak Rex menjadi geram dan ia spontan menarik bantal dari atas wajahnya. Tidak mau sampai fotonya saat telanjang begini menjadi viral di dunia maya. Apa kata dunia?Ia langsung membentak, "Kenapa kamu diam saja!"Lyra yang sedang tertegun melih
Kedua pemuda itu terkejut saat melihat hanya ada satu ranjang. Saling tatap selama beberapa saat, kemudian sama-sama memalingkan wajah. Kebingungan melanda, beserta rasa gugup.“Kita ke kamar Papa!” perintah Rex.“I-iya, Mas!” angguk Lyra mendorong kembali kursi roda mantan suaminya keluar. Mengetuk pintu kamar Harlan, keduanya mematung dengan wajah tegang. Begitu pintu dibuka, Rex spontan bertanya. “Kenapa hanya ada satu ranjang di kamar?”“Memangnya kenapa?” Harlan balik bertanya. “Kenapa? Bagaimana aku dan Lyra bisa tidur kalau hanya ada satu ranjang?”Kening Harlan mengerut, “Ya, kalian tidur di atas ranjang itu. Maksudnya bagaimana dan kenapa? Papa tidak paham,” jawab sang ayah mengendikkan bahu.“Pa, itu ... uhm ... aku dan Mas Rex kan sudah bukan suami istri lagi. Jadi, tidur satu ranjang sepertinya agak bagaimana?” ucap Lyra lebih mempertegas. “Aku mau pindah kamar yang double bed!” tukas Rex lebih memperjelas lagi.“Tidak ada lagi, hanya itu yang tersisa,” senyum Harlan. “S
Selesai diperiksa oleh Dokter Ian untuk screening awal, Rex dan Lyra kembali menunggu di luar ruang periksa. Lelaki itu memandang sekilas pada sang mantan istri. “Sepertinya kamu berbinar sekali hari ini?” sindirnya datar.Lyra menoleh, memasukkan ponsel ke dalam tas kecil. “Berbinar bagaimana, Mas?”“Ya, tidak tahu. Sepertinya kamu senang sekali? Ada apa memangnya?” Rex lanjut menyindir.“Senang yang bagaimana?” Dan Lyra tetap tidak tahu. Menghela napas kasar, Rex menggeleng, “Sudah, lupakan saja!”“Baik, Mas,” angguk Lyra menurut dan tersenyum. Ia sama sekali tidak tahu yang disindir adalah percakapannya dengan Dokter Ian barusan. Rex cemberut karena mantan istrinya itu begitu polos dan tidak sadar apa maksudnya. Semakin cemberut saat Dokter Ian keluar dari ruangan dan menghampiri mereka kembali.“Mari, saya antar ke ruang tunggu yang pertama, yang di dekat tempat praktek Dokter Makoto,” senyumnya ramah dan memegang kursi roda Rex.Lyra berdiri, berjalan di samping sang dokter y