“Pergi kalian dari rumahku!“ teriak mertuaku, matanya merah, nafasnya memburu, seolah sangat membenciku, menantunya.
Aku terkejut, tidak ada angin tidak ada hujan mengapa tiba-tiba beliau mengusir kami? Apa salah kami? Seingatku, aku tidak membuat kesalahan sama sekali hari ini. Semua perkerjaan rumah ku selesaikan dengan sempurna. Masak, mencuci baju, menjemur, mengepel, bahkan aku sempat menyetrika baju semua anggota keluarga ini. Beruntung hanya ada kami berempat, aku, suamiku, anak, dan mertuaku, jadi baju yang ku setrika tidaklah banyak.
Mas Adnan diam tidak berkutik, tapi aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Matanya sejenak terpejam. Seolah menelusuri apa yang membuat mertuaku tiba-tiba marah pada kami.
“Cepat kalian pergi, aku sudah muak melihat kalian. Apalagi kamu, Mila. “ Mertuaku menunjukku dengan tatapan bengis.
“Apa salah Mila, Bu? “ tanyaku terbata-bata. Sungguh aku tidak merasa melakukan salah, selama ini di rumah mertua, aku melakukan semua perkerjaanku sendiri. Mengasuh anak pun kulakukan sendiri tanpa bantuan siapapun.
Kubenarkan gendongan Mehra, anakku yang terlihat mulai tidak nyaman. Sepertinya dia kaget mendengar suara neneknya yang keras dan melengking.
“Kamu tanya apa salahmu? Salahmu banyak, salahmu kenapa kamu mengambil Adnan dari Tiara? Seharusnya yang pantas menjadi istri Adnan itu Tiara, bukan kamu!“ hardik Mertuaku.
Deg!
Rasanya jantungku berhenti berdetak, kenapa pula mertuaku menyebut nama Tiara? Tiara adalah mantan istri Mas Adnan. Ya, aku menikah dengan Mas Adnan saat ia masih berstatus suami Tiara. Bukan mauku menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki istri, sungguh. Namun, aku tidak bisa membohongi hatiku, sejak 5 tahun yang lalu aku sudah mencintai mas Adnan.
Saat itu aku masih kelas 3 SMA, satu hari setelah ujian kelulusan aku bersama dengan teman-temanku iseng mencari pekerjaan sambilan sembari menunggu ijazah. Akhirnya kami diterima di salah satu pabrik di desa sebelah. Di sanalah awal mula aku dan Mas Adnan bertemu. Setelah satu bukan berkenalan akhirnya kami berpacaran. Namun, tahun kedua hubungan kami kandas. Kami memutuskan untuk berpisah. Saat itu hubungan kami berada di titik jenuh, akun dan mas Adnan sama-sama bosan dengan hubungan kami yang tidak ada kemajuan.
Setelah beberapa bulan putus, aku mendengar ia akan menikah dengan seseorang, Tiara, namanya. Awalnya aku tidak begitu peduli lagi dengan kehidupan mas Adnan, hingga suatu ketika salah satu dari kami mengirimkan pesan. Itulah awal dari masalah yang tidak ada habisnya sampai sekarang.
“Gak usah nangis kamu, ha... Kamu itu Cuma perebut suami orang. Seharusnya Tiara tetap menjadi menantuku! Bukan kamu! “ teriak mertuaku histeris sambil menangis.
Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun mertuaku menghina apalagi marah kepadaku. Mas Adnan sudah tidak ada di sampingku. Kemana dia? Padahal aku sangat membutuhkannya saat ini.
Inginku menjawab ucapan Ibu Mertuaku, tapi aku takut dikatakan menantu tidak berbakti.
Beliau nampak ngos-ngosan, seolah mengeluarkan tenaga melebihi kemampuannya.
Tak lama datanglah Mas Adnan dari arah dapur membawa segelas air putih. Tanpa berkata apapun, ia menyodorkan gelas itu pada Ibu.
“Minum dulu, Bu.“ Mas Adnan membantu Ibu minum sampai air itu habis.
Seketika ibu terlihat lebih tenang, dan lemas. Mas Adnan terus mengelus punggung Ibu, mulutnya tak henti komat kamit membacakan sesuatu pada Ibu. Tak lama mas Adnan meniup kepala Ibunya.
“Sudah, Ibu istirahat dulu ya. Ibu pasti lelah.“ Mas Adnan memapah Ibu masuk ke dalam kamar.
Aku menunggunya dengan gelisah di ruang keluarga bersama Mehra dalam gendongan yang mulai tertidur. Karena mas Adnan tak juga keluar dari kamar Ibu, kuputuskan menidurkan Mehra terlebih dahulu. Kebetulan sudah pukul 20.30 malam, sudah waktunya Mehra tidur.
Setelah yakin Mehra tidur, aku keluar dari kamar, ternyata mas Adnan sudah duduk di ruang keluarga. Tak langsung duduk, aku memilih ke dapur membuatkan kopi untuknya. Aku tau ada yang ingin ia bicarakan denganku.
Beberapa menit kemudian kopi sudah terhilang di depan mas Adnan, kulihat ia menghembuskan nafas dengan kasar.
“Ibu kenapa, Mas? “ Aku duduk di samping mas Adnan.
“Apakah tadi Tiara ke sini? “ Aku mengernyitkan dahi, bukannya menjawab malah menanyakan Tiara.
“Iya, tadi sore Tiara ke sini, mampir katanya. Dia dari kuliah, “ jawabku asal.
“Bawa apa dia? “ Lagi-lagi aku terheran, kenapa selalu menanyakan Tiara.
Aku berpikir sejenak, “Kalau gak salah, dia bawa martabak telur. Kenapa, Mas? “ tanyaku tak sabar kemana arah pertanyaannya.
“Lain kali langsung buang apapun yang dibawa Tiara untuk Ibu, “
“Kenapa? “ tanyaku heran, aneh sekali.
“Kamu tau, Martabak tadi ada ‘isi'nya. Itu yang membuat Ibu marah-marah dan mengusir kita.“
Deg!
Benarkah itu?
“Maksud kamu apa, Mas?“ tanyaku tidak paham. ‘Isi' apa yang Mas Adnan maksud, bukankah yang namanya martabak ada isinya telur dan sayur? Ah, entahlah.Mas Adnan menghela nafas, seperti berat mengatakan sesuatu. “Ada pelet di dalam martabak itu, Dek. Tiara ingin merusak hubungan kita melalui Ibu." Mas Adnan berhenti sejenak menyeruput kopi pahitnya. Ia sangat menyukai kopi yang kental dan pahit.“Masak sih, Tiara seperti itu?” Aku mengernyitkan dahi, ‘Serius Tiara seperti itu? ‘ batinku bergejolak, banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi kutahan. Tidak semuanya harus aku tanyakan saat ini juga.Mas Adnan mengangguk, “Iya, Tiara tidak suka melihat kita hidup bahagia,““Aku gak percaya.” Jelas saja aku tak mempercayai ucapan Mas Adnan. Kalau kalian tahu, pasti akan berpikiran sama sepertiku.Tiara adalah perempuan yang terlihat sempurna, wajahnya cantik, berkulit putih bersih, dan berkarir. Berbeda jauh denganku yang biasa saja, kulitku tak seputih Tiara, dan aku hanya ibu
“Assalamu’alaikum,”Aku mendengar suara salam, sepertinya Tiara yang datang. Segera kumatikan kompor, oseng tahu dan kacang menjadi menu sarapan kami pagi ini.“Mau apa ke sini pagi-pagi,” gumamku kesal. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat Ibu sedang bermain dengan Mehra, sepertinya beliau enggan menyambut Tiara.“Oh, Mbak Tiara,” sapaku dengan ramah, pura-pura ramah lebih tepatnya.Tiara menatapku sinis, lebih tepatnya saat ia melihat rambutku yang basah. Mungkinkah ia tidak suka aku basah pagi hari? Ah, bodo amat. Aku tidak mau memikirkan perasaan Tiara, untuk apa? Dia saja tega memelet Mertuaku.“Ada perlu apa ya, Mbak?” Aku bertanya dengan ramah dan tersenyum lebar, seolah tidak memedulikan tatapannya yang sinis.Pertanyaanku sepertinya membuyarkan lamunan Tiara, terbukti dia sedikit terkejut mendengar suaraku. Ah, Tiara, kenapa kamu datang lagi ke sini?“Enggak, aku nyari Ibu. Beliau ada?” jawab Tiara mengulas senyum. Pura-pura lebih tepatnya, aku bisa membaca pikiranmu sek
Aku bersujud di malam yang dingin, menggelar sajadah, saat semua orang masih berada di alam mimpi. Memohon ampunan kepada Allah atas dosa di masa lalu yang sudah kuperbuat. Aku tahu dosaku sangat besar, dosa yang hina, dan semua orang membenci itu. Namun, aku yakin Allah akan memberi ampunan pada hambanya yang bertaubat, betul?Aku berdoa, semoga Allah mengampuni semua dosaku, dosa semua orang yang mengenalku, tak lupa memohon agar Allah menjauhkan kami dari pelet yang digunakan Tiara.Mungkin semua orang akan berkomentar bahwa aku dan Tiara jahat! Benar, kami sama-sama jahat. Akibat ulah kami banyak dari mereka yang sakit hati.Keluarga Tiara dan semua orang yang menganggap dia sempurna akan menghujatku tiada ampun. Menyebarkan aibku melalui media sosial, bahkan ada dari mereka yang memalingkan wajah saat bertemu denganku.Beda lagi dengan Tiara, mertuaku lah saksi hidup berapa kejamnya Tiara saat masih menjadi menantu. Ibu pernah bercerita, Tiara tidak pernah membantunya mengerjakan
“Ibu, kenapa?” tanyaku bingung dengan perubahan Ibu.Kulihat Tiara tersenyum sinis melihatku. Ah, sepertinya ada yang ia rencanakan.“Apa kamu lihat-lihat?” teriak Ibu, matanya kini memerah, menatapku nyalang. Ada apa dengan Ibu?“Apa yang terjadi pada Ibu?” Aku berlari menghampiri Ibu, kuteliti semua anggota tubuh Ibu, mungkin saja ada yang sakit atau apa.Namun, aku terkejut, Ibu menampik tanganku. Lalu mendorongku hingga aku terjatuh. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Mehra. Aku meringis, bokongku sakit sekali rasanya. Segera aku berdiri sambil terus mengelus bokongku yang sakit.“Gak usah pegang-pegang, najis!” hardik Ibu padaku, jangan-jangan Ibu kena pelet lagi? Ya Allah, menyusahkan sekali sih.“Bu, ini aku Mila. Menantu Ibu!” seruku berusaha mendekati Ibu lagi.“Gak usah dekat-dekat, pergi kamu. Lebih bagus kamu pergi dari rumah ini sekalian!” teriak Ibu, ya Allah, kasihan sekali Ibu, bagaikan kalau nanti fisik Ibu lemas lagi?Aku berhenti, kutatap Tiara yang terus menata
“Mas, tadi Tiara bikin rusuh,” lapor Mila pada Adnan sesaat setelah pulang kerja.“Hmm... ““Kok gitu doang sih jawabnya? Gak seru ah!” sungut Mila kesal.“Mau dijawab gimana maunya?” tanya Adnan sedikit kesal.Mila bersungut-sungut meninggalkan Adnan yang masih termangu di dalam kamar bingung. Ada-ada saja kelakuan istrinya. Ia hanya berusaha menjaga hati Mila, ia tidak ingin Mila tersakiti bila ia terlalu menanggapi obrolan tentang Tiara.“Mas, makan malam sudah siap,” teriak Mila dari dapur. Bu Rini, mertua Mila datang ke dapur dengan menggandeng Mehra.Inilah kelebihan Mila, ia mudah marah, tapi mudah pula luluh dengan sendirinya. Ia tidak bisa berlama-lama memendam sakit hati, apalagi dengan Adnan. Entah mengapa pesona Adnan sudah membutakan mata dan batin Mila.Mila teringat, saat masih kuliah dulu, Adnan bersama temannya nekat menemuinya naik kereta. Dulu kereta belumlah nyaman seperti sekarang, mereka harus rela berdiri di toilet berjam-jam karena kereta yang sangat penuh. Kar
“Ayah kenapa, Yah?” Teriak Tiara histeris, dilihatnya mulut pak Surya mengeluarkan banyak darah, dan tubuhnya terlihat sangat lemas. Tubuhnya sudah terjerembap ke belakang saat Tiara masuk.“Ayah!” Panggil Tiara, berkali-kali ia menepuk pipi Ayahnya yang mulai terpejam. Kali ini ia mengguncang tubuh pak Surya, tapi tetap saja matanya tertutup.Dengan jantung yang berdebar ia mengecek nadi ayahnya, ‘Alhamdulillah, masih hidup’ batin Tiara. Segera ia keluar mencari bantal, air dalam wadah, dan handuk. Setelah mendapatkan itu semua, Tiara menaruh bantal di kepala pak Surya, tak lupa ia menyeka darah yang keluar dari mulutnya menggunakan handuk. Setelah lumayan bersih, Tiara mengambil selimut untuk pak Surya.“Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara. Ia kembali ke kamarnya meninggalkan ayahnya yang sedang tertidur. Entah apa yang sakit dalam diri pak Surya, Tiara belum tahu, karena kejadian tadi seketika membuat ayahnya seketika pingsan.Setibanya di kamar,
“Bu Tiara, apakah benar, Ibu bikin masalah sama Rara?” tanya Bu Syida pada Tiara yang masih terdiam sejak selesai mengajar di kelas X A, ia masih terus memikirkan ucapan Rara yang akan mengadukan masalah tadi pada Papanya.Tiara mengangguk ragu, lalu berucap,” Saya lepas kontrol, Bu.”Bu Syida menghela napas kasar, pasti akan ada masalah besar terjadi setelah ini. Semua tahu, sekali Rara berucap, Papanya akan mengabulkan semua keinginannya.“Bu Tiara harus segera meminta maaf pada Rara sebelum dia mengadu Pak Raharjo,” saran Bu Syida cemas, saat ini mereka sedang berada di ruang guru. Tidak banyak guru yang berada di ruangan ini, karena waktu masih menunjukkan jam pelajaran.“Tidak, Bu! Saya tidak bersalah. Kenapa saya yang harus meminta maaf?” tanya Tiara sengit, ia tidak sudi meminta maaf pada anak bau kencur macam Rara.“Apakah Bu Tiara tidak memikirkan kelanjutan yayasan ini tanpa sumbangan dari pak Raharjo?” timpal Bu Syida tak kalah sengit, andaikan Pak Raharjo menyetop sumbanga
“Kita mau kemana sih?” Tanya Tiara penasaran. Pasalnya jalan yang Arya lewati adalah jalan menuju kota sebelah, tidak seperti biasanya. Tumben sekali Arya mengajaknya keluar kota, apa yang ingin Arya tunjukkan padanya?“Rahasia, pasti kamu akan suka,” jawaban Arya membuat Tiara semakin penasaran.“Kasih tahu kenapa sih, aku kepo,” rengek Tiara manja.“Aku kasih petunjuk, tempat ini berada di atas bukit,” ucap Arya terus menatap jalan.Tiara berpikir sejenak,” Ke taman langit kah?”Arya hanya tersenyum misterius, tanpa sadar ia mengecek k*ndom yang berada di saku celananya. Aman!Arya menyeringai, ia harap semuanya akan berjalan lancar. Mengingat desahan Tiara membuat Arya semakin tidak sabar untuk mencapai tujuan. Hasratnya ingin segera dituntaskan.Tiara tidak menyadari, bahwa ini adalah awal dari kehancuran hidupnya.Di lain tempat, Adnan nampak gelisah. Berkali-kali ia melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi Tiara belum terlihat barang hidungnya. Biasany