"J-jangan! Jangan lakukan itu!" pinta Pasha memajamkan mata. memalingkan muka untuk menghidari pisau di tangan Dina. Perempuan muda itu emosi, dia menekan wajah Pasha agar berhenti bergerak. Lalu .... Jleb. "Aaaargh!" teriaknya sekencang mungkin. Darah muncrat dari mata pemuda itu. Gadis itu hanya tersenyum tanpa merasa berdosa. Dina mencongkel mata Pasha, lalu mengeluarkan secara paksa. Bola mata pemuda itu kemudian dia letakan di telapak tangannya yang berlumur darah. Darah terus keluar dari lubang mata Pasha. Merintih, meringis kesakitan. "Mataku ... mataku!" teriaknya. "Dasar cewek sialan ... kembalikan bola mataku!" Gadis itu seakan tak peduli dengan ocehan Pasha. Dia tersenyum melihat bola mata pemuda itu yang berwarna coklat terang. "Cewek gila!" teriak Pasha sekali lagi. Dia tidak bisa berontak, sekali saja dia berontak, urat lehernya akan putus oleh kawat yang menjerat lehernya. "Kau ingin matamu kembali?" tanya Dina. Berwajah serius tanpa ekspresi saat menatap Pasha. Pem
Laporan tentang kematian Pasha sudah terdengar ke telinga Letnan Indra dan Aipda Buyung, mereka berdua benar-benar bekerja keras untuk menangani kasus dalam dua bulan terakhir ini. Apalagi bulan ini penuh dengan kasus pembunuhan yang belum bisa mereka ungkap. Banyak hal yang ingin mereka periksa sebelum menyimpulkan kasus-kasus yang datang silih berganti. Di samping itu juga, kasus-kasus yang terjadi terbilang berat dan susah untuk diungkap faktanya. "Aipda Buyung ... cepatlah, kita harus menemukan pelaku di kasus ini!" pekik Letnan Indra tak sabar untuk mendatangi tempat kejadian perkara. Pembunuh yang tidak bisa mereka temukan pelakunya di dalam setiap kasus pembunuhan yang terjadi. "Siap Pak!" Sahut Aipda Buyung tak kalah semangatnya. Namun di balik itu semua, padahal kedua polisi itu sangat kelelahan dan mengantuk. Lihat saja wajah mereka, kelelahan yang terlukis jelas di setiap raut wajah keduanya itu tak bisa dipungkiri lagi. Mata sayu, keringat yang setiap kali muncul dan mi
Dina tidak benar-benar pergi dari tempat itu. Dia bersembunyi tak jauh dari tempatnya membunuh Pasha. Mengamati apa yang terjadi di kebun dari luar untuk rencana berikutnya. Lalu Letnan Indra sudah menemukan kunci dari permasalahan ini, kasus yang cukup rumit. Walaupun begitu dia perlu bukti kuat lainnya untuk membuktikan bahwa kasus ini berkaitan dengan Dina. Menguak kasus di Bandung adalah salah satunya untuk bisa menjerat dan mengetahui penyebab Dina melakukan pembunuhan. Ya, sebenarnya kasus itu sudah terbuka. Letnan Indra bisa saja menyimpulkan dan menyeret Dina ke penjara. Sebab, semua bukti dan kesaksian tertuju padanya. Gadis itu membunuh satu persatu pemerkosanya dengan cara menyiksa terlebih dahulu. Tidak ada motif yang sama memang dalam pembunuhan oleh Dina, namun terbukti kalau kesaksian Riko juga Wanto mengarah pada Dina. "Kau sudah selesai Aipda Buyung?" tanya Letnan Indra membaca tulisannya. Keterangan dari Riko dia pelajari lagi. "Sudah Letnan." Aipda Buyung ikut men
"Riko ... bangun lu bangsat! Bantuin gue beresin cewek pembunuh ini!" teriak Wanto sudah terdesak. Tubuhnya tak bisa ke mana-mana lagi, terhalang tembok. Gadis itu hanya tersenyum senang melihat ketakutan yang tergambar di raut wajah Wanto. Deg. Deg. Deg. Jantungnya berdegup kencang. Darah berdesir kencang. Ketakutan kian menyelimuti dirinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Wanto tak bekutik sekarang, tubuhnya terhalang tembok. Taka ada jalan untuk kabut. Gadis itu sudah menutup pintu ruang UGD dan menguncinya, lalu melangkah mendekati Wanto yang sudah berkeringat dingin. Tangannya menyambar pisau operasi dari wajah suster yang sudah tak berdaya. Dina tersenyum dingin. Dia menunjukan pisau operasi itu. "Ma ... ti!" ujar Dina. Pemuda itu kemudian menarik salah satu ranjang pasien yang berada di dekatnya. Lalu, "Gue gak akan mati semudah itu, perempuan gila!" serunya mendorong ranjang itu. Duk. Ranjang itu sengaja Wanto tabrakan pada Dina. Gadis itu terpental dan menindih
Dandy gelisah di dalam penjara. Beberapa kali telinganya mendengar berita pembunuhan. Ada lima kali berita pembunuhan yang dia dengar dari teman-teman narapidananya. Berita mengejutkan baginya, sebab, nama-nama yang dia dapati adalah nama-nama temannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, bukti, jejak dan pelaku belum bisa di identifikasi sehingga kasus ini mengantung. Polisi juga belum bisa mengungkap pembunuhan itu dan menangkap pelakunya. Pemuda yang sempat menjadi saksi di persidangan Dina itu kesulitan memejamkan matanya. Pikirannya kacau, batinnya tak tenang. Begitu banyak dugaan yang dia analisa sendiri di dalam pikiran dan hatinya. "Sial! Kenapa gue gak bisa tidur sama sekali?" pikir Dandy. Dia duduk kembali dari rebahannya. "Dan pikiranku selalu ingat kejadian itu!" gumamnya pelan. Dia menarik-narik rambutnya. Rasanya sangat sakit kala ingatannya tak berhenti membuka tabir kejahatannya itu terhadap Dina. "Sebenarnya siapa pembunuh teman-temanku? Kenapa pihak kepolisian belum
Dina tak gentar diancam jurus-jurus silat Riko. Justru perempuan itu melangkah maju, seolah sedang menantang Riko berkelahi. "Gue akan membunuh elu, perempuan sinting!" teriaknya sambil berlari, kemudian dia melompat tinggi. Melakukan tendangan udara dan mengincar wajah Dina. Gadis itu tersenyum, tangannya sudah mempersiapkan diri dengan gunting. Dia menarik tangannya, kemudian menunggu saat yang tepat. Kaki Riko melesat cepat, Dina menggerakan gunting itu ke samping. Dan ... Jleb. Mata gunting di tangan Dina menembus di betis Riko. Pemuda itu terjatuh, darah berceceran di lantai bebarengan dengan tangan Dina mencabut gunting dari betis Riko. "Aaargh!" Pemuda itu mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. "Bangsat! Cewek gila!" umpat Riko tak tahan rasa sakitnya. Cewek itu cekikikan walau suaranya tak keluar. Memandang senang melihat Riko kesakitan dan menderita. Sama sepertinya memohon dengan perasaan terluka dan menderita. Dina menekan rahang Riko, tangan kanan berayun lal
Laki-laki itu tak menyerah dia bangun kembali. Lagi, gadis itu hanya tersenyum melihat kegigihan Wanto, dan Dina sudah memberi kelongaran buat Wanto lari saat di ruang UGD. "Gue belum menyerah, Iblis sialan!" teriak Wanto. Padahal, lari saja dia terpincang-pincang. Bagaimana caranya dia ingin membunuh Dina yang sudah dikuasai sosok hitam yang lahir dari sisi lain pada diri Dina. Tongkat besi itu berhasil di tangkap Dina, kemudian gadis itu menpelintirnya. Menslending kaki Wanto. Debuk. Tubuh Wanto terjatuh sangat keras. Tulang belulangnya terasa sangat sakit. "Aaarrrgh!" Luka yang baru saja di obati kembali berdarah. Rupanya gadis itu juga mengincar luka Wanto. "Sial, ini benar-benar sakit!" Keluh Wanto kesakitan. Gadis itu sudah berada di hadapan Wanto. Tersenyum, lalu mengangkat tongkat itu setinggi-tingginya. Wanto terlihat panik saat keadaannya sedang terdesak. "Tunggu dulu!" henti pemuda itu. Dian menghentikan laju gerak tangannya. Mata Dina menyipit, tetapi tatapannya teta
"Aaarhk!" Wanto berteriak histeris. Darah menyembur keluar dari leher. Pisau operasi Dina menancap di lehen Wanto. Gadis itu kemudian berdiri dengan tatapan sinis pada Wanto. Tongkat besi di tangannya sengaja Wanto lepaskan untuk menghentikan darah yang mengalir di lubang luka tusuk itu. "Perempuan gila sialan! Gue akan buat perhitungan!" ancam Wanto tetap berdiri walau tenaganya di ambang batas. Tetapi, Buk. Tongkat besi menghantam perut Wanto. Gadis itu benar-benar menggunakan kesempatannya untuk mengalahkan Wanto. Gubrak. Wanto terjatuh. Dina menghampiri Wanto, tongkat besi digenggam erat. Mata Wanto mendapati sorot di mata gadis itu kembali seperti tadi. Penuh kekejaman dan tanpa ada rasa kasihan atau iba sedikitpun. Senyum keputusasaan dari bibir Wanto mrngembang pasrah. Sepertinya, pemuda itu sudah lelah membalas perbuatan Dina yang seolah tiada akhir itu. Dan ... Buk. Buk. Buk. Gadis itu menambahkan luka di setiap tubuhnya. Memukul dan Menendang berkali-kali Wanto yan