Marisa menelan salivanya. Dahinya begitu mengernyit memperhatikan gamang wadah beras yang tinggal tersisa 1 liter di dalamnya.'Bagaimana ini, sedangkan sekarang bertambah sang bunda dan Keke yang makan,' batinnya begitu bimbang.Ya, bagaimana Marisa tidak bimbang Dio -suaminya kerja banting tulang seorang diri berjualan cendol sekeliling bersusah payah. Sedangkan yang Dio perjuangkan bukan hanya Marisa dan Tasya lagi bertambah sang mertua dan adik iparnya.Untuk makan berdua saja Dio kesusahan setengah mati, apalagi sekarang."Bu, kenapa diam. Ayo kita ke sungai untuk mencuci baju dan beras," kata Tasya. Kebetulan di rumah kami air sedang kering lantaran musim panas yang begitu terik sudah hampir seminggu ini berlalu. Jangankan untuk mencuci baju, untuk minum saja sekarang butuh perjuangan yang amat melelahkan harus menimba di sumur Emak Karsih tetangganya yang rumahnya juga jauh dari rumah Marisa. Terlebih Marisa harus mengarungi jalan kecil ke pesawahan yang begitu lumayan jauh.Ma
Pagi ini Marisa merasa bosan kalau harus berbaring di atas ranjang terus menerus, lantaran semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh suaminya. Walaupun badannya belum membaik total. Namun karena melihat kamarnya yang begitu berantakan. Ia pun berinisiatif membereskan barang yang berserakan di sembarang tempat. Baju dalam lemari pun sudah acak-acakan. Marisa memulai melipat dan menyetrika baju serapi mungkin, agar enak dipandang walaupun sudah nampak lusuh. Tatkala menata baju dengan rapi ke dalam lemari matanya tak sengaja melirik tas kecil yang sudah tidak enak dipandang lantaran sudah kumal.Ia pun meraih tas kecil itu, begitu kotor berdebu sepertinya sudah lama tersimpan disitu dan hari ini ia baru melihatnya. Ketika wanita muda itu melemparkannya ke lantai lantaran maksud hati akan dibuang. Tiba-tiba benda persegi empat, kecil, tipis, keluar dari dalamnya."Apa itu," gumamnya sambil menatap benda tersebut.Tangan Marisa segera meraih dan mencermati benda tersebut. Ternyata hanya ka
Siang ini sinar matahari begitu terik. Dengan warna langit biru muda begitu cerah menambah keindahan alam semesta serta awan putih menghiasi.Marisa berniat masak banyak karena ibu belanja beragam sayuran dan lauk pauk dari Mang Supri tukang sayur. 'Tumben sekali. Mungkin, ibu kasian melihat suamiku yang sudah kepayahan karena sudah 3 hari cendolnya tidak laku' pikir Marisa.Akhir-akhir ini Dio sering mengeluh karena dagangannya yang susah laku di sebabkan ada saingan pedagang baru. Rasanya teriris sekali hati ini."Bu, harum sekali aroma wangi dari semur jengkol yang ibu masak, membuatku lapar," puji Tasya. "Iya, sayang. Ibu hari ini masak beragam, karena nenek belanja banyak," kata sang bunda sambil senyam senyum karena mendengar pujian Tasya."Tumben Nenek belanja," kata Tasya. Tak biasanya gadis mungil itu bertanya dengan pertanyaan yang lumayan mengherankan."Kok ngomongnya tumben sih," celetuk Bu Minah yang baru saja datang menghampiri kediaman Marisa dan Tasya, "Asal kamu tau
"Bu, aku mau es cream," rengek Tasya ketika melihat penjual es cream lewat.Dio melirik ke arahku dengan sorotan mata yang begitu lara. Aku tahu mungkin suamiku belum mendapatkan uang hari ini. Betapa wajahnya sangat menyesali diri tampak merasa bersalah. Untuk 1 buah es cream saja ia belum bisa memenuhi keinginan sang buah hati."Ini sayang. Ibu ada uang," kataku sambil mengulurkan uang 5 ribu kepada sang anak.Betapa wajah gadis itu berseri-seri. Ia tampak ceria sambil menerima uang yang ku berikan.Akupun segera menghantarkan putri kecilku untuk membeli 1 buah es cream."Sebentar ya, Mas. Aku akan mengantarkan Tasya membeli es cream," pamit kepada sang suami. Namun ia hanya mengangguk sambil meneguk aqua yang ku berikan barusan. Dari lubuk hatinya yang paling dalam betapa Dio sangat frustasi sebab belum bisa memenuhi keinginan sang anak yang sangat ia sayangi. 'maafkan Papa, Nak. Maaf Papa belum bisa jadi Papa yang selalu menuruti keinginanmu, Papa belum bisa membahagiakanmu bahk
Drrrrrrt! Drrrrrt!Terdengar beberapa kali suara ponsel bergetar. Seketika membangunkan Marisa yang telah tertidur pulas. Suaminya mengambil ponsel yang masih tersimpan di atas nakas di sebelah pembaringan. Setelah tangannya berhasil meraih ponsel ia pun menggeser layar hp dengan jempolnya yang lentik. Ku pikir akan di jawab. Tapi ternyata malah dimatikan begitu saja.Jarum pendek jam pun menunjuk ke angka 2, suasana hening sepertiga malam. Siapa yang menghubunginya itu. Isi kepala Marisa kembali bertanya-tanya.'Atau jangan-jangan wanita yang tadi mengejarnya,' batin Marisa. Sebab Dio akhir-akhir ini menjadi aneh dan perilakunya sedikit berbeda. Ia menjadi tertutup dan sering mengalihkan pembicaraan setiap kali istrinya bertanya. Tidak ada cara lain lagi kini Marisa harus menyelidiki sampai ke akar-akar.Drrrr! Drrrr!Lagi-lagi getaran ponsel suaminya berulang. Marisa masih pura-pura tidak mendengar, sambil belum merubah posisi berbaringnya dengan kelopak mata tertutup.Dio bangkit
Jam 7 pagi si tukang cendol baru saja mandi lantaran bangun tidur kesiangan akibat semalam bergadang, hingga berangkat dagang cendonya pun agak telat hari ini.Tangan Marisa terulur perlahan mengambil ponsel butut suaminya yang masih tersimpan di atas nakas yang saat ini sedang di pandangnya. Dadanya berdebar seraya mencari tahu isi dalam ponsel tersebut, di barengi dengan ketakutan suaminya segera kembali.Hanya ingin tahu apa isi aplikasi warna hijau dan dengan siapa semalam Dio berbicara. Jempol tangan istri tukang cendol itu dengan cepat mencari, menggeserkan layar.Ting!Satu pesan masuk ke aplikasi warna hijaw itu. Langsung saja Marisa buka untuk segera dibaca."Marisa!" sentak Dio begitu mengejutkan.Tiba-tiba suaminya datang dan langsung membentak, seketika membuat tangan ini gemetar.Wanita muda itu terperangah bukan kepalang. Pesan itu belum sempat dibaca semua, ternyata suaminya keburu kembali."Mas, tadi ponselmu berbunyi. Makannya aku ambil," ucap Marisa mencari alasan.
"Bu, aku mau makan," rengek Tasya yang baru saja bangun tidur siang."Sebentar ya Nak. Ibu goreng nasi dulu.""Bu, aku bosen goreng nasi sama garam mulu aku mau kaya Laksmi -anak tetangga- dia makan telur setiap hari."Teriris sudah hati ini, mendengar keinginan yang sangat sederhana dari sang buah hati. Walaupun Tasya bukan darah daging Marisa sendiri tapi rasanya pilu, kecewa pada diri ini sebab belum bisa memberikan makanan yang bergizi. Ya Allah semoga saja Dio membawa rezeki yang banyak hari ini. Rasanya hati ini tak kuasa ingin melaksanakan keinginan Tasya.Wajar Tasya bicara begitu. Setiap kali sang anak ingin makan Marisa paling hanya menggoreng nasi dengan garam karena hanya itu yang bisa membuat makannya lahap.Sakit, jangan di tanya lagi, ketika seorang anak mempunyai keinginan tapi sebagai seorang belum bisa memberikannya yang terbaik. 'Maafkan Ibu, Nak. Ibu dan Papa belum bisa menjadi orang tua yang bisa membahagiakanmu seperti orang tua yang lainnya,' batin ini bergemu
Marisa hanya terdiam membisu melihat tingkah sang ibu, mengapa Bu Minah seperti senang melihat anaknya kesusahan. Bagai menari di atas penderitaan anaknya sendiri."Mar, apa kamu tidak bosan hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Ibu tahu Nak, kamu menjalani rumah tangga dengan suamimu selalu kekurangan. Apa kau tidak ingin menggugat cerai Dio. Percuma kau menikah tapi kau menderita seperti ini. Ibu sakit Nak melihat anak perempuan ibu kelaparan, kedinginan dan kekurangan," rintih Bu Minah menumpahkan isi hatinya begitu detail, sandiwaranya begitu sempurna memberi arahan yang memang salah.Bu Minah menatap anak cikalnya dengan penuh kasih sayang. Lalu Ia berbicara sambil melangkah mengelilingi kediaman Marisa yang berdiri lemah dengan kepala menunduk."Sudahlah Nak. Kau tinggalkan saja tukang cendol itu. Masih banyak lelaki diluar sana yang mau menikahimu. Memberimu makan dan baju yang layak, serta menjadikanmu perempuan berwibawa. Bukan seperti gembel begini," lirih Bu Minah mengolok-o