"Mama." Suara seruan anak kecil membuyarkan lamunan Salsa yang sedang termenung duduk di kursi halaman rumahnya.Salsa menoleh ke arah suara anak yang memanggilnya Mama barusan."Tasya," sahut Salsa. Bibir wanita itu membentuk senyuman manis di bibirnya. Tak terkira sama sekali di benaknya bahwa dia akan di panggil Mama oleh anak yang selama ini di tinggalkannya bertahun-tahun.Tasya berlari untuk memeluk sang Mama. Begitu Salsa merentangkan tangan seraya memeluk dengan erat Sanga anak."Nak Mama kangen padamu," bisiknya kala memeluk Tasya. Air matanya begitu deras mengucur membasahi pipi.Dio sungguh terharu tatkala melihat Tasya dan Salsa saling berpelukan. Ternyata tidak ada yang bisa memisahkan ibu dan anak kandung. Berdosakah Dio kerana terlalu melarang Marisa untuk mendekatkan Salsa dan Tasya."Ma, jangan tinggalin Salsa lagi ya, Mama mending tinggal bareng aja sama Papa Dio dan Tasya disana juga ada Ibu Marisa. Pasti Mama betah." Keinginan anak itu begitu polos."Mama tidak bis
Melihat tindakan Kania itu membuat Bu Sonia iba memandang air matanya yang tidak henti mengucur deras.Hampir saja Bu Sonia memaafkan Kania namun dengan tiba-tiba Salsa datang bersama pria yang saat itu bersama Kania, yaitu Hendra."Jangan biarkan Ibu memaafkan dia Bu, air mata Kania tidak tulus sama sekali. Itu hanyalah sandiwara semata," sahut Salsa."Diam kamu Salsa kamu tidak apa-apa dengan urusanku!" sentak Kania pada Salsa.Kania tercengang kala melihat Hendra sudah berada di samping Salsa. 'Mengapa Hendra ada disini? Untuk apa dia bersama Salsa?' batin Kania bertanya seraya ada rasa cemas di benaknya."Jangan kamu bilang aku tidak tau urusanmu Kania. Jelas aku sangat tahu betul siapa kamu dan anak siapa yang kamu kandung itu, dulu kamu menghancurkan hidup aku dengan memfitnah berselingkuh dengan Diki, sekarang tak akan ku biarkan kamu melakukan itu lagi pada siapapun Kania!" tunjuk Salsa pada perut Kania.Aku dan Mas Dio juga mertuaku merasa heran. Apa yang dimaksud Salsa sebe
"Pa, Ibu demam," ucap Tasya anak Dio yang berusia 5 tahun, terlihat raut wajahnya yang begitu was-was karena melihat ibu sambungnya yang masih terbaring lemah di ranjang dengan badan yang terasa panas.Dio tersentak ketika mendengar ucapan anak semata wayangnya. Dio pikir Marisa, istrinya hanya tidur kesiangan seperti biasa, makanya sampai saat ini dia belum bangun juga.Terpaksa Dio menghentikan pekerjaannya membereskan adonan cendol untuk nanti siang jualan keliling. Setelah itu ia menghampiri sang istri yang masih berada di dalam kamar.Tatkala Dio membuka daun pintu kamar, terlihat wajah Marisa yang pucat pasi, badannya menggigil kedinginan, hanya dibaluti helaian selimut yang tipis, bibirnya gemetar. Dio menyentuh dahi Marisa dengan punggung tangan, dan ternyata memang panas, suhu tubuhnya sangatlah tinggi."Sayang, kamu demam tinggi seperti ini sejak kapan? perasaan semalam kamu baik-baik saja," tanya Dio sambil membangunkan Marisa yang masih terpejam."Pa, ibu kenapa?" Tasya sa
"Cendol! Dol, dol, dol.""Bang, beli," panggil Bu Vani sambil melambaikan tangannya. Semoga saja pelanggan yang satu ini benar-benar membeli."Mau beli cendol?" tanya Dio kepada pelanggan setia yang sudah sejak tadi menunggu kedatangan Dio."Ya, iya lah. Beli cendol! masa mau beli pizza. Kan gak mungkin," ketus Bu Vani dengan mendelikkan matanya."Ah. Ibu, bisa aja," balas Dio senyum manis sambil meracik cendol dalam cup."Dio dulu kamu tampan, tapi sekarang kamu dekil. Udah dekil miskin lagi," celetuk Bu Aida yang sedang menunggu Dio meracik cendol untuknya.Entah apa maksud omongan Bu Aida, apa pantas hinaan keji seperti itu dijadikan candaan. Hujatan dan hinaan sudah terbiasa jadi lalapan untuk Dio setiap hari. Tak apalah kalau memang mereka merasa bahagia, Dio rela di jadikan bahan tertawaan. "Iya, benar! Sekarang kamu hitam dan juga dekil Dio," timpal Bu Vani mencermati wajah Dio sambil tertawa renyah."Mau gak hitam gimana bu wajah saya, toh saya tiap hari panas-panasan," Jawab
"Bangun, Nak." Bu Minah mencoba membangunkan Marisa yang masih belum siuman juga."Keke! Keke!" teriak Bu Minah sekencang mungkin. Sementara Keke tidak peduli. Ia sibuk dengan hp di tangan disertai earphone yang menutupi kedua daun telinganya."Panggil Keke! Cepat!" perintah Bu Minah kepada Tasya."Ba-baik, Bu." Gegas gadis kecil itu berjalan cepat menuju ruang tamu.Namun, Tasya terdiam di hadapan Keke yang sedang asik menikmati lantunan musik favoritnya sambil mengangguk-nganggukan kepalanya."Apaan si lo?! Jangan diam di hadapan gue! Minggir!" Keke mendorong tubuh Tasya hingga hampir saja terjengkang."Keke!" teriak Bu Minah."Apaan sih, Bu! Ganggu aja," gerutu Keke. Ia terpaksa menghampiri sang ibu."Inalillahi, Kakak!" seru Keke ketika melihat apa yang tengah terjadi."Ke, kita bawa ke rumah sakit terdekat," ujar Bu Minah panik.Bu Minah dan Keke pun memapah Marisa menuju ke rumah sakit untuk segera diberi perawatan intensif.***Sore harinya.Dio pulang sambil mendorong gerobakn
"Sudah bisa, Bu. Kebetulan pasien sudah siuman dan memangil-manggil nama Dio," tutur Dokter. "Baik, Pak. Terimakasih."Dio tergesa ingin segera melihat keadaan sang istri. Namun, Bu Minah dengan cepat menerobos masuk kedalam ruangan dan secepat mungkin menutup pintu agar Dio tidak bisa masuk. Dio pun beringsut mundur."Birkan saya dulu yang masuk! Kamu tunggu di sini!," perintahnya.Dio mengangguk lemah dengan emosi yang hampir saja akan meledak. Ia tahan sekuat tenaga, karena bagaimana pun Bu Minah adalah mertuanya sekaligus ibunya."Pa, kenapa kita gak masuk? Aku mau lihat ibu," rengek Tasya yang tak sabar ingin segera bertemu ibu sambungnya.Walaupun Tasya hanya anak sambung Marisa. Tapi Tasya begitu menyayangi ibu sambungnya itu. Bahkan sebaliknya, Marisa pun menjaga Tasya dan mengurusnya di bumbui rasa kasih sayang yang begitu dalam, sudah seperti anak kandung Marisa sendiri. Itulah yang membuat Dio kagum pada istrinya."Kita tunggu disini dulu ya, biar Nenek duluan," kata Dio m
Melihat reaksi Dio, Bu Minah paham sekali bahwa Dio sedang gelagapan membutuhkan uang, jangankan untuk membayar biaya rumah sakit, untuk makan sehari-hari pun pasti mereka berjuang setengah mati. Mumpung Dio sedang kesusahan Bu Minah pun muncul untuk menjadi pahlawan."Kamu pasti bingung kan Dio?" seru Bu Minah tiba-tiba menghampiri menantunya.Bu Minah duduk di sebelah Dio, betapa Dio terperanjat saat melihat Mertuanya yang sangat membencinya bisa duduk bersanding."Iya, Bu. Aku sedang bingung dengan biaya pengobatan Marisa.""Makannya kamu jangan miskin!" ledeknya."Bu, siapa sih yang ingin miskin, semua orang pun ingin berkecukupan," lirih Dio menumpahkan isi hatinya."Sudahlah! Kok kamu jadi curhat sih! emangnya saya mamah dedeh apa." Bu Minah mengambil amplop berwarna coklat dari dalam tasnya, amplop itu begitu tebal sepertinya memang isinya uang yang banyak, "Kamu tahu ini apa?""Uangkan bu," jawab Dio."Iya, betul sekali. Kamu bisa pake uang ini asalkan …""Beneran, Bu." "Asa
"Maksud kamu aneh gimana Ke?" tanya Bu Minah penasaran.Tapi, Keke menyudahi segera pertanyaan sang bunda, " Sudahlah, Bu. Nanti aku ceritakan di rumah saja, kalau Kak Dio dan Kak Marisa mendengar bisa bahaya."***Sampai juga dirumah Dio dan Marisa yang kumuh dan jelek serta ruangan yang sempit. Kalau di pandang dari halaman, terlihat seperti gubuk derita. Keke memperhatikan secara seksama sambil bergidik geli. Lantaran rumah yang sudah tua seperti akan ambruk, juga bilik bambu yang sudah berlubang. Membuat Keke semakin risih."Bu, yakin kita tinggal disini?" tanya Keke pada sang bunda. Dahinya mengernyit sambil membayangkan apakah ia bisa betah tinggal di rumah kecil dan sempit, sudah pasti banyak tikus dan kecoa. "Terpaksa Ke. Kalau tidak disini, mau di mana lagi," ungkap Bu Minah pasrah.Marisa tersentak ketika membuka daun pintu ruang utama, melihat tas besar yang gendut entah apa isinya. Sudah pasti itu tas yang dibawa sang bunda dan adik bungsunya."I-ibu, bawa tas sebesar ini?