"Bangun, Nak." Bu Minah mencoba membangunkan Marisa yang masih belum siuman juga.
"Keke! Keke!" teriak Bu Minah sekencang mungkin.Sementara Keke tidak peduli. Ia sibuk dengan hp di tangan disertai earphone yang menutupi kedua daun telinganya."Panggil Keke! Cepat!" perintah Bu Minah kepada Tasya."Ba-baik, Bu." Gegas gadis kecil itu berjalan cepat menuju ruang tamu.Namun, Tasya terdiam di hadapan Keke yang sedang asik menikmati lantunan musik favoritnya sambil mengangguk-nganggukan kepalanya."Apaan si lo?! Jangan diam di hadapan gue! Minggir!" Keke mendorong tubuh Tasya hingga hampir saja terjengkang."Keke!" teriak Bu Minah."Apaan sih, Bu! Ganggu aja," gerutu Keke. Ia terpaksa menghampiri sang ibu."Inalillahi, Kakak!" seru Keke ketika melihat apa yang tengah terjadi."Ke, kita bawa ke rumah sakit terdekat," ujar Bu Minah panik.Bu Minah dan Keke pun memapah Marisa menuju ke rumah sakit untuk segera diberi perawatan intensif.***Sore harinya.Dio pulang sambil mendorong gerobaknya dengan semangat. Entah apa yang di dapat, wajahnya begitu sumringah. Bahkan dia tak berhenti mengukir senyum di bibirnya.Dio membuka laci gerobaknya dan mengambil kantong plastik hitam yang berisikan beberapa kilo beras dan beberapa butir telur. Pintu rumah tampak terbuka lebar. Tak sedikit pun ada rasa curiga di benak lelaki itu. Ia pun melangkah masuk."Mungkin Tasya, yang lupa tutup pintu, atau Marisa yang sudah mendingan lalu keluar rumah, hingga ia lupa menutup pintu," gumam Dio seraya terus berjalan masuk ke dalam rumah.Rumahnya terlihat lengang."Assalamualaikum." Walaupun terlihat sepi, Dio tak lupa dengan salamnya ketika akan memasuki rumah.Namun, pandangan matanya mendarat pada tas gendong besar di meja ruang tamu."Kok ada tas? Tas siapa?" Dio memperhatikan tas tersebut dengan sorot bertanya-tanya .Dio heran, jelas di sini ada tas dan rumah tampak sedikit berantakan, tapi di mana para penghuni rumah."Tasya! Papa pulang!" seru Dio.Di pikiran Dio mungkin Tasya sedang bermain di luar dengan Marisa seperti biasanya. Pria itu pun memilih memasak untuk menyiapkan makan. Walaupun hati merasa tak begitu tenang.Dio melangkah ke dapur, betapa dia terperanjat kaget saat melihat noda berwarna merah di keramik rumahnya.Dio menghampiri dan memastikan dengan secermat mungkin noda merah itu, "Darah?" gumamnya.Deg!Jantungnya berdebar-debar tak keruan. Dio pun dengan tergesa menuju kamar yang jelas-jelas daun pintunya sudah terbuka lebar.Dilihat gadis kecil kesayangannya sedang duduk di lantai sambil memeluk lututnya yang kecil dan kurus, dengan kepala menunduk. Dio begitu heran melihat hal itu.Pria itu lalu menghampiri gadisnya yang terlihat ketakutan. Pria itu memeluk tubuh mungil itu dengan penuh kasih sayang. Air mata pun menitik karena melihat Tasya ketakutan seperti ini."Kamu kenapa, Nak? Ibu ke mana?" tanya Dio pada gadis yang membalas memeluknya dengan erat."Pa, Ibu dibawa. Ada nenek tua dan kakak cantik. Tapi mereka jahat," ujar Tasya menjelaskan.Dio terkejut. "Siapa mereka?" lirihnya bertanya."Nenek tua!" Dio yakin sekali yang di maksud nenek tua itu adalah Bu Minah mertuanya, "Apa terdapat tompel di pipi sebelah kanannya?" tanya Dio antusias pada sang putri yang masih menangis histeris di pelukannya."Iya, Pa, Tasya takut," lirihnya."Kamu tak usah takut Nak, sekarang ada Papa."Dio menatap sendu putri kecilnya. Entah mengapa Dio begitu kesal dengan kedatangan mertuanya, dia datang kesini memang baik menolong Marisa. Tapi, setidaknya mereka jangan meninggalkan anak kecil dalam rumah sendirian, bagaimana kalau terjadi apa-apa, untung saja Dio pulang masih sore, kalau saja pulang malam, entah bagaimana nasib Tasya."Apa kau sudah makan, Nak?" tanya Dio menatap sang buah hati.Tasya hanya menggelengkan kepala, itu tandanya Tasya dari pagi memang masih belum makan."Belum."Betapa hati Dio merintih sakit saat mendengar anaknya yang belum makan dari pagi. Dio benar-benar merasa bersalah."Kamu tunggu disini, Papa masak buat kamu."Entah apa yang terjadi jika Bu Minah dan Keke, adik kandung Marisa berhasil memboyong Marisa dari rumah ini. Jelas, Tasya dan Dio sangat membutuhkan Marisa, untuk 1 hari saja tidak ada Marisa di rumah. Rasanya Dio kepayahan. Tidak ada yang menjaga putri semata wayangnya.Setelah selesai menyuapi Tasya Dio pun segera pergi kerumah sakit terdekat beserta membawa rantang yang berisikan nasi dan sayur sop buatan Dio barusan, sudah yakin sekali bahwa Marisa pasti belum makan dari pagi.Setengah jam perjalanan akhirnya sampai dimana tempat ini sangat Dio benci yaitu Rumah sakit, selain untuk orang yang sakit disini banyak orang berduka cita depenuhi kesedihan, makannya Dio benci sekali."Sus, saya mau tanya, kalau untuk pasien bernama Marisa Diana Putri di ruangan mana ya, Sus," tanya Dio. Saking cemasnya dengan keadaan sang istri hingga Dio lupa mandi dan masih mengenakan baju lusuh, terkesan dekil."Mba Marisa ya, di ruang rawat sebelah sana, Bapak tinggal belok saja," tunjuk Suster."Baiklah, terimakasih." Dio segera melangkah untuk menemui sang istri betapa raut wajahnya sangat panik dan cemas.Dio menemukan ruangan Marisa. Nampak ibu mertua dan adik iparnya sedang duduk di kursi tunggu.Dio segera menghampiri sambil mengendong Tasya, "Bu, gimana kedaan Marisa," tanya Dio sambil mengulurkan tangan memberi salam pada sang Mertua.Bu Minah terperanjat ketika Dio datang, sorot matanya begitu tajam menatap Dio, "Bodoh! Dasar suami tidak berguna! Jagain istri satu saja kamu tidak becus! Ketika istrimu sakit, kamu kemana?!" cerca Bu Minah dengan emosi yang meluap-luap.Dio menarik uluran tangannya yang di tolak mentah-mentah oleh mertuanya. Sungguh, hatinya sangat sakit, karena sampai saat ini belum bisa menjadi menantu yang di inginkan. Dio hanya bergeming seraya menundukan kepala, lelaki bertubuh kekar itu hanya memasang wajah melas."Sa-saya jualan cendol, Bu," jawab Dio gugup."Makannya kamu itu cari kerja yang elit dikit dong, biar bisa bahagiakan keluarga, dan membanggakan mertua. Nah, ini. Bukannya membahagiakan, sudah pasti, bikin melarat!" hardik Keke tidak habisnya mencela Dio tanpa memikirkan perasaan suami kakaknya."Asal kamu tahu Dio! andai saja saya datang telat, entah apa dan bagaimana yang terjadi dengan kondisi Marisa anakku? Bisa saja dia sudah tidak ada," gerutu Bu Minah.Tiba-tiba pria paruh baya berbaju serba putih keluar dari ruangan Marisa.Dio terperanjat, dengan tergesa ia segera bertanya mengenai kondisi sang istri, "Dok, istri saya bagaimana?""Kondisinya sudah membaik, Bu Marisa hanya kelelahan di tambah asam lambungnya sedang naik, Pak. Kalau bisa dia jangan kebanyakan gerak dulu ya, Pak, Bu," beber Dokter.Betapa hati Dio merasa lebih lega saat mendengar pembeberan Dokter barusan, "Alhamdulillah.""Apa saya bisa melihat anak saya, Dok?" serobot Bu Minah."Sudah bisa, Bu. Kebetulan pasien sudah siuman dan memangil-manggil nama Dio," tutur Dokter. "Baik, Pak. Terimakasih."Dio tergesa ingin segera melihat keadaan sang istri. Namun, Bu Minah dengan cepat menerobos masuk kedalam ruangan dan secepat mungkin menutup pintu agar Dio tidak bisa masuk. Dio pun beringsut mundur."Birkan saya dulu yang masuk! Kamu tunggu di sini!," perintahnya.Dio mengangguk lemah dengan emosi yang hampir saja akan meledak. Ia tahan sekuat tenaga, karena bagaimana pun Bu Minah adalah mertuanya sekaligus ibunya."Pa, kenapa kita gak masuk? Aku mau lihat ibu," rengek Tasya yang tak sabar ingin segera bertemu ibu sambungnya.Walaupun Tasya hanya anak sambung Marisa. Tapi Tasya begitu menyayangi ibu sambungnya itu. Bahkan sebaliknya, Marisa pun menjaga Tasya dan mengurusnya di bumbui rasa kasih sayang yang begitu dalam, sudah seperti anak kandung Marisa sendiri. Itulah yang membuat Dio kagum pada istrinya."Kita tunggu disini dulu ya, biar Nenek duluan," kata Dio m
Melihat reaksi Dio, Bu Minah paham sekali bahwa Dio sedang gelagapan membutuhkan uang, jangankan untuk membayar biaya rumah sakit, untuk makan sehari-hari pun pasti mereka berjuang setengah mati. Mumpung Dio sedang kesusahan Bu Minah pun muncul untuk menjadi pahlawan."Kamu pasti bingung kan Dio?" seru Bu Minah tiba-tiba menghampiri menantunya.Bu Minah duduk di sebelah Dio, betapa Dio terperanjat saat melihat Mertuanya yang sangat membencinya bisa duduk bersanding."Iya, Bu. Aku sedang bingung dengan biaya pengobatan Marisa.""Makannya kamu jangan miskin!" ledeknya."Bu, siapa sih yang ingin miskin, semua orang pun ingin berkecukupan," lirih Dio menumpahkan isi hatinya."Sudahlah! Kok kamu jadi curhat sih! emangnya saya mamah dedeh apa." Bu Minah mengambil amplop berwarna coklat dari dalam tasnya, amplop itu begitu tebal sepertinya memang isinya uang yang banyak, "Kamu tahu ini apa?""Uangkan bu," jawab Dio."Iya, betul sekali. Kamu bisa pake uang ini asalkan …""Beneran, Bu." "Asa
"Maksud kamu aneh gimana Ke?" tanya Bu Minah penasaran.Tapi, Keke menyudahi segera pertanyaan sang bunda, " Sudahlah, Bu. Nanti aku ceritakan di rumah saja, kalau Kak Dio dan Kak Marisa mendengar bisa bahaya."***Sampai juga dirumah Dio dan Marisa yang kumuh dan jelek serta ruangan yang sempit. Kalau di pandang dari halaman, terlihat seperti gubuk derita. Keke memperhatikan secara seksama sambil bergidik geli. Lantaran rumah yang sudah tua seperti akan ambruk, juga bilik bambu yang sudah berlubang. Membuat Keke semakin risih."Bu, yakin kita tinggal disini?" tanya Keke pada sang bunda. Dahinya mengernyit sambil membayangkan apakah ia bisa betah tinggal di rumah kecil dan sempit, sudah pasti banyak tikus dan kecoa. "Terpaksa Ke. Kalau tidak disini, mau di mana lagi," ungkap Bu Minah pasrah.Marisa tersentak ketika membuka daun pintu ruang utama, melihat tas besar yang gendut entah apa isinya. Sudah pasti itu tas yang dibawa sang bunda dan adik bungsunya."I-ibu, bawa tas sebesar ini?
Bu Minah dan kedua anak perempuannya -Marisa dan Keke- serta cucu sambungnya sedang berbincang seru. Tawanya begitu renyah terdengar di telinga. Sesekali Bu Minah menggoda gadis kecil mungil itu dengan begitu akrab.Memang Bu Minah dan Keke kembaran dari buaya betina. Di depan Marisa mereka memperlakukan baik seolah menyayangi anak sambung Marisa. Sedangkan di belakang Marisa mereka berubah menjadi nenek lampir yang galak dan kejam."Kak, aku boleh tanya sesuatu?" tanya Keke pada Kakaknya."Boleh. Mau tanya apa?""Ibu kandung Tasya kemana?" Pertanyaan Keke membuat Kakaknya terkejut bukan kepayang.Marisa tertegun. Entah dari mana ia harus menjelaskan, " ibu Tasya sudah lama meninggal," ungkapnya."Oh, gitu ya. Kasihan sekali gadis cantik ini," ujar Bu Minah sambil mengelus kepala Tasya.Gadis kecil itu tersenyum manis betapa ia merasakan kehangatan dengan keluarga yang lengkap. Apalagi sudah lama Tasya menginginkan seorang nenek. Bahkan Tasya sering iri dengan anak-anak tetangganya yan
Marisa menelan salivanya. Dahinya begitu mengernyit memperhatikan gamang wadah beras yang tinggal tersisa 1 liter di dalamnya.'Bagaimana ini, sedangkan sekarang bertambah sang bunda dan Keke yang makan,' batinnya begitu bimbang.Ya, bagaimana Marisa tidak bimbang Dio -suaminya kerja banting tulang seorang diri berjualan cendol sekeliling bersusah payah. Sedangkan yang Dio perjuangkan bukan hanya Marisa dan Tasya lagi bertambah sang mertua dan adik iparnya.Untuk makan berdua saja Dio kesusahan setengah mati, apalagi sekarang."Bu, kenapa diam. Ayo kita ke sungai untuk mencuci baju dan beras," kata Tasya. Kebetulan di rumah kami air sedang kering lantaran musim panas yang begitu terik sudah hampir seminggu ini berlalu. Jangankan untuk mencuci baju, untuk minum saja sekarang butuh perjuangan yang amat melelahkan harus menimba di sumur Emak Karsih tetangganya yang rumahnya juga jauh dari rumah Marisa. Terlebih Marisa harus mengarungi jalan kecil ke pesawahan yang begitu lumayan jauh.Ma
Pagi ini Marisa merasa bosan kalau harus berbaring di atas ranjang terus menerus, lantaran semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh suaminya. Walaupun badannya belum membaik total. Namun karena melihat kamarnya yang begitu berantakan. Ia pun berinisiatif membereskan barang yang berserakan di sembarang tempat. Baju dalam lemari pun sudah acak-acakan. Marisa memulai melipat dan menyetrika baju serapi mungkin, agar enak dipandang walaupun sudah nampak lusuh. Tatkala menata baju dengan rapi ke dalam lemari matanya tak sengaja melirik tas kecil yang sudah tidak enak dipandang lantaran sudah kumal.Ia pun meraih tas kecil itu, begitu kotor berdebu sepertinya sudah lama tersimpan disitu dan hari ini ia baru melihatnya. Ketika wanita muda itu melemparkannya ke lantai lantaran maksud hati akan dibuang. Tiba-tiba benda persegi empat, kecil, tipis, keluar dari dalamnya."Apa itu," gumamnya sambil menatap benda tersebut.Tangan Marisa segera meraih dan mencermati benda tersebut. Ternyata hanya ka
Siang ini sinar matahari begitu terik. Dengan warna langit biru muda begitu cerah menambah keindahan alam semesta serta awan putih menghiasi.Marisa berniat masak banyak karena ibu belanja beragam sayuran dan lauk pauk dari Mang Supri tukang sayur. 'Tumben sekali. Mungkin, ibu kasian melihat suamiku yang sudah kepayahan karena sudah 3 hari cendolnya tidak laku' pikir Marisa.Akhir-akhir ini Dio sering mengeluh karena dagangannya yang susah laku di sebabkan ada saingan pedagang baru. Rasanya teriris sekali hati ini."Bu, harum sekali aroma wangi dari semur jengkol yang ibu masak, membuatku lapar," puji Tasya. "Iya, sayang. Ibu hari ini masak beragam, karena nenek belanja banyak," kata sang bunda sambil senyam senyum karena mendengar pujian Tasya."Tumben Nenek belanja," kata Tasya. Tak biasanya gadis mungil itu bertanya dengan pertanyaan yang lumayan mengherankan."Kok ngomongnya tumben sih," celetuk Bu Minah yang baru saja datang menghampiri kediaman Marisa dan Tasya, "Asal kamu tau
"Bu, aku mau es cream," rengek Tasya ketika melihat penjual es cream lewat.Dio melirik ke arahku dengan sorotan mata yang begitu lara. Aku tahu mungkin suamiku belum mendapatkan uang hari ini. Betapa wajahnya sangat menyesali diri tampak merasa bersalah. Untuk 1 buah es cream saja ia belum bisa memenuhi keinginan sang buah hati."Ini sayang. Ibu ada uang," kataku sambil mengulurkan uang 5 ribu kepada sang anak.Betapa wajah gadis itu berseri-seri. Ia tampak ceria sambil menerima uang yang ku berikan.Akupun segera menghantarkan putri kecilku untuk membeli 1 buah es cream."Sebentar ya, Mas. Aku akan mengantarkan Tasya membeli es cream," pamit kepada sang suami. Namun ia hanya mengangguk sambil meneguk aqua yang ku berikan barusan. Dari lubuk hatinya yang paling dalam betapa Dio sangat frustasi sebab belum bisa memenuhi keinginan sang anak yang sangat ia sayangi. 'maafkan Papa, Nak. Maaf Papa belum bisa jadi Papa yang selalu menuruti keinginanmu, Papa belum bisa membahagiakanmu bahk