Eko menarik napas panjang. "Baik, Bu, saya cuma akan menjawab satu pertanyaan Ibu, Pak Andri mengucapkan ijab qobul pada Bu Rini pada pertengahan bulan April lalu Bu, saya lupa tanggal persisnya. Hanya ini yang bisa saya sampaikan, Bu. Maaf, saya pamit pulang dulu. Jika Ibu perlu dijemput silahkan hubungi saya kembali, Insya Allah saya selalu siap." "Oke, terima kasih Ko. Berpamitanlah pada ibu dan hati-hati di jalan. Jika merasa capek istirahatlah dulu di rest area. Ini sedikit ucapan terima kasihku, belikanlah ole-ole buat anak dan istrimu dan sampaikan salamku pada mereka." Aku menyodorkan amplop pada Eko."Tidak usah, Bu. Pak Andri tadi pagi sudah memberi bonus padaku, sewaktu mewanti-wanti aku hati-hati mengendarai mobil karena penumpangnya adalah orang-orang yang dicintainya. Amplopnya bahkan masih utuh," sahutnya sambil merogoh kantongnya. Aku terdiam, selain menyuruh Eko memakai mobilnya agar kami merasa nyaman, rupanya Mas Andri juga tetap dengan kebiasaannya mewanti-wanti
"Kok melamun aja, Nak? Ibu panggil-panggil dari tadi enggak nyahut. Apa ada yang sedang mengganggu fikiranmu, Nak?" Ibu tiba-tiba muncul saat aku sedang duduk di teras. Aldy dan Nanda sedang berkeliling kampung bersama Om Candra, adik bungsu ibu."Astaghfirullah maaf, Bu. Nuri enggak dengar.""Lagi mikirin apa to, Nak. Sepertinya Nuri lagi ada masalah. Jika berkenan Nuri boleh cerita pada ibu, jangan dipendam sendiri tidak baik untuk jiwamu, Nak."Aku menarik napas panjang beberapa kali kemudian menoleh pada ibu. Sepertinya aku harus menceritakan semua pada ibu, aku khawatir ibu akan lebih kaget jika mendengar berita Mas Andri menikahi Rini dari orang lain. Bagaimanapun juga ibunya Rini adalah tetangga dekat ibu, aku yakin suatu saat berita ini akan menyebar di kampung ini."Nahh kan melamun lagi. Yuk ke dalam, Nak,. Tidak enak dilihat orang lalu lalang di sini." Sekali lagi ibu membuyarkan lamunanku."Bu, ada yang Nuri mau ceritakan pada Ibu. Kita bicara di kamar Nuri ya, Bu.""Ayo,
POV Nuri. "Apakah kamu sudah mendengar penjelasan dari suamimu, Nak?" "Tidak, Bu. Hati Nuri terlalu sakit dengan pengakuan Mas Andri," isakku. "Jelaskanlah padaku apa yang terjadi, Bu." "Suamimu sudah berjanji pada Ibu akan menceritakan semua detailnya padamu di waktu yang tepat, Nak. Luangkanlah waktumu dan lapangkanlah dadamu mendengarkan ceritanya. Setelah itu Nuri boleh memutuskan langkah apa yang akan Nuri ambil setelah itu. Berilah kesempatan pada suamimu untuk mejelaskannya, Nak. Apapun yang terjadi dia masih suamimu, jalanmu menuju surga-Nya." "Sekarang Mas Andri bukan cuma suamiku, Bu. Dia juga suami dari wanita lain," ucapku lirih menahan perih. Ibu menatapku penuh iba. "Nak, Ibu pernah mengalami hal seperti ini di masa lalu. Ibu harap Nuri jangan salah melangkah. Ada Aldy dan Nanda yang harus kalian prioritaskan." Aku tau arah pembicaraan ibu. "Nuri tau, Bu. Nuri bahkan sudah bertemu dengan Kakak Rizal, kakak kandung Nuri, anak-anak Ayah," ucapku pada ibu. Ibu t
“Anak-anak masih pada di kamar mas. Masuklah dulu, mas terlihat kelelahan.” Aku beranjak dari tempatku berdiri. Kulihat sekilas dia tersenyum, entah tersenyum untuk apa.“Papaaaa!!!” lengkingan suara Nanda memenuhi rumah ibu membuat Aldy, Ibu dan Lina berdatangan ke ruang tamu. Mas Andri segera menggendong dan mencium Nanda, Nanda terkekeh geli saat papanya menggelitik pinggangnya.“Loh ada Nak Andri, kapan tiba nya, Nak? Lina, tolong buatkan teh hangat, ya." Ibu bertanya sekaligus menyuruh Lina menyiapkan suguhan.“Biar aku aja, Bu," sahutku sambil berjalan menuju dapur. Memang untuk urusan membuat teh untuk Mas Andri selama ini selalu aku yang membuatnya. Hanya sesekali aku menyuruh Bi Ina jika memang terpaksa, hanya aku yang tau takaran pemanis dan kekentalan teh yang disukai Mas Andri.Mas Andri masih berbincang dengan ibu sambil sesekali menggelitik Nanda ketika aku mengantarkan minuman untuknya. Ia menatapku saat aku meletakkan gelas berisi teh di hadapannya, sekilas kulihat bin
Suasana perjalanan pulang kembali ke kota kami berjalan seperti biasa, Mas Andri menyetir sambil mengajak Nanda bernyanyi seperti yang biasa mereka lakukan di perjalanan. Aldy dan Nanda duduk di belakang sementara aku duduk di depan.Tak terhitung sudah berapa lagu yang dinyanyikan Nanda berduet dengan papanya, dari lagu “Naik Delman” ketika di jalan kami berpapasan dengan delman, lagu “Pelangi-Pelangi” ketika di jalan melihat ada pelangi hingga lagu “Kereta Api” ketika mobil kami berhenti di pintu perlintasan kereta. Aku hanya sesekali tersenyum sambil menoleh ke kursi belakang. Aldy terlihat sesekali menggoda adiknya jika lagunya salah, kemudian sesekali melepas pasang headphonenya.Di pertengahan perjalanan kulihat Aldy dan Nanda sudah terlelap di kursi belakang. Keheningan pun menyeruak di antara kami. Hanya terdengar deru mesin mobil serta suara kendaraan lain yang melaju di jalan tol ini. Mas Andri begitu tenang, kantung matanya sudah tidak nampak mencolok seperti tadi ketika di
Ingatanku melayang saat Mas Andri menjemputku di bandara bulan April lalu. Saat itu aku dan kedua rekanku keluar dari pintu kedatangan di bandara. Di luar kulihat sudah berdiri Mas Andri di balik pagar pembatas penjemput. Kedua rekanku bahkan menggodaku bahwa aku sungguh beruntung begitu tiba sudah ditunggu sang pangeran. Aku sedikit heran melihat penampilannya, tidak biasanya dia memakai kaca mata hitam. Saat kutanyakan padanya, dia berkilah matanya merah karena kelilipan dan membuatnya harus memakai kaca mata hitam. Penampilannya juga terlihat tidak fresh seperti biasanya, tapi aku hanya menduga Mas Andri mungkin lagi banyak pekerjaan. “Itu adalah hari ketiga di mana aku menikahi Rini. Aku menikahinya tanggal 13 April lalu.” Suara mas Andri membuyarkan lamunanku.Ia terisak, menangis di depanku.Heyyy ... kenapa dia menangis? Harusnya aku yang menangis lagi mendengar pengakuan yang kedua kali darinya.***Pov AndriAku gelisah mondar-mandir di ruanganku seorang diri. Sampai jam se
[KAU DATANGLAH KE ALAMAT YANG AKAN KUKIRIM SETELAH INI. INGAT JANGAN LAPOR POLISI JIKA KAU INGIN ORANG-ORANGMU INI SELAMAT!!] Suara berat dan nyaring dari seberang sana langsung terdengar saat aku mengangkat telpon. Belum sempat kujawab panggilan telpon sudah diakhiri.Tring…Tring…Tring…Beberapa pesan beruntun masuk pada aplikasi whatsapp di ponselku. Aku terkejut ketika kubuka foto-foto yang dikirim dari nomor ponsel Eko. Terlihat Eko dan Rini masing-masing diikat pada sebuah kursi. Mulut mereka dilakband. Tanpa pikir panjang aku segera keluar dan turun keparkiran. Aku memakai mobil operasional perusahaan karena mobilku dipakai Eko dan Rini tadi saat mewakiliku ke PT. AB. Aku menyetir dengan tergesa-gesa menuju alamat yang dikirimkan tadi.Aku memasuki sebuah gudang tua sambil mengikuti instruksi dari seseorang lewat ponselku. Tak butuh waktu lama aku sudah sampai di tempat di mana Eko dan Rini berada. Aku melihat pemandangan yang persis dengan foto yang dikirim padaku tadi. Eko d
“KAU GILA!!! AKU PRIA BERISTRI!!” Sahutku dengan emosi.“Berani sekali kau membentakku. Oke jika kau tidak mau menuruti perintahku maka aku akan menjual wanita sialan ini." Pria yang kurasa adalah boss besar para penjahat ini menghardikku. Rupanya rentenir yang waktu itu membuat keributan di rumah Rini masih punya pimpinan lagi, dan kurasa pria di depanku inilah orangnya.“Lakukan sesukamu, aku tidak mau ikut campur lagi."“Wah sudah kuduga nyalimu besar juga. Ikat dia dan lepaskan lelaki itu." Katanya sambil menunjuk Eko.“Kau tau, tadi anak buahku salah tangkap mengira asisten setiamu ini adalah kau karena dia memakai mobilmu. Bahkan hampir saja tadi dia yang kupaksa menikahi wanita sialan itu. Untung saja asistenmu ini segera mengaku jika dia bukan kau. Jika tidak kurasa mereka berdua sudah menjadi suami istri yang sah sekarang.” Pria itu tertawa menyeramkan.Drrrtttt …. Drrrtttt …. Ponselku berdering. Kulihat ada panggilan video masuk dari Nuri. Buru-buru kutolak panggilan videony