Dean bapak bucin sebenarnya :))
Jantung Ash terasa mengkerut saat melihat jemari Mae bergerak. Ini pertama kali—dan mungkin untuk terakhir kali—ia berharap agar Mae tidak lekas membuka mata. Ia ingin Mae tidur lebih lama, lebih tenang karena alam mimpi sepertinya akan lebih indah dari kenyataan yang menunggu.“Hai.” Ash masih bisa menyisakan senyum, dan mengecup tangan Mae saat matanya mulai fokus. Ash ingin menyajikan kehangatan terlebih dulu.“Ash…” Mae bergumam, lalu menggosok wajahnya. Rasanya gatal dan tebal.“Jangan digaruk, nanti akan membekas. Gatalnya akan hilang setelah kau minum obat. Tapi mungkin perlu makan dulu.”Ash akan membahas apapun yang jauh dari Daisy, tapi tidak akan bertahan lama. Mae sudah mengernyit, mencoba mengingat hal apa yang membuatnya alerginya kambuh.“Daisy… mana… Kenapa kau di sini? Aku baik-baik saja! Kau seharusnya bersama Daisy.” Mae menyalahkan Ash yang memilih menemaninya. Ia menyibak selimut dan duduk, tapi kemudian bingung.“Aku dimana? Daisy dimana?” Mae merasa seharusnya ad
Ash melirik saat melihat Louis dan satu orang anak buahnya mengikuti dari dekat begitu mereka turun dari mobil. Mereka tidak pernah berjarak lebih dari dua meter. Ash membenci kenyataan dimana ia pada akhirnya membutuhkan mereka.Bukan karena kedekatannya, tapi gentingnya situasi yang mengancam. Ash tadi sampai memeriksa gedung, pohon, atau titik manapun yang sekiranya akan dipakainya—atau Ian saat mengincar seseorang—sebelum turun. Ash tidak tahu seberapa besar sumber daya orang yang mengincar Mae, tapi mereka bisa ada di mana saja. Ash baru bisa lebih lega saat mereka sampai di dalam rumah sakit. Mae membisu. Ash tidak tahu apakah ini baik atau buruk, dan berharap ini langkah awal bagi Mae untuk bisa menerima kenyataan itu. Ash meragukan perkiraannya sendiri tapi, karena sepanjang perjalanan tadi, Mae terus bergumam kalau semua orang salah.Mae ingin mereka semua salah memang, tapi semakin mendekati tujuan, Mae semakin tidak bisa mengingkari kenyataan. Mae nyaris ingin marah saat
“Sir, ini barang-barang dari Ms. Gardner.”Louis menyerahkan box pada Ash. Mereka baru saja keluar dari kamar mayat dan Ash masih duduk menemani Mae di lorong rumah sakit yang sepi. Meski Mae belum sangat bisa diajak bicara, Ash sudah cukup bersyukur bisa membawanya keluar setelah membujuk sekian lama. Suhu ruangan itu sangat dingin, Mae akan semakin menggigil kalau berada di dalam terlalu lama.“Terima kasih.” Ash mengungkap terima kasihnya sepenuh hati karena sejak tadi Louis lebih punya inisiatif untuk melakukan sesuatu yang diperlukan. Termasuk menghasilkan teh hangat dan sandwich entah dari mana. Mae hanya menyentuh minumannya, belum bernafsu makan.Ash membuka kotak itu, dan lega karena hanya berisi tas Daisy dan isinya. Tidak ada pakaian berdarah atau lainnya. Mungkin sudah dibersihkan juga.“Kita akan membawanya pulang.” Ash meminta persetujuan.Mae melirik sekilas dan mengangguk. Matanya lalu kembali memandang tembok kosong kehijauan di depannya. Tidak menatap apapun, tidak a
Ash hanya menggeleng tapi. Ia tidak bisa memberi tebakan sembarangan atas hal yang amat sensitif seperti itu.“Kita lihat dulu saja lanjutannya.” Ash menekan layar lagi untuk menjalankan video.‘Aku lega kau akan punya kehidupan yang cantik dan tenang. Semua ini—’ Daisy menunjuk sekitarnya.‘... amat indah. Aku bersyukur kau bisa menemukan kehidupan ini.’Daisy diam setelah itu, karena menahan air mata. ‘Aku lanjutkan nanti.’ Daisy mencoba tersenyum, lalu mematikan kamera.Mae menekan video yang lain dengan sembarangan, bernama ‘10’. Diambil di dapur, hari yang berbeda, memperlihatkan Mae yang sedang sibuk membuat kue.‘Aku benci kau bermanis-manis pada nenek sihir itu!’ Daisy menggerutu dengan keras, sementara Mae mendongak sambil menggeleng. ‘Jangan menyebutnya itu—well, aku setuju sebenarnya. Tapi jangan sejelas itu.'Mae ingat. Ia sedang berlatih membuat kue untuk Amy. Daisy memang sering mengeluhkan kalau Mae terlalu lunak pada Rowena. Momen itu salah satunya.Daisy bergeser memba
“Berapa lama aku pingsan?” tanya Mae, sambil perlahan duduk dan bersandar di kepala ranjang. Kepalanya amat pusing, terlalu banyak menangis.“Beberapa jam. Aku tidak amat menghitung.” Ash tidak memperhatikan waktu memang. “Tapi sudah pagi.” Ash menunjuk jendela besar yang sudah tersibak tirainya. Hari sudah terang dan abu-abu.“Kau tidak tidur.” Mae mengulurkan tangan dan mengusap pipi Ash yang sedikit kasar oleh tunas rambut yang mencoba tumbuh, juga ada warna gelap di bawah matanya.“Tidak bisa. Aku berbaring tapi.” Ash berbaring di samping Mae yang pingsan, tapi tidak bisa tidur.“Dan masih tetap tampan. Aku mengerti kenapa Ian frustasi sekarang.” Mae tersenyum samar.Ash tertawa pelan dan mengecup telapak tangan Mae yang menempel di pipinya. “Terima kasih.” Ash berterima kasih karena setitik canda itu memperlihatkan sedikit kenormalan yang melegakan.Mae tentu tidak paham, ia mengerutkan kening bertanya. Ash menggeleng sambil menepuk pelan pipinya. Tidak akan menjelaskan. “Sarapan
“Sudah lebih baik?” tanya Dean saat mereka berpapasan di dapur. Ash mengembalikan nampan, Dean sedang mencari tambahan kopi.“Lumayan.” Ash tahu keceriaan yang dibawa Amy bersifat sementara, tapi masih jauh lebih baik daripada Mae yang kemarin.“Aku sudah mendengar dari Louis. That’s… really bad.” Dean sedang bersimpati untuk keadaan Daisy, tentang sakitnya.“Apa dia akan melaporkan semua yang aku lakukan padamu?” Ash malah menemukan hal tidak menyenangkan.“Ya. Sudah kebiasaan. Ia akan melapor Amy bertemu siapa saja saat di sekolah, terutama laki-laki. Louis melakukan hal yang sama untukmu.” Ash mendecak. “Aku tidak berumur sepuluh, untuk apa dia melaporkan semuanya padamu?!”“Aku tahu, kau tetap anakku tapi, dan Louis masih bekerja untukku.” “Uang kerajaan yang membayarnya!” sergah Ash. Louis tidak dibayar oleh ayahnya tentu.“Memang, tapi ada untuk membuat hidupku lebih mudah. Aku harus memanfaatkannya selagi bisa.”Ash masih ingin melawan, tapi ada pelayan yang masuk ke dapur da
Sepersekian detik sebelum jawaban itu terucap dari bibir Rowena, mama itu juga sempat terlintas dalam benak Ash, tapi kemudian dibantah oleh akal sehatnya sendiri.“Carol tidak punya sumber daya untuk membuat kecelakaan yang rapi seperti itu. ia tidak punya koneksi—juga uangnya.” Ash tidak tahu berapa dan bagaimana, tapi menyusun kematian memakai kecelakaan seperti itu, tidak mungkin harganya murah apalagi tanpa jejak.“Kau tidak tahu persis itu. Yang jelas ia mendapat keuntungan paling besar dari kejadian ini bukan?” Rowena masih mempertahankan teorinya.“Tapi Ash benar, Ro. Carol sepertinya akan sulit mengatur hal ini dari dalam penjara, apalagi aksesnya cukup dibatasi. Tidak bisa sembarang orang mengunjunginya.” Dean lebih setuju dengan Ash.“Mungkin kalian sudah merasa uangnya sampai habis, tapi bukan berarti ia tidak punya koneksi. Sudah terbukti bukan, kalau ia tidak sepolos yang kalian pikirkan—sangat licik malah. Apapun bisa terjadi selama ia masih hidup.” Rowena juga bersikuku
Mae mengelus ponsel Daisy, Sedang mengumpulkan niat untuk membuka catatan dan juga video itu. Antara ingin tapi tidak berani. Namun juga harus. Daisy sudah bersusah payah membuat rekaman dan entah catatan apa, Mae tidak mungkin tega terus mengabaikannya.“Aku menunggumu.” Mae berpaling saat mendengar langkah kaki Ash.“Ada apa?” tanya Ash, menyusul duduk di samping Mae. Mereka ada di depan jendela, menghadap taman yang kemarin juga terlihat dari kamar Amy.“Aku ingin melihatnya bersamamu.” Mae menunjukkan ponsel Daisy. “Aku ingin melihatnya, tapi aku juga tahu kalau tidak akan mampu—” Mae tahu hatinya akan semakin hancur.“Ok.” Ash paham dan mengambil alih ponsel itu. Ini juga lebih melegakan untuk Ash, setidaknya Mae jujur tentang kesedihannya. Tidak lagi diam dan menutup diri seperti dulu—diam mengerikan yang membuatnya berjalan tak tentu arah. Mae yang mengaku dan meminta tolong adalah versi positif. Perubahan yang cukup signifikan—mengindikasikan kalau kesehatan mental Mar juga t