dih :((
Mae mengelus ponsel Daisy, Sedang mengumpulkan niat untuk membuka catatan dan juga video itu. Antara ingin tapi tidak berani. Namun juga harus. Daisy sudah bersusah payah membuat rekaman dan entah catatan apa, Mae tidak mungkin tega terus mengabaikannya.“Aku menunggumu.” Mae berpaling saat mendengar langkah kaki Ash.“Ada apa?” tanya Ash, menyusul duduk di samping Mae. Mereka ada di depan jendela, menghadap taman yang kemarin juga terlihat dari kamar Amy.“Aku ingin melihatnya bersamamu.” Mae menunjukkan ponsel Daisy. “Aku ingin melihatnya, tapi aku juga tahu kalau tidak akan mampu—” Mae tahu hatinya akan semakin hancur.“Ok.” Ash paham dan mengambil alih ponsel itu. Ini juga lebih melegakan untuk Ash, setidaknya Mae jujur tentang kesedihannya. Tidak lagi diam dan menutup diri seperti dulu—diam mengerikan yang membuatnya berjalan tak tentu arah. Mae yang mengaku dan meminta tolong adalah versi positif. Perubahan yang cukup signifikan—mengindikasikan kalau kesehatan mental Mar juga t
“Tidak, maaf.” Ash menolak saat melihat Amy keluar bersama Louis memakai baju hitam berdandan rapi.“Huh? Aku mau ikut!” Amy bersikeras pastinya. Ia ingin mengikuti acara pemakaman—menebar abu Daisy ke laut.“Apa Mom sudah tahu?” Ash curiga Amy pergi tanpa izin Rowena.“Sudah.” Dean yang menyahut, tampak keluar dari ruang tengah—memakai jas hitam juga.“Kau tidak perlu ikut!” Ash melarang juga pasti. Tidak menyangka akan ada rombongan yang ikut.“Apa ini sopan? Kami hanya ingin ikut berduka cita. Dan apa salahnya? Kami mungkin tidak mengenalnya dekat, tapi dia keluarga Mary bukan? Aku rasa masih benar kalau kami ikut datang.” Dean bingung melihat penolakan itu.“Kau—juga?” Ash bahkan belum membalas, tapi sudah kembali terkejut karena berikutnya yang keluar adalah Rowena, memakai gaun berduka ala bangsawannya. Gaun hitam yang sopan dan anggun, bersama kalung mutiara yang tepat.Rowena tidak membalas tunjukan tangan Ash, hanya berdiri di samping Dean. Kurang lebih sikap yang menyatakan
“Kemarikan.” Ash mengambil alih jambangan itu dari tangan Mae, saat melihat Gina dan Poppy menghampiri Mae dengan dua tangan terulur. Mae akan membutuhkan dua tangan juga untuk membalas pelukan mereka.“Kau akan baik-baik saja. Percaya padaku.” Gina yang tentu sudah menangis menepuk pelan punggung Mae berulang kali. Poppy memeluk mereka berdua bersamaan karena memang tubuhnya yang paling jangkung, tangannya bisa merangkul dengan lebih lebar.“Aku akan membuat mantel kalian basah.” Mae tahu pelukan menenangkan, tapi saat ini sudah pasti membuatnya menangis.“Aku justru akan marah kalau tidak basah. Kau boleh menangis, kami akan mendengar.” Poppy mengusap pipi Mae bersama air matanya.“Terima kasih. Kalian memang yang terbaik.” Mae tidak merasa perlu berteman dulu, tapi kini paham kalau mereka memang berharga, terutama yang seperti Gina dan Poppy.“Yang itu bukan?” Gina bertanya pada Ash, sambil menunjuk salah satu yacht berukuran sedang yang tertambat di dok itu. Ada tiga—karena Dean d
“Apa mereka sedang melakukan pemakaman juga?” Gina bertanya dengan heran, saat melihat taburan bunga lain di sekitar yacht yang berhenti di dekat yacht mereka tumpangi.Keberadaan mereka tidak mencurigakan, tapi setelah melihat taburan bunga mengambang yang juga sama dengan apa yang dilakukannya, tentu menjadi pertanyaan.“Mungkin.” Mae melirik Ash yang sudah kembali menjadi nahkoda—dan segera menambah kecepatan agar jarak mereka semakin jauh dengan kedua kapal itu. Tidak ada orang yang terlihat memang, tapi lebih baik cepat menjauh.“Kalau tidak mereka mengunjungi anggota keluarga yang meninggal tenggelam,” kata Parker.“Tolong jangan membicarakan hal seperti itu. Nanti paling tidak.” Poppy yang masih payah berbaring, sampai memaksakan diri. Ia yang paling penakut diantara mereka semua, tentu tidak menyukai pembicaraan mengenai orang tenggelam.Mae sudah tersenyum geli, dan lega mereka tidak lagi terlalu memperhatikan kapal lain yang mengikuti.“Yacht ini milikmu.” Cale yang sejak tad
“Kalian benar-benar berpiknik.” Aroma yang menerpa hidung mereka begitu menaiki yacht adalah makanan—barbeque lebih tepatnya. Ada daging yang dipanggang, dan satu sudah ada di tangan Amy yang melambai dengan gembira menyambut mereka.“Hai! Mae, aku sudah menyiapkan untukmu.” Amy dengan lincah menarik tangan Mae, sedang memastikan kalau Ash melihat kalau ia ikut bukan hanya untuk menikmati piknik di laut, tapi juga untuk menghibur Mae yang bersedih.Mae sudah lupa dengan sedihnya tapi, karena terlalu terkejut. Ash menyebut piknik karena melihat makanan, tapi Mae akan menyebutnya perjamuan. Makanan piknik yang dikenalnya adalah sandwich atau mungkin hotdog, bukan aneka jenis hidangan yang memenuhi meja panjang. Dan tentu tidak ada chef berseragam putih pada piknik yang normal.Saat ini Mae melihat chef yang sedang memakai blow torch untuk memasak sesuatu yang menyala di atas kompor. Hidangan yang terhampar di atas meja itu adalah hasil tangannya tentu. “Ini bukan piknik, Ash.” Dean mem
“Kau apa?” Ash tentu juga amat tercengang, dan mengambil tablet itu untuk memeriksa isinya. Tapi memang hanya proposal normal. Kegiatan amal yang hampir setiap tahun dilakukan Rowena, hanya skalanya sedikit diperbesar karena kampanye.“Amy, bisakah kau turun dulu. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Mom.” Ash ingin menyingkirkan Amy agar lebih bebas. Namun, tidak mungkin mudah.“Tidak mau. Aku sudah besar! Bisa mendengar urusan—”“Aku akan membawamu ke Paris liburan nanti. Setelah aku punya waktu.” Ash mengucapkan janji yang segera membuat Amy berdiri dari kursi, dan berlari untuk turun ke lambung kapal—ada kamar dengan televisi dan aneka games disana—tanpa pertanyaan. Ash tahu benar cara menyuap Amy.“Apa ini? Kau tidak sedang menyuruh Mae untuk melakukan sesuatu lalu mengacaukannya bukan?” Kecurigaan Ash berkembang biak dengan liar, dan Mae sebenarnya juga sama. Mae bahkan dulu sempat khawatir kalau Rowena akan merusak kue yang disiapkannya untuk Amy, tapi kemudian sadar kalau Row
“Apa tidak masalah kita disini?” Mae memandang titik lampu di kejauhan. Di sisi lain sungai Thames. Salju tidak turun, jadi pemandangannya cukup cantik.“Kenapa jadi masalah. Masih ada banyak makanan yang harus kita habiskan.” Ash kembali duduk di sebelah Mae setelah menaikkan suhu penghangat. Mereka berpindah ke kabin, tidak lagi di geladak atas saat gelap turun. Sisa hidangan yang belum habis sudah dibawa turun juga oleh Ash. Setengah botol wine, dan kacang berselimut coklat, dan platter aneka keju dengan ceri segar.Yacht yang rupanya milik Dean itu memang benar cocok untuk berpiknik. Kabin itu menawarkan kenyamanan maksimal yang cocok untuk bermalas-malasan. Begitu melihat sofa bed bersama selimutnya menghadap ke pemandangan indah, Mae tidak ingin bangun lagi. Hanya duduk sambil menyelonjor dengan kaki tertutup selimut.“Aku pikir kita akan pulang bersama yang lain.” Mae memang tadi sempat bersiap, tapi Ash mengatakan tidak perlu, mereka tidak tergesa untuk apapun.‘Piknik’ yang t
PRANG!Bob menghindar pada saat yang tepat, jadi lemparan pisau pembuka kertas dari Monroe tidak menancap di wajahnya. Pisau itu tidak amat tajam, jadi mungkin tidak akan amat melukai, tapi tetap luka yang harus dihindari.“Kau sudah tahu siapa pria yang bersamanya, dan masih tidak bisa melacak keberadaannya?!” Monroe berteriak murka sampai kacamatanya miring.“Tapi memang tidak ada jejaknya. Ashton Cooper juga sedang cuti bertugas setelah acara itu. Tidak terlihat di Andover.” Bob melaporkan selengkap mungkin.“Bukankah mereka memakamkan Daisy? Apa kau mencari di pemakaman? Mungkin di Bakewell atau Reading!” Monroe memberi ide sambil berteriak, tapi ide itu basi.“Kami sudah memeriksa rumah duka di Bakewell maupun Reading, Sir. Tapi tidak ada terdaftar pemakaman untuk Daisy Gardner.” Bob tidak amat bodoh.Monroe membuka kacamata dan mengusap wajahnya. Kesal, dan frustasi. Tidak menyangka kalau menyingkirkan Mae akan menjadi sesulit ini.“Lalu kau mencari kemana?” tanya Monroe.“Toko.