Semangat Maeeee
“Strawberry jam. Kau tidak boleh melupakannya. Bukan kue, tapi aku yakin banyak orang yang akan mengincar, terutama karena kau sudah memasukkan roti tawar sebagai menu yang ada setiap hari.” Poppy menunjuk kertas, menyuruh Mae mencatatnya.Menu itu masih terus mengalami revisi beberapa kali. Mae sudah banyak mencoret jenis karena menyadari ia akan mati cepat kalau memaksakan diri membuat jenis kue sebanyak itu setiap hari. Apalagi selama ia belum punya pegawai, Mae akan membuat semuanya sendiri“Setuju, dan ini. Jangan sampai kau melupakan ini. Aku akan marah sekali kalau kau tidak membuat ini setiap hari.” Gina mengangkat potongan akhir lemon drizzle cake, terlihat agak marah karena setelah gigitan itu ia tidak bisa menambah lagi. Mae hanya membawa satu memang, karena Daisy juga menyukainya, yang lain Mae tinggalkan di Reading."Kau sudah yakin akan memilih ini?” tanya Poppy, menunjuk sekitar. Setelah memantapkan menu, Mae tentu harus memilih lokasi. Hari ini Poppy dan Gina membantun
“Ian…mana Ash?” Mae mengulang sambil perlahan berdiri, sebisa mungkin karena kakinya sudah lemas.“Ada apa? Tidak ada kabar apapun!” Gina dengan panik ikut memeriksa ponsel. Ia seharusnya mendapat kabar juga kalau terjadi sesuatu pada Ash. Parker akan tahu dan menghubunginya. Tapi tidak ada pesan atau panggilan tidak terjawab.“Ian…”“GOT YOU!” Ian berseru girang sambil tertawa tergelak. Ponsel Ash yang dipakainya sampai bergetar dan kehilangan fokus, menampakkan langit-langit tenda barak. Ian tertawa terguling di atas ranjang dan ponselnya mengikuti setiap gerakannya.“Jangan menjadi seperti anjing dan melakukan lelucon rendah seperti itu!” Mae murka. Ia tidak keberatan dengan kejahilan Ian, tapi yang ini keterlaluan. Mae sangat amat ketakutan.“Ayolah, Mae. Itu tadi lelucon yang paling bagus. Sulit sekali membuatmu panik.” Ian tidak peduli dengan amukan dan cacian Mae, dan masih membela diri. Mae mendengus. “That’s a load of bollocks!”Memang selama ini ia beberapa kali berbuat jah
“Kau sudah cantik, Mae. Berhenti menyentuh topi itu!” Daisy meraih tangan Mae yang kesekian kali terangkat ke atas untuk memperbaiki topinya yang masih rapi menempel di rambut.“Sialan memang. Jantungku tidak bisa tenang.” Mae mengumpat, berharap umpatan itu bisa melegakan dadanya yang penuh cemas. Ia sejak tadi gelisah dan otomatis merapikan penampilannya yang sudah baik-baik saja. “Keluarkan saja sekarang, jadi keinginan mengumpatmu berkurang saat bertemu dengannya.” Daisy memberi saran yang senada. Rowena akan membuat Mae ingin mengumpat kemungkinan.“Masalahnya…” Mae memakai matanya untuk melirik, penonton yang duduk di sampingnya. Anak kecil berusia kurang lebih enam, yang langsung menatap Mae saat mendengarnya mengumpat. Ibunya memberi tatapan penuh cela dan terang-terangan menariknya menjauh dari Mae—menganggapnya bar-bar.“Hhh… Mengumpat saja perlu tempat. Bergaul tidak semenyenangkan yang aku kira.” Daisy mengeluh sambil kembali menatap ke arah rink yang masih kosong, sambil
Podium khusus yang terlihat dari kursi penonton memang tampak tidak ada, tapi Mae salah lagi, karena sebenarnya ada. Malah lebih tertutup karena berada paling atas dan berupa ruangan sendiri. Gelanggang yang ini lebih mewah daripada yang kemarin.“Maaf, tapi saya harus menggeledah Anda berdua sebelum masuk.”Ada tangan yang mencegah Mae memegang handle pintu. Wanita yang tadi menunjukkan jalan, baru menjelaskan kalau ada prosedur yang rupanya harus dilakukan sebelum menemui Rowena.“You’re kidding right?” (Kau bercanda bukan?)Daisy langsung memprotes, bahkan Mae yang lebih tahu kehidupan Ash, juga memprotes.“Kalian tidak melakukan apapun padaku kemarin.” Mae tidak mengalami proses serumit ini saat bertemu Rowena kemarin.“Anda bersama Mr. Ashton Cooper saat itu. Maaf, tapi ini harus.” Wanita itu menjelaskan dengan lembut. Tidak kasar menyuruh, tapi terlihat kalau ia tidak akan mengizinkan Mae melanjutkan langkah tanpa menjalani prosedur itu.Mae mendadak menjadi ‘tidak bisa dipercay
“Sudah. Saya berterima kasih atas penawaran itu, banyak sekali. Tapi tidak. Saya tidak ingin berpisah dari Ash.” Mae menjawab tegas.Dengan aneh, segala gundah gulana yang sejak tadi melanda, justru reda setelah mengucapkan itu. Tangan Mae yang meremas rok perlahan mengendur dan bisa memandang Rowena dengan mata tenang, tidak nyalang ke segala arah. Bisa bersiborok tanpa perlu merasa menghindar.Rowena mungkin terkejut, sampai ia terus memandang Mae tanpa berkedip. Berpikir, sambil mengetuk gelasnya dengan kuku. Meski menyebalkan, Mae tetap akan mengakui kalau Rowena memang amat anggun, bernapas saja tetap akan membuatnya terlihat seperti bangsawan.“Kau bermimpi untuk mendapat uang lebih banyak lagi dengan mempertahankan Ash?” Rowena menebak.Dan Mae ingin mengumpat, karena pandangan mata Rowena sepertinya memiliki kekuatan membaca pikiran. Tebakannya masih bisa dikatakan tepat.Meski untuk saat ini Mae menolak semua uang Ash, tapi pikiran pertama yang terlintas begitu mendengar penaw
Rowena kehilangan keanggunannya pada detik yang sama Daisy menyelesaikan celaannya. Ia menyambar gelas wine yang ada di meja dan terlihat akan melempar gelas itu ke arah Dairy.Mae sudah berdiri menghalangi apapun yang akan melayang ke arah Daisy, tapi Rowena lebih cepat sadar. Gerakan tangannya berhenti setengah jalan lalu menghela napas. Berusaha menguasai diri lalu tampak menyesal karena sudah terpancing untuk menjadi emosi.“Nah, itu lebih manusiawi. Kau tampak tidak wajar saat menekan seluruh perasaanmu seperti tadi.” Daisy sama sekali tidak terintimidasi dengan kekerasan yang hampir terjadi. Ia menyeringai malah.“Tenang saja, Mae. Jangan takut padanya.” Daisy menepuk punggung Mae, dan menyuruhnya kembali duduk dengan tarikan pelan.“Lady yang anggun dan agung ini memuja reputasi bukan? Maka kau hanya tinggal merusak reputasinya kalau memang masih sangat ingin memisahkanmu dengan Ash.” Daisy melanjutkan, sementara Mae menggeleng dengan wajah horor.Kalau Poppy kemarin menyebutnya
“Ingat, aku ingin dua layer kue berwarna pink.”Amy menegaskan keinginannya yang semena-mena itu sekali lagi, tapi dengan nada yang lebih manis.“Oke.” Mae tidak punya tenaga untuk bertanya detail lain dan sejak tadi hanya mengangguk.“Minggu depan.” Amy menambah instruksi lagi.“Aku sudah mencatatnya.” Mae menunjukkan ponsel tempatnya mencatat keinginan Amy.“Yes!” Amy sekali lagi menghambur memeluk Mae.“Amy! Ayo!” Rowena berseru dengan tidak rela. Sudah ada mobil yang menunggu mereka persis di belakang rink. Mereka tidak mengantri keluar seperti penonton yang lain.“Bye, Mae!” Dengan manis Amy melambai pada Mae, dan berlari menghampiri ibunya.Mae membalas lambaian itu dengan senyum semanis mungkin, tapi begitu mobilnya berjalan senyumnya langsung berubah menjadi keluhan. Mae berjongkok sambil menutup wajahnya. Lemas pastinya. Mode konfrontasi ini tidak cocok dengan hatinya. Jauh berbeda dengan pertikaiannya dengan Evelyn. Yang ini lebih menguras tenaga, karena sekali ini Mae bena
“Eh?” Ash menunduk memandang handuknya, lalu tertawa tergelak. Tahu persis apa maksud Mae. Ia menunggu Ash telanjang sejak tadi. “Sejak kapan…” Ash tidak bisa berhenti tertawa, sampai harus berhenti dan melambai meminta waktu untuk menenangkan diri.“Mana? Bukankah kau terburu-buru dan harus segera memakai seragam?” Mae mengetuk layar ponsel dengan tidak sabar. Pertunjukan utamanya seharusnya itu.“Mary, aku tidak sendiri di sini.” Ash tampak menghela napas beberapa kali, lalu mengambil ponsel dan menunjukkan kalau bukan hanya dirinya yang ada di tenda itu. Ada lima orang yang terlihat sedang melakukan kesibukan yang sama.“Eh? Ada handuk lain.” Mae sekelebat melihat pria lain yang juga hanya memakai handuk saja.“Apa kau baru saja memintaku memperlihatkan tubuh pria lain?” Layar Mae langsung dipenuhi wajah Ash yang menyipitkan mata, jengkel.“Tidak, aku hanya menunjuk.” Mae memasang wajah sepolos mungkin, dan mengelak. “Letakkan lagi ponselnya, dan bersiaplah.”Ash tergelak lagi. “Ak