Yuni dan Sumi salah tingkah, mereka terpergok menggunjing seorang anak gadis yang hamil di luar nikah. Ya, sekilas kudengar bisik-bisik mereka membicarakan hal itu. "Maaf, Bu," ucap Sumi dengan wajah malu. "Hehe, maklum, Bu. Efek jenuh di warung, kami ngobrolnya jadi kemana-mana," timpal Yuni. Aku membiarkan mereka melanjutkan pembicaraan. Walaupun sebenarnya, aku tak suka perbuatan mereka yang menggunjingkan orang lain di warungku, karena jika pelanggan mendengarnya, akan terasa tidak sopan. Tapi biarlah, selama tidak menimbulkan keributan antar pegawaiku dan dalam keadaan warung sepi, aku akan membiarkan mereka. Toh, Yuni dan Sumi sudah sama-sama dewasa, kalau kunasihati terus-menerus, kesannya aku menggurui. Aku kembali menghitung uang di laci kasir. Alhamdulillah, pendapatan warung hari ini lumayan. Walaupun baru buka setengah hari, tapi sudah dapat untung. Kusisihkan tiga ratus ribu untuk 'uang munggahan' dan akan kubagi rata kepada ketiga pegawaiku. Masing-masing kebagian se
"Oh, itu pemberian Bu Khadijah pemilik toko sembako untuk saya, Bu. Katanya, sedekah menyambut bulan puasa. Tadi waktu saya beli bahan-bahan takjil, Bu Khadijah ngasih amplop dan sembako itu untuk saya," jelas Dewi.Aku memelototi Yuni, karena tuduhannya tidak benar. Yuni hanya tersenyum malu. "Kamu itu, mikirnya negatif terus," bisikku padanya."Kenapa memangnya, Bu?" Dewi bertanya dengan polos, ia tak mengetahui apa yang dibicarakan Yuni tentangnya."Gak apa-apa. Saya cuma heran aja ada barang yang bukan pesanan saya, takutnya kamu salah beli," jawabku, tak memberitahu Dewi kejadian yang sebenarnya karena khawatir dia akan menangis lagi. "Sudah, Wi. Kamu lanjutkan bekerja, ya!" titahku.Kulihat Yuni membisikkan sesuatu selagi aku bicara pada Dewi. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Dewi pun kembali ke dalam warung, disusul Sumi. Semua kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing, dan aku bersiap untuk pulang. Sumi kembali ke dapur untuk bebersih, dan Yuni melanjutkan cuci pir
"Adikku? Sejak kapan Nia jadi adikku, Bu?" Aku menatap Bu Onah dengan sedikit sinis. "Tentu saja Nia adalah adikmu," katanya dengan nada meyakinkan, membuatku sebal. Perangainya sebelas-duabelas dengan Rosi, yang sering disebut-sebutnya sebagai menantu idaman.Aku mendengkus lalu membuang muka dari tatapannya yang memelas."Mari kita ingat, ketika kita masih tinggal bersama dan aku masih jadi menantumu. Waktu itu, keluarga besar mengadakan hajatan dan aku tidak punya baju bagus untuk dipakai. Kang Agung meminta Nia meminjamkan bajunya untukku dan Nia menolak. Kemudian Ibu bilang, 'Nia tak akan meminjamkan bajunya pada orang asing, apalagi pada Asih, dia bukan kakaknya!'" kataku menirukan kata-katanya pada waktu itu.Bu Onah hanya diam, sepertinya ia tak punya kata-kata untuk menjawab. Hening beberapa saat. Ibu yang dari tadi hanya berdiri, akhirnya menyuruh mantan besannya itu pulang, karena malam hampir larut dan kami ingin istirahat."Lebih baik kita tak usah punya urusan lagi. Se
'Astaghfirulloh.' Aku hanya bisa mengucap istighfar mendengar cerita itu."Yang bener kamu, Yun? Dapat dari mana kabar itu, jangan-jangan itu fitnah, ah!" kataku.Yuni menyimpan lap bekas membersihkan etalase dan mengajakku duduk untuk membisikkan sesuatu, "istrinya Pak Yudi yang cerita sama saya. Dia mergokin suaminya di TKP sama Nia! Pas ditanya, suaminya ngaku udah bayar tiga juta. Tiga bulan setelah itu, baru deh ketahuan Nia hamil karena perutnya udah membesar. Dari situ warga jadi rame, Bu," jelas Yuni."Astaghfirulloh. Udah, Yun. Gak usah diterusin ceritanya!" pintaku."Lho, kenapa, Bu? Tadi katanya ingin tahu cerita sebenarnya, saya siap beberin serinci-rincinya," kata Yuni. Semangat ghibah 45-nya menjadi ciut saat aku menyuruhnya berhenti."Iya. Semalam Bu Onah mengancam akan mengganggu warung saya dengan ilmu hitam. Jadi, saya merasa perlu tahu ceritanya, karena ini menyangkut Nia, Yun," jelasku. "Tapi setelah dengar ceritanya, saya gak kuat dengernya. Sekarang ayo ke dapur
"Ayo ikut aku!" bentak Rosi sambil melotot. Tampang judesnya itu selalu membuatku ingin mencabik-cabiknya."Mau apa!" kataku. "Pergi dari warungku, jangan cari masalah di sini!" "Kamu mau aku ribut di depan pelangganmu?" ancam Rosi.Gerak-gerik kami mengundang perhatian pembeli. Daripada mereka tak nyaman, lebih baik aku mengikuti ke mana Rosi mengajakku. Kuserahkan urusan warung pada Sumi, dan memintanya untuk mencariku seandainya aku lama tak kembali. Perkara dengan Rosi bukan hal main-main. Terminal ini sepi kalau sore hari, apalagi di bulan puasa seperti sekarang. Dan Rosi membawaku ke belakang sebuah bengkel yang sudah tak terpakai. Tak ada seorang pun lewat ke sini, karena keadaannya kotor dan bau menjijikan. Aku sampai harus menahan napas berkali-kali."Gara-gara kamu gak ngasih pinjam uang, Bu Onah jadi maksa minta semua gaji Kang Agung!" hardik Rosi, membuat rahangku gemeretak menahan geram. Kalau mertuanya minta uang sama anaknya, kenapa aku yang disalahkan?"Kok kamu mala
"Innalillahi wa innaillaih roji'un," ucapku ketika mendengar kabar meninggalnya Bu Ida.Bu Ida adalah istri Pak Yudi, yang—menurut cerita Yuni—memergoki permainan selingkuh suaminya dengan Nia. Tiba-tiba, aku jadi teringat cerita Dewi yang melihat Bu Onah keluar dari rumah Mbah Kyoto."Memangnya sebelum meninggal, Bu Ida muntah apa, Bu?" tanyaku."Belatung," jawab ibu sambil berbisik, membuatku mual membayangkannya.Jika benar Bu Ida meninggal karena ada sangkut pautnya dengan ilmu hitam, berarti ada seseorang yang 'menjahilinya'. Aku menduga Bu Onah lah pelakunya, dan jika benar dia berani pakai ilmu hitam, maka ancamannya terhadap warungku malam itu bukan main-main. "Sih ...." Ibu berbisik memanggilku, kedua alisnya bertautan dengan ekspresi wajah yang terlihat khawatir. Aku tahu yang ditakutkannya sama denganku.Aku membawa ibu ke ambang pintu warung, untuk menjaga jarak dari Dewi. Sepertinya, sedari tadi Dewi menyimak percakapanku dengan Ibu."Sudah, Bu. Jangan terlalu dipikirka
Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku di hadapan Bu RT dan Pak RT, saat mendengar kabar itu."Siapa sekarang yang jadi korban, Bu?" tanyaku."Cahyani," jawab Bu RT pelan. "Teman sekantor Pak Agung, mantan suamimu itu lho.""Astaghfirulloh, saya ikut prihatin mendengarnya," responku sambil mengusap dada. "Oh, iya, saya permisi dulu ya Bu, Pak ... takut kesiangan." Aku menghela napas, dan segera pamit setelah mendengar nama Kang Agung disebut, takut kalau-kalau Bu RT malah membahas mantan suamiku.Matahari sudah terbit lumayan tinggi. Aku meneruskan perjalanan. Namun, jalan yang biasa aku lalui untuk pergi ke pasar sedang dalam perbaikan dan ditutup, sehingga terpaksa aku harus berputar arah melewati ruko Pak Asep.Sebenarnya malas, karena aku pernah dilarang melewati jalan ini lagi oleh Pak Asep. Tapi bagaimana nasib warungku kalau hari ini tak belanja ke pasar? Akhirnya aku cuek saja lewat di depan tokonya, lagipula ini kan jalan umum."Masya Alloh, Neng Asih ... makin cantik s
Dewi seakan terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin ia merasa tersinggung juga. "Saya bisa 'melihat' sesuatu yang tak kasat mata, tapi tak bisa menjahili orang dengan kelebihan saya ini," jawab Dewi. "Hanya saja saya memang pernah berdoa kepada Alloh untuk membisukan Kak Yuni, tapi malah anaknya yang kena. Itu semua kehendak Alloh, Bu. Saya kan sudah pernah cerita," lanjutnya.Aku menganggukkan kepala, namun dalam hati masih meragukan pengakuannya. Memang, kuasa Alloh itu sangat nyata adanya, tapi baru kali ini aku menyaksikan sendiri suatu hal yang rasanya sangat mustahil dan di luar logika, anak Yuni yang tadinya cerewet mendadak jadi gagu."Begitu, ya. Maaf ya, Wi. Saya gak maksud nuduh macem-macem. Hanya saja, tadinya saya mau minta tolong, kalau kamu memang bisa melakukan sesuatu dengan kelebihanmu itu," kataku."Minta tolong apa, Bu? Insyaalloh saya siap, asal bukan menjahili orang.""Bukan lah, Wi ... niat saya bukan untuk jahil, tapi supaya jadi pelajaran saja," kataku, lalu