Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung.
"Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.
Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri.
"Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku.
"Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.
Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditolak karena pekerjaan Kang Agung hanya seorang guru honorer yang gajinya tiga ratus ribu per bulan.
Setelah itu, barulah Kang Agung melamarku dan kuterima karena aku mencintainya dengan tulus. Tak kuhiraukan masalah pekerjaannya. Kupikir, masalah uang ... aku bisa membantu mencarinya.
"Aku tak pernah merebut apapun darimu, Rosi! Kamu telah menolak Kang Agung mentah-mentah, kemudian dia datang padaku dan aku menerimanya. Justru sekarang kamu lah yang berniat merebutnya dariku, iya kan? Kamu memang serakah, sudah merebut posisiku di toko kelontong Pak Asep, sekarang mau merebut suamiku juga!"
"Jangan bawa-bawa toko Pak Asep deh, Sih! Kamu kan dipecat karena ulahmu sendiri yang mencuri uangnya!" hardiknya dengan nada sinis dan mata mendelik tajam. Kedua tangannya dilipat di dada seakan menantangku berduel. Sementara Kang Agung hanya diam saja menyaksikan kami.
"Demi Alloh aku tidak mencuri!" balasku dengan berteriak sekencangnya, karena rasa jengkel. Biarlah, agar semua orang mendengar sumpahku. "Kamu lah yang meminjam uang itu dariku dan tak pernah mengembalikannya hingga saat ini, dan kamu malah menuduhku mencurinya! Kamu orang jahat, Rosi! Semoga Alloh membalas perbuatanmu!" Aku berteriak, mengeluarkan volume tinggi ketika menyumpahi Rosi.
Pertengakaran itu disaksikan banyak orang yang sedang jajan di warung bakso, dan orang-orang yang kebetulan lewat di sana sengaja berhenti untuk menyaksikan.
*
"Semua orang ngomongin kamu, Sih," kata Ibu ketika aku memasak air, tengah malam itu. Sesekali, ibu ikut bangun dan membantuku. "Ibu sudah tahu ceritanya, tadi rame di pengajian."
"Biar saja, mudah-mudahan kejadian tadi bisa menjawab prasangka warga terhadapku, bahwa sebenarnya aku ini bukan pencuri! Mereka juga lihat sendiri siapa yang main serong, harusnya bisa menebak siapa yang berkelakuan busuk," responku dengan suara lemah, karena masih merasa sakit hati dengan Kang Agung dan Rosi.
"Sekarang, apa keputusanmu setelah tahu kelakuan suamimu?" Sambil menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam termos, Ibu meminta ketegasanku.
"Gak tahu, Bu. Mau cerai tapi kasihan Zulfa ...."
"Kamu harus ngambil keputusan! Ibu gak ridho kamu diperlakukan seperti itu sama Agung, seolah gak ada harganya kamu itu!"
Tak mau berlarut membahas Kang Agung, aku segera mematikan kayu bakar bekas memasak air. "Bu, titip Zulfa ya ... Ini sudah jam tiga subuh, Asih mau belanja ke pasar. Nanti mau langsung ke warung untuk masak," kataku.
"Iya, hati-hati. Ibu doakan semoga warungmu laris."
Dan sejak saat itu, berkat doa ibu aku masih bisa bertahan dan berjuang sendiri menafkahi Zulfa. Warungku yang tadinya sepi perlahan mulai ada pembeli, pendapatanku baru tiga puluh ribu sehari, lumayan buat jajan Zulfa. Walau daganganku selalu tak habis, tapi lumayan sisanya bisa dimakan di rumah.
Kang Agung tak pernah datang lagi, jangankan untuk melihat Zulfa atau memberi Zulfa uang jajan, telepon darinya pun tak pernah ada. Entah mengapa. Padahal sebelummnya ia sangat bertanggungjawab terhadap anak istri. Mungkinkah Rosi menghasud Kang Agung agar menjauhiku?
Malam itu setelah menidurkan Zulfa, Ibu menghampiriku ke kamar untuk memberitahu kedatangan Kang Agung. Aku pun menemuinya di ruang tamu.
"Kenapa baru datang sekarang, Kang?" tanyaku setelah duduk berhadapan dengannya.
"Karena aku malu kamu jadi bahan gunjingan warga. Mereka mengatakan istriku pencuri! Aku malu datang ke sini, mereka bakal ngomongin aku juga nantinya," jawab Kang Agung dengan nada jengkel.
Sejak insiden penendangan dan pemecatanku, tuduhan keji itu selalu diarahkan padaku. Warga mengecapku sebagai 'pencuri'. Betapa menyesakkan dada. Fitnah memang kejam.
"Astaghfirulloh, Kang. Aku sama sekali tidak mencuri. Kamu tahu karakterku seperti apa, tak mungkin aku melakukannya!" balasku, membela diri.
"Awalnya aku pikir begitu, tapi Rosi sudah memperlihatkan bukti-buktinya. Kamu membuang nota belanja berjumlah sebelas juta rupiah, dan uangnya kamu ambil. Rosi menunjukkannya padaku, dan setelah kuperiksa, memang benar banyak sekali nota yang hilang. Pantas saja Pak Asep menendangmu," katanya penuh emosi. "Aku tak menyangka istriku berani mencuri!" Kang Agung begitu marahnya padaku waktu itu.
"Sudah berapa kali kujelaskan, kalau uang itu dipinjam Rosi untuk biaya rumah sakit bapaknya. Dia tidak bisa membayar, dan malah menuduhku yang mencurinya, Kang! Nota-nota itu direbut dariku dengan cara kasar, kemudian disobek dan dibakar oleh Rosi. Aku menyaksikan sendiri, Kang ... dia melakukannya di jalan sepi ketika pulang kerja waktu itu," jelasku dengan tersedu, berharap Kang Agung mau percaya.
"Sudahlah, Asih. Aku tak mau punya istri seorang pencuri!" umpatnya dengan begitu murka. Rupanya benar dugaanku, ia termakan hasutan Rosi. "Sebentar lagi aku diangkat jadi guru PNS, malu aku punya istri suka mencuri sepertimu ... kamu bisa mengotori nama baikku!"
"Astaghfirulloh, Kang—" ucapanku terpotong.
"Asih, aku mau to the point saja. Aku menceraikanmu."
Innillahi, rasanya mau copot jantungku!
Aku diam terpaku, hilang akal beberapa saat, kosong. Beruntung ibu yang mendengar percakapan kami langsung menghampiri."Ya sudah kalau kamu memang tak mau lagi dengan Asih. Saya ridho menerima Asih kembali. Silakan kamu pergi, segeralah urus perceraianmu. Tapi ingat ... anakku bukan pencuri!" Ibu berkata dengan penekanan yang begitu kuat. Rasa sakit hati, tersinggung dan kesal seolah menjadi satu dalam benaknya. "Kamu hanya menjadikan gunjingan warga sebagai alasan. Mentang-mentang mau jadi PNS, lupa sama Asih. Waktu kamu melarat anakku setia menemanimu bahkan ikut membantu cari nafkah, sekarang saat kamu sukses malah membuangnya!" Kang Agung tertunduk seperti biasa, ia tak pernah berani melawan orangtua. Sementara aku memandanginya dengan tatapan kosong. Masih tak percaya dengan apa yang menimpaku. Mimpikah aku, menjadi janda di usia dua puluh tujuh tahun? Belum reda gunjingan warga tentang tuduhan mencuri, mereka pasti akan menggunjingku lagi karena diceraikan."Besok akan saya u
*Rumah Mbah dukun jauh dari pemukiman warga. Di seberang rumahku, ada hamparan sawah berpetak-petak yang sangat luas, yang dibatasi pagar bambu. Di antara sawah-sawah itu, ada sebuah jalan setapak yang jika dilewati hingga ke ujung, akan sampai di sebuah jalan kereta (rel) yang sudah tidak dipakai. Untuk sampai di rumah Mbah Dukun, harus melangkahi rel itu kemudian berjalan lagi beberapa ratus meter, menelusuri semak belukar."Mbah!" Aku menyeru sambil mengetuk pintu. Bau dupa semerbak hingga ke tempat di mana aku berdiri malam itu. Rumah yang menyerupai gubuk itu tampak sepi, karena hanya diterangi cahaya damar. Samar kudengar suara orang batuk dari dalam. Lama-kelamaan, suara itu semakin mendekat ke arah pintu, yang kemudian terbuka."Siapa?" tanyanya di depanku."Saya Asih, Mbah," jawabku.Mbah mempersilakanku masuk. Tidak ada sesajen dan peralatan yang biasa dimiliki dukun-dukun. Hanya bau dupa yang tercium di sana. "Ada perlu apa?" Mbah bertanya setelah mempersilakanku duduk d
"Salah dukun?" Aku bertanya tak mengerti.Ibu menghembuskan napas lagi, layaknya seorang yang baru selamat dari musibah."Ibu kira tadi kamu ke rumah dukun yang di Bojongsoang. Syukurlah kalau kamu tidak ke sana. Sudah, cepat tidur. Ini sudah jam setengah satu malam!"*Pagi itu, ibu menyuruhku mandi dan mengucap istighfar untuk membersihkan tubuh sekaligus dosa-dosaku, karena telah berbuat musyrik dengan mendatangi dukun."Percuma, Bu. Rosi dan Asep pasti sedang merasa kesakitan sekarang. Aku terlanjur melakukannya," kataku."Apa kamu menyesal?" tanya ibu."Di satu sisi tidak, di sisi lain iya!" jawabku."Rosi dan Asep tidak apa-apa, mereka baik-baik saja. Pagi tadi Rosi sudah resmi jadi istri Agung, mereka menikah di KUA. Dan Asep ... tadi Ibu melihatnya sedang memarahi karyawannya. Puas kamu, Asih?" Dadaku bergejolak lagi. Bukankah semalam aku sudah menyantet mereka?"Kenapa bisa begitu, Bu? Aku tak terima! Mereka harusnya kesakitan dan menderita," teriakku histeris. Aku menangis
"Kalau menuruti hawa nafsu, pasti saya berontak. Tapi saya sudah sadar bahwa hawa nafsu dapat mencelakai diri sendiri, jadi lebih baik saya fokus memperbaiki hidup saya," jelasku.Dewi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, Sumi yang sudah selesai menggoreng, menghampiri kami dan ikut menanggapi, "saya juga sangat ingin bisa seperti Ibu. Baik hati dan tidak sombong," katanya."Kalau saya jadi Ibu, saya tidak akan bisa melupakan kejahatan orang-orang itu, Bu," ujar Dewi.Bahkan, anak sekecil Dewi pun bisa berkata begitu, saking kesalnya mendengar cerita masa laluku yang ditindas."Memelihara dendam itu tidak baik, saya sudah mengalaminya sendiri. Percayalah. Kalau kamu punya rasa sakit hati dengan seseorang, lebih baik sembuhkan saja hatimu. Tak usah berpikiran untuk membalas, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Toh, semua perbuatan manusia pasti akan mendapatkan balasannya," kataku menasihati Dewi. Kulihat, ia masih punya 'uneg-uneg' terhadap Yuni."Kalau kamu, Wi?" tanya Sumi sambil m
Yuni dan Sumi salah tingkah, mereka terpergok menggunjing seorang anak gadis yang hamil di luar nikah. Ya, sekilas kudengar bisik-bisik mereka membicarakan hal itu. "Maaf, Bu," ucap Sumi dengan wajah malu. "Hehe, maklum, Bu. Efek jenuh di warung, kami ngobrolnya jadi kemana-mana," timpal Yuni. Aku membiarkan mereka melanjutkan pembicaraan. Walaupun sebenarnya, aku tak suka perbuatan mereka yang menggunjingkan orang lain di warungku, karena jika pelanggan mendengarnya, akan terasa tidak sopan. Tapi biarlah, selama tidak menimbulkan keributan antar pegawaiku dan dalam keadaan warung sepi, aku akan membiarkan mereka. Toh, Yuni dan Sumi sudah sama-sama dewasa, kalau kunasihati terus-menerus, kesannya aku menggurui. Aku kembali menghitung uang di laci kasir. Alhamdulillah, pendapatan warung hari ini lumayan. Walaupun baru buka setengah hari, tapi sudah dapat untung. Kusisihkan tiga ratus ribu untuk 'uang munggahan' dan akan kubagi rata kepada ketiga pegawaiku. Masing-masing kebagian se
"Oh, itu pemberian Bu Khadijah pemilik toko sembako untuk saya, Bu. Katanya, sedekah menyambut bulan puasa. Tadi waktu saya beli bahan-bahan takjil, Bu Khadijah ngasih amplop dan sembako itu untuk saya," jelas Dewi.Aku memelototi Yuni, karena tuduhannya tidak benar. Yuni hanya tersenyum malu. "Kamu itu, mikirnya negatif terus," bisikku padanya."Kenapa memangnya, Bu?" Dewi bertanya dengan polos, ia tak mengetahui apa yang dibicarakan Yuni tentangnya."Gak apa-apa. Saya cuma heran aja ada barang yang bukan pesanan saya, takutnya kamu salah beli," jawabku, tak memberitahu Dewi kejadian yang sebenarnya karena khawatir dia akan menangis lagi. "Sudah, Wi. Kamu lanjutkan bekerja, ya!" titahku.Kulihat Yuni membisikkan sesuatu selagi aku bicara pada Dewi. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Dewi pun kembali ke dalam warung, disusul Sumi. Semua kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing, dan aku bersiap untuk pulang. Sumi kembali ke dapur untuk bebersih, dan Yuni melanjutkan cuci pir
"Adikku? Sejak kapan Nia jadi adikku, Bu?" Aku menatap Bu Onah dengan sedikit sinis. "Tentu saja Nia adalah adikmu," katanya dengan nada meyakinkan, membuatku sebal. Perangainya sebelas-duabelas dengan Rosi, yang sering disebut-sebutnya sebagai menantu idaman.Aku mendengkus lalu membuang muka dari tatapannya yang memelas."Mari kita ingat, ketika kita masih tinggal bersama dan aku masih jadi menantumu. Waktu itu, keluarga besar mengadakan hajatan dan aku tidak punya baju bagus untuk dipakai. Kang Agung meminta Nia meminjamkan bajunya untukku dan Nia menolak. Kemudian Ibu bilang, 'Nia tak akan meminjamkan bajunya pada orang asing, apalagi pada Asih, dia bukan kakaknya!'" kataku menirukan kata-katanya pada waktu itu.Bu Onah hanya diam, sepertinya ia tak punya kata-kata untuk menjawab. Hening beberapa saat. Ibu yang dari tadi hanya berdiri, akhirnya menyuruh mantan besannya itu pulang, karena malam hampir larut dan kami ingin istirahat."Lebih baik kita tak usah punya urusan lagi. Se
'Astaghfirulloh.' Aku hanya bisa mengucap istighfar mendengar cerita itu."Yang bener kamu, Yun? Dapat dari mana kabar itu, jangan-jangan itu fitnah, ah!" kataku.Yuni menyimpan lap bekas membersihkan etalase dan mengajakku duduk untuk membisikkan sesuatu, "istrinya Pak Yudi yang cerita sama saya. Dia mergokin suaminya di TKP sama Nia! Pas ditanya, suaminya ngaku udah bayar tiga juta. Tiga bulan setelah itu, baru deh ketahuan Nia hamil karena perutnya udah membesar. Dari situ warga jadi rame, Bu," jelas Yuni."Astaghfirulloh. Udah, Yun. Gak usah diterusin ceritanya!" pintaku."Lho, kenapa, Bu? Tadi katanya ingin tahu cerita sebenarnya, saya siap beberin serinci-rincinya," kata Yuni. Semangat ghibah 45-nya menjadi ciut saat aku menyuruhnya berhenti."Iya. Semalam Bu Onah mengancam akan mengganggu warung saya dengan ilmu hitam. Jadi, saya merasa perlu tahu ceritanya, karena ini menyangkut Nia, Yun," jelasku. "Tapi setelah dengar ceritanya, saya gak kuat dengernya. Sekarang ayo ke dapur