SURVIVAL LOVE 3
Langit mulai gelap sepertinya akan kembali turun hujan, Tiva masih berdiri di trotoar menunggu Rio yang mengambil motor di parkiran. Rencananya mereka akan pergi dulu ke acara ulang tahun salah seorang teman Rio di kafe tak jauh dari kampus mereka, tapi tiba-tiba ponsel Tiva berbunyi dan muncul nama abangnya.
"Ya, Bang."
"Buruan pulang, Abang mau pergi."
"Aku mau ke rumah teman dulu, Bang."
"Sudah cepat pulang, anak perempuan jangan keluyuran!"
Tiva mulai cemas karena sejak berangkat kemarin abangnya belum juga memberinya kabar. Padahal tidak biasanya bang Alif seperti itu, paling tidak dia akan menelepon malam memastikan jika adiknya sedang berada di rumah. Karena gelisah sendiri rasanya juga sangat tidak nyaman, duduk tidak enak, berbaring pun juga tidak bisa memejamkan mata, akhirnya Tiva memutuskan untuk menelpon Rio. "Bang Alif belum pulang, padahal tidak biasanya dia pergi sampai lewat dua hari." Tiva mulai bercerita pada Rio mengenai kecemasannya. "Jadi kau di rumah sendirian dari kemarin? " "Aku tidak takut di rumah sendirian, tapi aku takut terjadi apa-apa sama bang Alif. Karena perasaanku sangat tidak tenang." "Apa aku harus ke situ?" Tanya Rio dari seberang te
Saat ini Natha hanya tahu satu hal 'dirinya dalam bahaya!'Hujan belum juga berhenti sampai larut malam. Karena Nathan sudah biasa bepergian berhari-hari tanpa pamit jadi keluarganya juga tidak ada yang mengkhawatirkanya sama sekali meskipun sudah lewat dua hari tidak pulang. Ayah Nathan masih berada di ruang kerjanya mencermati halaman dari buku tebal yang sedang dibacanya sambil sesekali membenahi kacamata bacanya yang miring. Walau sudah letih dengan tanggung jawab pekerjaan tapi tetap saja dirinya tidak akan bisa pergi tidur sebelum lewat tengah malam. Sejak anak-anak beranjak dewasa rumah mereka jadi semakin sepi. Sudah dua tahu putri terkecilnya yang biasa membuat keributan pergi ke New York untuk bersikeras melanjutkan kuliah fashionnya di sana, sementara putra tertuanya Nathan dan adiknya Erica tinggal bersama di Cambridge. Jadwal kuliah Erica lebih padat jadi dia juga jara
Rio melihat Tiva sedang menangis dalam pelukan salah seorang ibu-ibu tetangganya. Rio permisi menyela kerumunan untuk mendekati gadis itu dan malah membuat Tiva semakin menangis."Bang Alif sudah tidak ada dan aku tidak punya siapa-siapa...."__________ "Aku tidak punya siapa-siapa...." tangis Tiva begitu Rio mendekatinya.Pastinya Rio juga ikut kehilangan bang Alif dan tahu seperti apa kesedihan Tiva sekarang. Tiva masih menangis meski semua orang sudah coba ikut menenangkannya.Ibu Rio yang ikut datang bergantian mendekati Tiva dan memeluk gadis baik yang juga sudah seperti putrinya sendiri itu agar lebih tenang."Abangmu anak yang baik pasti Tuhan akan melapangkan jalannya."Bang Alif memang dikenal sebagai anak laki-laki yang baik di mata para tetangganya. Anak laki-laki yang selama ini mengurus ibunya yang sakit-sakitan dan menjaga seorang adik perempuan. Tak heran jika kali ini banyak sekali tetangga yang berdatangan untuk berbela sungkawa mes
Ayah Nathan mulai bercerita pelan-pelan agar mudah untuk diterima, karena dirinya sendiri sebenarnya juga masih sulit untuk percaya tapi kenyataannya anak-anak seperti itu memang ada."Saat ibumu baru mengandung dia pernah dirawat di sebuah rumah sakit militer. Kemarin ketika menyelidiki kasus ini aku juga baru diberitahu jika ada salah satu dokter di rumah sakit tersebut yang ikut terlibat dalam kejahatan dua puluh lima tahun lalu."Sekitar dua puluh lima tahun yang lalau ada laboratorium biologi yang melakukan praktik percobaan ilegal mengenai genetika manusia. Mereka coba melakukan rekayasa genetika manusia untuk menciptakan individu yang lebih tangguh. Uji coba tersebut sebenarnya dilakukan pada bayi tabung, tapi ternyata mereka juga diam-diam melakukan praktik ilegal tersebut pada pasien di beberapa rumah sakit yang telah disusupi
Sepertinya bukan Nathan sendiri yang harus berjuang keras. Karena setelah kepergian abangnya Tiva juga harus berjuang seorang diri, mencukupi hidupnya sendiri, membayar tagihan air sendiri, menbayar tagihan listrik sendiri, semuanya sendiri karena dia memang sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang bakal menanggung biaya hidupnya. Yang dia punya hanya tinggal rumah peninggalan orang tuanya itu yang juga akan dia tinggali seorang diri. Tabunganpun Tiva juga tidak punya, karena selama ini yang dia tahu hanyalah belajar dan bang Alif yang mengurus semua keperluanya.Nampaknya Tiva juga tidak akan bisa melanjutkan kuliahnya lagi karena setelah bang Alif tidak ada otomatis tidak ada juga yang akan membayar biaya kuliahnya lagi. Sekarang Tiva harus mencari pekerjaan untuk membiayai hidupnya karena sisa uang tabungan bang Alif juga akan segera habis jika Tiva tidak bekerja. Dengan bekal ij
Tiva baru bangun ketika mendengar suara meteran listrik yang berteriak-teriak ikut memberitahu tetangganya jika dirinya sedang menderita di akhir bulan. "Astaga, apa kau tidak tahu ini baru tanggal berapa? tunggu empat hari lagi aku baru gajian!" Tiva langsung memencet tombol merah sambil bilang, "Husttt... jangan berisik, kau membuatku malu!" Belakangan ini Tiva memang semakin sering bicara dengan kulkas, meteran listrik, bahkan 'rice cooker' yang lupa dia pencet tombol merahnya. Kemarin sore Tiva sudah sangat lapar ketika pulang dari bekerja, biasanya dia memang hanya akan membeli sayur dan lauk. Tapi kenapa pas mau makan dan membuka tempat penanak nasi, ternyata nasinya masih tetap berwujud beras. Tinggal di rumah seorang
Tante Ria tetangga depan rumah Tiva pagi-pagi sudah datang untuk mengantarkanmakanan."Wah, terimakasih, Tante. Kebetulan Tiva belum masak." Padahal biasanya Tiva memang tidak pernah masak dia lebih sering membeli makanan karena ia cuma tinggal sendiri dan tidak banyak makan sampai harus masak sendiri."Bang Dion ulang tahun, jadi hari ini Tante banyak masak, nanti siang teman-temannya mau pada datang Tiva juga boleh ikut datang.""Tiva masuk kerja siang, Tante. Sampaikan saja salam Tiva sama bang Dion.""Tentu, Sayang. Tante pulang dulu, ya, hati-hati di rumah sendirian jangan lupa mengunci pintu.""Ya, Tante, terimakasih." Tiva tersenyum dan mengantar tante Ria sampai ke pint
Malam sudah larut tapi Tiva masih bersila di atas ranjang belum bisa berbaring karena memikirkan satu kotak penuh berisi uang yang baru dia masukkan ke bawah kolong tempat tidurnya. Tidak ada pesan atau nama apapun dalam kotak tersebut. Jika itu hanya paket yang salah dikirim oleh kurir harusnya ada alamatnya. Yang ada sekarang Tiva malah semakin takut. Takut jika itu uang hasil kejahatan yang nyasar di teras rumahnya.Tiva sempat berpikir untuk melaporkanya ke kantor polisi, tapi kotak itu bukan benda yang tidak sengaja dia temukan di jalanan. Yang jelas ada yang meletakkan di teras rumahnya. Tiva takut jika nanti pemiliknya kembali dan hendak mengambilnya lagi, mungkin sebaiknya dia menyimpannya dulu siapa tahu nanti ada yang mencari. Tapi tetap saja jumlahnya itu yang membuat Tiva takut. Tiva sendiri tidak menghitung berapa pastinya. Besar kotak tersebut sekitar empat puluh cm persegi