Ayah Nathan mulai bercerita pelan-pelan agar mudah untuk diterima, karena dirinya sendiri sebenarnya juga masih sulit untuk percaya tapi kenyataannya anak-anak seperti itu memang ada.
"Saat ibumu baru mengandung dia pernah dirawat di sebuah rumah sakit militer. Kemarin ketika menyelidiki kasus ini aku juga baru diberitahu jika ada salah satu dokter di rumah sakit tersebut yang ikut terlibat dalam kejahatan dua puluh lima tahun lalu."
Sekitar dua puluh lima tahun yang lalau ada laboratorium biologi yang melakukan praktik percobaan ilegal mengenai genetika manusia. Mereka coba melakukan rekayasa genetika manusia untuk menciptakan individu yang lebih tangguh. Uji coba tersebut sebenarnya dilakukan pada bayi tabung, tapi ternyata mereka juga diam-diam melakukan praktik ilegal tersebut pada pasien di beberapa rumah sakit yang telah disusupi
Sepertinya bukan Nathan sendiri yang harus berjuang keras. Karena setelah kepergian abangnya Tiva juga harus berjuang seorang diri, mencukupi hidupnya sendiri, membayar tagihan air sendiri, menbayar tagihan listrik sendiri, semuanya sendiri karena dia memang sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang bakal menanggung biaya hidupnya. Yang dia punya hanya tinggal rumah peninggalan orang tuanya itu yang juga akan dia tinggali seorang diri. Tabunganpun Tiva juga tidak punya, karena selama ini yang dia tahu hanyalah belajar dan bang Alif yang mengurus semua keperluanya.Nampaknya Tiva juga tidak akan bisa melanjutkan kuliahnya lagi karena setelah bang Alif tidak ada otomatis tidak ada juga yang akan membayar biaya kuliahnya lagi. Sekarang Tiva harus mencari pekerjaan untuk membiayai hidupnya karena sisa uang tabungan bang Alif juga akan segera habis jika Tiva tidak bekerja. Dengan bekal ij
Tiva baru bangun ketika mendengar suara meteran listrik yang berteriak-teriak ikut memberitahu tetangganya jika dirinya sedang menderita di akhir bulan. "Astaga, apa kau tidak tahu ini baru tanggal berapa? tunggu empat hari lagi aku baru gajian!" Tiva langsung memencet tombol merah sambil bilang, "Husttt... jangan berisik, kau membuatku malu!" Belakangan ini Tiva memang semakin sering bicara dengan kulkas, meteran listrik, bahkan 'rice cooker' yang lupa dia pencet tombol merahnya. Kemarin sore Tiva sudah sangat lapar ketika pulang dari bekerja, biasanya dia memang hanya akan membeli sayur dan lauk. Tapi kenapa pas mau makan dan membuka tempat penanak nasi, ternyata nasinya masih tetap berwujud beras. Tinggal di rumah seorang
Tante Ria tetangga depan rumah Tiva pagi-pagi sudah datang untuk mengantarkanmakanan."Wah, terimakasih, Tante. Kebetulan Tiva belum masak." Padahal biasanya Tiva memang tidak pernah masak dia lebih sering membeli makanan karena ia cuma tinggal sendiri dan tidak banyak makan sampai harus masak sendiri."Bang Dion ulang tahun, jadi hari ini Tante banyak masak, nanti siang teman-temannya mau pada datang Tiva juga boleh ikut datang.""Tiva masuk kerja siang, Tante. Sampaikan saja salam Tiva sama bang Dion.""Tentu, Sayang. Tante pulang dulu, ya, hati-hati di rumah sendirian jangan lupa mengunci pintu.""Ya, Tante, terimakasih." Tiva tersenyum dan mengantar tante Ria sampai ke pint
Malam sudah larut tapi Tiva masih bersila di atas ranjang belum bisa berbaring karena memikirkan satu kotak penuh berisi uang yang baru dia masukkan ke bawah kolong tempat tidurnya. Tidak ada pesan atau nama apapun dalam kotak tersebut. Jika itu hanya paket yang salah dikirim oleh kurir harusnya ada alamatnya. Yang ada sekarang Tiva malah semakin takut. Takut jika itu uang hasil kejahatan yang nyasar di teras rumahnya.Tiva sempat berpikir untuk melaporkanya ke kantor polisi, tapi kotak itu bukan benda yang tidak sengaja dia temukan di jalanan. Yang jelas ada yang meletakkan di teras rumahnya. Tiva takut jika nanti pemiliknya kembali dan hendak mengambilnya lagi, mungkin sebaiknya dia menyimpannya dulu siapa tahu nanti ada yang mencari. Tapi tetap saja jumlahnya itu yang membuat Tiva takut. Tiva sendiri tidak menghitung berapa pastinya. Besar kotak tersebut sekitar empat puluh cm persegi
Tidak tahu kenapa Tiva jadi penasaran dan mendekati tempat sampah tersebut karena plastik yang biasanya dia gunakan untuk menampung sampah juga tidak ada padahal kemarin Tiva yakin sudah memasangnya. Dia putar lagi penutup tempat sampahnya untuk ia balik dan ..."Oh, sial!" Tiva sampai kembali menjatuhkan tutup tepat sampahnya dengan berisik dan berjingkat sendiri seolah sedang melihat satu kantong belatung di tempat sampahnya. Padahal jelas sekali itu uang, uang yang sepertinya lebih banyak dari yang kemarin.Siapapun yang meletakkan uang tersebut dia sengaja membalik tutup tempat sampahnya agar Tiva memeriksanya. Karena saat terbalik tempat sampahnya tidak bisa di buka dari atas.Tiva terduduk kembali di meja makan masih sambil memandangi tempat sampah di depannya. Tiva tidak h
"Kemarilah, Sayang," panggil tante Marini begitu melihat Tiva yang baru turun dari boncengan motor putranya."Rio sudah bercerita mengenai rencana kalian dan kami semua ikut senang sekali mendengarnya.""Sebenarnya aku dan Rio juga baru membahasnya beberapa minggu ini, Tante.""Kau tidak perlu khawatir, nanti kami yang akan mengurus semua keperluannya."Tiva memang sudah tidak memiliki siapa-siapa, otomatis tidak ada keluarga untuk melamar gadis itu atau mengurus pernikahannya."Rencananya juga masih tahun depan, Ma. Tiva tidak mau buru-buru." Rio yang baru kembali dari memasukkan motornya ke dalam garasi langsung menyusul dan ikut menyela.
"Kau yang membawanya, kau yang mengajaknya di mana dia sekarang?" Tiva masih menatap pria tinggi besar di depannya yang tidak bergeming. "Apa dia juga masih hidup dan akan pulang?""Tiva, maafkan aku."Sepertinya Nathan juga tidak sanggup jika terus mendapatkan pertanyaan seperti itu. Dia berjalan mendekati Tiva kemudian ikut duduk di sebelahnya untuk bicara pelan-pelan."Kami tidak mengalami kecelakaan seperti yang diberitakan. Tapi kami dihadang di tengah jalan dan ditembaki seperti binatang. Alif sudah tidak ada demikian juga dengan yang lainya."Nathan berhenti sebentar untuk menunggu reaksi Tiva, karena gadis itu memang harus mendengarkannya dan tahu kebenarannya."Tapi ka
Sekitar jam sebelas Tiva mendengar motor Rio berhenti di halaman. Tiva bergegas turun dari kamarnya. Padahal tidak biasanya Rio datang di jam-jam seperti ini. Tiva juga segera membuka pintu sebelum Rio mengetuk."Tiva!" Rio agak terkejut melihat Tiva yang sehat dan segar bugar."Tadi aku ke tempat kerjamu dan mereka bilang kau sakit."Selain masih berpakaian lengkap dari kantor, Rio juga membawa makanan tapi sepertinya bukan nasi uduk lagi. Belakangan ini Rio sudah jarang membelikannya nasi uduk, karena uangnya sudah lebih banyak.Tiva mengajak Rio masuk. "Kau bolos?""Kau juga!" balas Rio."Tadi pagi aku agak kurang enak badan kare