Untuk makan malam Serena hanya menggoreng nugget untuk dirinya dan Zena saja, ia sama sekali tidak berniat untuk mengajak Dirga makan malam bersama. Dirga keluar dari kamar lalu ikut bergabung di meja makan. Serena hanya melirik sebentar namun tak berniat berbicara. "Tunggulah sebentar aku sudah memesan ayam goreng, kasihan Zena hanya makan pakai nagget saja," tutur Dirga ketika melihat Serena menyuapi Zena makan hanya dengan lauk kotak di lapisi tepung panir itu Serena bergeming, ia sama sekali tidak menyahut dan melanjutkan kegiatannya menyuapi Zena dan sesekali menyuapi dirinya sendiri. Saat ayam goreng pesanan Dirga datang Serena dan Zena sudah menyelesaikan makan malamnya. Tanpa menghiraukan Dirga, Serena membereskan bekas makannya dan Zena. Dirga sempat menawari Zena untuk memakan ayam goreng yang di pesannya tapi gadis kecil itu menolak dengan alasan kenyang. Zena hanya duduk diam diatas kursi meja makan seperti biasanya menunggu Serena selesai mencuci piring bekas makan mere
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya seperti sebuah silet yang menggores hatiku berkali-kali. Dia selalu mengatakan aku lebay jika aku mengeluh padanya. "Ya aku lebay. Untuk orang yang hidupnya sempurna seperti kamu. Ya aku memang lebay bagi orang yang tidak pernah merasa di bully dan di ejek sejak kecil," kataku pelan dengan rasa kecewa yang menyesak di dada membuat mataku tak lagi bisa menahan laju air mata yang sudah mulai membasahi kedua pipiku. "Aku memutuskan kembali bekerja juga karena Ibumu yang terus-menerus MEMBERI NASEHAT supaya aku bekerja untuk membantu keuangan keluarga," Aku sengaja menekankan pada dua kata 'Memberi nasehat' karena dia selalu membela ibunya dengan mengatakan, 'Ibu hanya memberi nasehat bukan menyuruhmu' ketika aku mengeluh ibunya terus menerus menyuruhku untuk kembali bekerja setelah Zena lahir. "Kamu selalu seperti itu, menyalahkan orang lain," cibir Mas Dirga lalu berjalan ke taman belakang rumah.Hatiku sakit, sakit sekali. Mengapa Mas D
Pov Serena. Setibanya di rumah, nampak Bunda sudah menunggu di teras. Beliau bergegas menyambut kedatangan kami dengan wajah sedih dan mata yang sudah berkaca-kaca. Tanpa berkata apapun wanita paruh baya itu langsung mengambil Zena dari gendonganku dan membawanya masuk. Selama dua tahun pernikahan, aku sama sekali tidak pernah mengeluh sedikitpun soal Mas Dirga kepada Bunda. Mungkin karena itulah Bunda terlihat sangat sedih karena beliau mengira rumah tanggaku dan Mas Dirga sangat harmonis seperti yang terlihat selama ini.Hanya kepada Mas Gibran saja aku mau bercerita itu pun ketika sudah tidak bisa menahan rasa kesalku lagi. Bagi Ibu, Mas Dirga itu sosok suaminya yang baik dan tidak banyak menuntut. Bunda selalu berpesan agar aku selalu menjadi istri yang baik dan penurut agar rumah tanggaku tidak berakhir seperti rumah tangga Mbak Indira yang pertama. Ya. Rumah tangga pertama kakak keduaku itu memang berakhir dengan perceraian. Karena itu Bunda mewanti-wanti agar aku menjadi istr
"Kamu itu dulu kok bisa nikah sama orang kayak Dirga? Apa tidak ada lelaki lain yang menyukaimu?" Kembali Bunda mengomel, "Jefri yang yang urakan begitu saja masih mengerti salah dan minta maaf. Tapi suamimu yang terlihat berpendidikan malah sifatnya seperti itu," lanjutnya terlihat sangat kesal. Mendengar kata, 'Lelaki lain' membuat aku teringat pada seseorang di masa lalu. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang, tidak seharusnya aku mengingat seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Ya Alloh, rasanya kepalaku seperti mau pecah. Omelan Bunda semakin membuatku pusing dan tertekan. Ingin sekali membantah tapi itubmemang benar, Jefri mantan suami Mbak Indira lebih bisa menghargai perasaan istrinya di banding Mas Dirga yang terkesan tak peduli denganku. Dari dalam rumah Mas Gibran memanggil, "Serena," panggilnya memberi isyarat agar aku mengikutinya untuk masuk ke dalam rumah. Ah... ada sedikit rasa lega. Setidaknya aku bisa bebas dari omelan dari bunda meski sebentar. "Bunda tu
Flasback off. Seperti janji Serena pada Aira, hari ini ia akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk mantan kekasihnya Kaisar Danu Atmajda. Sebelum menjembut Zena Serena meminta izin pada Gibran untuk kembali ke kafe sedikit terlambat karena dia ada perlu dengan Dewa. Serena tidak berani jujur jika akan menemui Kaisar karena kakaknya itu sangat membenci mantan kekasihnya. Sekitar pukul sebelas siang Dewa menjemputnya di rumah Nurida. "Sudah siap?" tanya Dewa saat Serena sudah duduk di kursi penumpang disampingnya. "Hemm," jawab Serena mengangguk yakin. Dewa segera menjalankan mobilnya menuju rumah sakit dimana Kaisar di rawat. Serena sengaja meminta Dewa menemaninya karena ia membutuhkan Dewa untuk mengingatkannya jika tiba-tiba ia berubah pikiran dan membatalkan niatnya untuk menjenguk Kaisar. Jika ia boleh jujur, hatinya belum bisa ikhlas memaafkan Kaisar.Sekitar 45 menit mereka sampai di rumah sakit. Dengan lankah ragu-ragu Serena mengikuti langkah Dewa yang berjalan di depanny
Serena sedang memasak untuk makan malam ketika ponsel di saku celananya bergetar, sebuah pesan masuk ke ponsenya. Terlihat nampak notifikasi pesan atas nama Aira. Aira Rahmania🌺[Assalamuu'alaikum Serena. Terima kasih atas kedatanganmu tadi,] [Aku harap besok kamu juga akan datang lagi. Aku menunggumu] Serena menghela Nafas panjang setelah membaca isi pesan dari Aira. "Terbuat dari apa hatimu Aira? Kenapa kamu begitu baik dan tegar?" gumamnya sembari menatap layar ponsel di tangannya. Dia mengingat kembali bagaimana tegarnya seorang Aira yang sanggup tersenyum di depanku. Bahkan dia sempat memeluk dan memohon kesediaan Serena untuk datang kembali. Serena memejamkan mata. 'Dia Masih sangat mencintaimu, Serena.' Suara Aira masih terngiang di telinganya, juga dengan ekspresi wanita cantik itu masih jelas terlukis di ingatan Serena. Tiba-tiba terbayang wajah Kaisar ketika terakhir kalinya mereka bertemu. 'Aku hanya akan mencintaimu sampai akhir hidupku' "Astagfirulloh." pekik Serena
"Sebaiknya kamu antar Raka pulang!" perintah Sekar pada Aira. Tanpa menunggu lama Aira segera menarik tangan putranya lalu berjalan menuju pintu. "Sebentar," ucap Serena menghentikan langkah Aira. "Apakah ini putramu dan Kak Kaisar?" tanyanya lalu tersenyum pada pria kecil yang di gandeng Aira. Saat Serena hendak mengulurkan tangan untuk menyalami Raka, dengan cepat Sekar menarik tangan Serena lalu memberi isyarat pada Aira agar segera membawa pergi Raka. Serena mengerutkan dahinya keheranan melihat sikap Sekar. Sama halnya dengan Dewa yang juga merasakan hal aneh setelah melihat sikap wanita paruh baya itu. Dari sikap Sekar, sepertinya tidak ingin Serena mengenal Raka. "Raka ada les matematika karena itu Aira harus segera mengantarnya pulang." Sekar menjelaskan setelah menyadari kebingungan di wajah Serena dan Dewa. "Oh, begitu ya tante," kata Serena mengangguk paham. "Kalau boleh tahu, berapa umur Raka tante?" tanyanya. "Tujuh tahun." Sekar menjawab singkat lalu menarik Serena
Serena sedang menjemur pakaian di belakang rumah ketika terdengar suara tangisan dari dalam. Dengan cepat Serena berlari ke dalam rumah menuju arah suara tangisan Zena. Serena melebarkan matanya saat melihat Zena terjatuh di depan almari di ruang tengah dengan kursi meja makan menimpanya. "Arzena,," pekik Serena langsung mengambil Kursi yang menindih tubuh Zena. " Ya Alloh,,, Apanya yang sakit sayang?" Serena mengangkat Zena. "Ada apa?" Dirga berjalan dari ruang tamu dengan ponsel menempel di telinganya. Serena segera menggendong Zena yang masih menangis, membawanya ke sofa ruang tengah dan memangku putrinya itu. "Nanti aku hubungi lagi." Dirga berbicara pada orang yang melakukan panggilan telfon dengannya. "Mana yang sakit sayang? Coba Mama lihat." Serena memeriksa dahi, tangan dan kaki Zena. "Ini sakit ya?" tanyanya sambil memegang tangan Zena yang tergores sandaran kursi. "Kenapa bisa jatuh?" tanya Dirga memegang tangan Zena, memeriksa luka pada lengan anaknya. Zena tidak men