Rongga dada Arum kembali terbakar. Dengan kesedihan, ia menghabiskan satu porsi bakso hangat, bahkan saat ini ia tak pernah bisa menyingkirkan bara di dalam dadanya dengan apa yang terjadi saat ini. Arum tak percaya ini, saat senyumnya lagi-lagi berputar di kepala. Tak pernah terbayang bahwa kenangan indah itu, kini menjadi hal paling menyakitkan."Kita lihat dulu, Rum. Bagaimana sikap Levin.""Arum takut, apa sehina ini Arum. Hingga beberapa kali harus tersakiti lagi.""Hus ga boleh ngomong begitu, sayang! lagian kalian belom menikah ini.""Mama yang akan turun tangan, Rum. Maaf jika Mama dan Papa memaksamu untuk menikahi, Levin. Nak. Mama pastikan akan membongkar semuanya."Arum mengangguk. Di luar hujan turun, mereka mengambil payung lalu melangkah hingga tiba di dekat mobil. Mereka masuk dan memberitahukan sopir untuk pulang ke rumah. Dari balik kaca yang ditimpa rintik hujan, Arum masih berpikir tak mengerti. Sementara Bu Fatma mengambil ponsel dari tas kecil. Dan menghububgi
"Kami pulang dulu ya Naura, kapan-kapan jika kangen mainlah ke rumah, Tante ya.""Emangnya boleh, Tante?""Ya boleh dong, rumah Tante terbuka untukmu sayang.""Terima kasih, Tante.""Iya sama-sama."Elang tersenyum menatap wajah ayu Arum, entah saat ini hatinya penuh dengan kebahagiaan. Setidaknya ia bersyukur bisa melihat senyum Arum lagi. Mencintai tak harus memiliki, bukan. Terkadang, Elang menertawakan dirinya sendiri atas segala kenaifannya. Kenapa ia tidak memperjuangkan cintanya pada Arum dan hanya pasrah pada keadaan yang membuatnya terjerumus dalam pernikahan yang konyol dengan Zhia. Sering kali cinta yang ia punya membuat logikanya tak dapat mencerna, saat ini hanya ada sesal yang menggumpal di dalam dadanya. Hanya bisa melihat tanpa bisa memiliki. Lelaki tampan itu menghela napas, sesekali jemarinya mengelus rambut putrinya dan menatap wajah cantik itu. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengurai sesak yang menyiksa dadanya."Mas," panggil Arum pelan."Eh, iya."
Bu Fatma mengangguk dan memberi tahu Elang. Sementara Arum mengambil jaket dan jilbab instannya memakai flatshoes dan tas kecil. Ia tahu jika sang Papa, mengetahui sesuatu. Mobil keluar dari rumah mewah milik pak Dibyo. Semua tegang dan di dalam mobil begitu hening. Seperti mimpi buruk bagi Arum. Ya semoga saja ini mimpi buruk, seberapa hinakah Arum disakiti seperti ini. Pantaskah dan adilkah ini bagi Arum. Entahlah ... sepertinya Levin menghilang tanpa jejak. Bu Fatma menengakan Arum, wanita paruh baya itu mengusap wajah putrinya yang keluar keringat dingin. Dalam hati Bu Fatma menjerit, tak sanggup melihat putrinya tersiksa seperti ini. Hanya penyesalan yang dirasakan sang mama. Mobil melaju cepat hingga sampai ke lokasi rumah mewah bercat abu-abu dan sekilas terlihat indah. Mereka turun dan Elang sudah di depan dengan mobilnya bersama temannya. Mereka masuk, pelan-pelan mereka berjalan, terlihat begitu sepi. Namun orang yang di sewa pak Dibyo mengirimkan sebuah vidio mereka sedan
"Anakku.... ""Iya, ma. Ini Angga," jawab pemuda itu mendekat. "Astaga ... ini Mas Angga, yang menolong Arum waktu itu. Pemuda itu mengangguk. " Iya, Rum. Akulah kakak kandungmu.""Maksud Papa, jadi papa yang atur semuanya?" Lelaki paruh baya itu mengangguk. "iya Papa tidak benar-benar meninggalkanmu Rum, demi keselamatanmu, Papa selalu menjagamu juga Elang dari jauh. Namun entah Levin sama Zhia. Papa kecolongan." Jelasnya pasa Arum dan istrinya. Arum hanya bisa menangis, karena Angga pernah menolongnya beberapa kali. Arum memeluk kakaknya dengan erat, tak tahu harus bersedih atau apa yang jelas ia sangat bahagia. Begitu pula sang mama menangis dan memeluk tubuh pemuda itu. "Elang, bawalah Naura ke sini untuk sementara waktu. Percayalah Naura aman disini."Sejenak Elang berpikir dan mengangguk. "Baiklah, Pak.""Lebih cepat lebih baik. Jangan sampai kau menyesal kehilangan putrimu," jelas pak Dibyo. "Baik, Pak."Elang menelepon rekan kerjanya secepat mungkin ia menyuruh Bibi juga
Elang menikmati sebatang rokok yang menyala. Langit terlihat mendung, udara masih terasa dingin dan lembab karena hujan dan gerimis yang baru saja mereda. Di taman rumah Arum ia ditemani secangkir kopi hangat juga sebatang rokok ditangan. Namun rasa sesak merelungi jiwanya. Elang menghembuskan asap rokoknya ke udara. Membuat sosok yang baru saja mendekat ke arahnya terbatuk."Elang...." Elang menoleh dan mematikan rokok dan menarunya di dalam asbak. Rengga berjalan menghampiri Elang. "Eh, mas Angga," sapa Elang, buru buru bangkit dari senderan di kursi. Angga yang melihat Elang sedih, lalu ia ikut duduk di sampingnya. "Kenapa, sedih begitu?" celetuk Angga. "Iya, aku lagi tidak baik-baik saja," sahut Elang menatap Angga sekilas lalu kembali lagi menunduk. "Kuatlah demi, Naura." "Iya, kau benar, Mas."Hening, mereka terbungkam dan terdiam sejenak menikmati embusan angin selepas hujan. Menikmati dengan perasaannya juga pikiran mereka masing masing. Elang tak tahu harus berkata apa
Arum memijit pelipis merasakan kepalanya begitu berat saat membuka mata. Mungkin, karena ia kurang tidur. Besarnya kecewa yang kian menumpuk di hatinya, membuat Arum tak sanggup lagi bertahan dari rasa sakit yang menderanya. Jika waktu bisa diulang kembali, tentu tak ada yang perlu Arum sesali.Ingin rasanya dia menjelajah waktu dan berhenti di saat masa kecilnya bersama Elang kakaknya. Telah banyak cobaan yang Arum terima, saat ini Arum sendiri, bahkan Elang telah menghilang beberapa purnama bersama kakaknya Rengga. Mereka bekerja ke luar negeri. Wanita itu ingin menghapus kenangan buruk tentang perjalanan kisah pernikahannya. Ketika semua kisah tentang hal yang begitu menyakitkan Harusnya ia membuang semua tentang kenangan-kenangan buruk tentang masa lalunya. Mungkin benar Tuhan sedang menguji imannya melalui rasa itu. Rasa yang begitu menyakitkan hingga Arum tak mampu lagi untuk menopangnya. "Rum.... " Panggil sang Mama membuat Arum terkejut. Arum menoleh ke arah sang Mama yan
Levin mengempaskan tubuh di atas ranjang kamar dan tak lama dia pun dibuai mimpi. Levin terbangun beberapa saat kemudian karena ketukan di pintu dari luar kamarnya. "Lev, sudah makan apa belum? Mama sudah siapin makan buatmu?" tanya Lastri pada anaknya. "Ya, Ma. Levin mau cuci muka dulu," sahutnya. "Cepat ya, Mama tunggu!""Iya."Wanita paruh baya itu menemani Levin makan malam. Sesaat Levin hanya memandang makanan di piring, tanpa memakannya, ia hanya mengaduk makanan dan pikirannya kosong. Lastri menatap heran Levin. Padahal biasanya anaknya itu langsung memakannya dengan sangat lahab. Wanita paruh baya itu curiga akhir-akhir ini Levin begitu murung. Merasa ada sesuatu yang janggal, wanita paruh baya itu menghela nafas lalu bertanya, "Lev, kamu kenapa? Sakit?" tanyanya cemas. Levin hanya diam lalu menggeleng."Maafkan Mama, Lev," ucapnya lirih."Maaf? Untuk apa, Ma?" "Memisahkanmu dari Arum, Mama tahu kau begitu mencintainya, bukan. Tapi ingatlah tujuan kita menghancurkan kel
Arum dan Naura melangkahkan kaki menyusuri jalanan komplek perumahan bersama Naura. Angin pagi mengiringi perjalanan mereka, mereka berdua melihat beberapa ekor burung-burung berkicau hinggap di pemohonan yang mungkin saja mencari makan. Mereka melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju pertigaan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi ini, membuainya. Menebarkan damai di penjuru hati.Mata Arum menyisir sekeliling, mengurutkan nomor rumah yang berukuran besar dan luas. Mungkin karena masih agak jarang penduduknya terlihat pemandangan juga begitu asri. Di ujung sana, rumah yang terletak di pinggir jalan terdapat deretan rumah yang sama, sekilas Arum menatap rumah itu sangat besar dan berlantai dua, terlihat paling bagus. Tiang-tiang yang menjulang tinggi menambah kesan kokoh rumah mewah itu. Sepertinya baru direnovasi, indah sekali. Arum dan Naura terus berjalan menuju taman komplek, Seulas senyum tersungging di bibir Naura saat melihat b