Sabtu, 8 November, suatu Tahun
03.10 p.m. (Pukul 15.10)
LISA
Seperti bagian lain di vila ini, lantai dan dinding koridor itu terbuat dari kayu. Cukup tebal, tapi masih tak cukup untuk menangkal hawa pegunungan. Banyak berkelok. Panjangnya mungkin mencapai hingga puluhan langkah. Lebarnya lebih lebar sedikit dari bentangan kedua lengan orang dewasa. Bagian atas telanjang tanpa langit-langit, langsung menampakkan rangka atap dan susunan genting yang samar-samar saja terlihat. Di kerangka bangunan yang melintang di atas lorong itu bergantung lampu-lampu dengan pijar kekuningan, lengkap dengan piringan logam yang melingkup pangkalnya. Di atas sana, rumah laba-laba bertaut kesana-kemari, coraknya sudah kehitaman dan sesekali bergelayut serupa satin malaikat maut. Di kiri dan kanan lorong tergantung banyak lukisan yang dibingkai dalam persegi panjang berbagai ukuran; mulai dari yang mungil seukuran buku tulis sampai yang besar seukuran setengah daun pintu. Letak lukisan-lukisan itu ada yang membujur, ada yang melintang; jarak antara satu lukisan dengan lainnya punya tolak ukur yang acak. Lukisan-lukisan itu tampak dingin, beku dalam aliran waktu yang terhenti, mungkin karena hanya disoroti cahaya kekuningan dari lampu yang bergantung jauh di atas. Muram. Barangkali, kegunaan koridor itu adalah semacam galeri, tapi bagi kebanyakan orang, koridor itu tentulah bukan tempat yang menyenangkan pandangan.
“Aku suka lukisan. Aku sendiri juga melukis.” Gadis berkacamata itu akhirnya menemukan bahan pembicaraan lain setelah lama berpikir dan tak ditemukannya celah untuk memuji koridor remang itu.
“Saya tidak bertanya,” jawab lelaki berambut ikal di sebelahnya.
“Oh, maaf. Aku cuma berpendapat.”
“Oh, maaf. Kalau begitu, saya tidak minta pendapat.”
Gadis itu mengatup kedua kelopak matanya. Gemas.
“Bagaimana kalau aku yang minta pendapatmu?”
“Tak ada komentar.”
“Kalau begitu, minta namamu?”
Lelaki berambut ikal itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah gadis itu dan bergeming selama beberapa detik. Matanya memicing. Sambil tangan kanannya merodok, bilangnya, “Kris.”
Gadis itu mengangkat tangan kanannya juga, hendak menyatukan telapaknya dengan telapak tangan lelaki berambut ikal yang akhirnya menatap dirinya juga saat bercakap. Sayangnya, gadis itu kecele. Lengan lelaki itu terus menjulur sampai ujung-ujung jemarinya menyentuh bingkai lukisan yang ada di belakang gadis berkacamata. Alangkah kebetulan, bingkai itu memuat lukisan paruh badan seorang gadis cilik yang sedang menahan tawa dengan kedua tangannya.
Ada mayat seekor laba-laba yang gepeng dan mengering di atas bingkai lukisan itu. Jemari Kris yang kurus dan panjang menggiling mayat binatang malang itu, menjadikannya persis kotoran hidung, hanya saja ia tak dibuang atau diratakan di kolong meja, melainkan dimasukkan ke dalam saku jas hitam yang sudah tampak lusuh dan bau apak.
“Aku Lisa.” Kata si gadis, sambil tangan kanannya yang sudah terlanjur terangkat bergerak ke belakang kepala, melepas ikatan rambut sekaligus menyibak rambutnya yang tak begitu saja tergerai seperti iklan sampo di televisi. Rambut itu panjangnya sebahu, hitam kusam.
“Saya sudah tahu,” balas pemuda itu tak tertarik.
Lisa geming. Kakinya memaku sesaat di lantai yang dingin. Ia tak memejamkan mata lagi sebagaimana biasa kalau ia sedang kesal. Matanya melotot, mengikuti sosok Kris yang lanjut melangkah seakan tak pernah bersikap tak sopan pada seorang tamu yang seharusnya dimuliakan. Usaha Lisa membangun sebuah percakapan akhirnya seperti angin kentut—yang sebaiknya memang tidak perlu dilakukan di depan lawan bicara, kecuali kau memang ingin memancing perkara. Ia hanya sedang berusaha akrab; bagaimanapun, ia akan menghabiskan setidaknya 3 hari ke depan di vila ini.
Sejak pertama kali jumpa, Kris memang selalu menanggapi Lisa dengan raut wajah yang begitu-begitu saja. Dingin dan sinis, tapi pada saat yang bersamaan, memelas. Matanya yang sayu selalu menatap tajam ke kejauhan, tapi tak sekalipun menatap lawan bicaranya kecuali beberapa detik lalu. Langkahnya lebar dan cepat. Tiap satu langkah Kris harus dibalas dua kali langkah agar Lisa bisa menyamai kecepatan pemuda itu berjalan. Menyebalkan. Lisa setengah tidak terima kalau ia, yang seorang tamu, disambut orang macam itu beberapa belas menit yang lalu. Sungguh pelayanan yang membuatnya amat tak terkesan.
11.47 a.m. (Pukul 11.47)LISALisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Ia berkali-kali memeriksa layar ponselnya. Bagian layar yang paling ia incar ada di sudut kanan, sebuah gambar mungil yang melambangkan kekuatan sinyal. Saat itu, gambarnya hanya memuat satu garis sinyal. Bukan berita baik. Di sebelah gambar mungil itu, ada lagi gambar mungil lain yang membuat Lisa semakin cemas: sebuah gambar baterai dengan satu garis di dasarnya. Lagi-lagi bukan berita baik. Yang ditunggui Lisa sejak keberangkatannya hingga perhentian pertama di perempatan ini adalah pesan balasan dari Bu Zaitun, seorang dosen yang mengutus Lisa untuk berangkat ke Kabupaten Yang Dipancang Gunung-gunung. Lisa tak sering bangun sebelum sebelum pukul 5, tapi pagi tadi, ia terjaga bersamaan dengan kumandang azan dari surau belakang kediamannya. Pagi itu, saat orang-orang muslim berbondong ke surau terdekat, Lisa sudah menggendong tas di punggung da
03.20 p.m. (Pukul 15.20)LISAKeramahannya tak akan berarti apapun bagi Kris. Kini Lisa lebih memilih untuk menikmati dirinya sendiri. Langkahnya jadi diperlambat, sambil disebar pandangannya ke kiri dan ke kanan. Disusuri oleh pandangannya itu hamparan tembok kayu yang penuh dengan lukisan-lukisan yang bergantung berjejer. Lukisan yang bagus, tapi tak cukup unik untuk membuat Lisa mematung dan menggeser-geser bingkai kacamata di pangkal hidungnya—sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia asik mengamati sesuatu yang menurutnya tidak biasa. Ada lukisan pemandangan, tampaknya lingkungan sekitar desa, tapi ada juga pemandangan-pemandangan dengan kincir angin raksasa, padang-padang tulip dan lautan penuh kapal layar yang setahunya tidak ada di negeri ini. Ada lukisan makhluk hidup: beberapa serangga dan hewan-hewan tunggangan semacam kuda poni dan gajah India, tapi makhluk hidup yang paling banyak di gambar adalah manusia, lebih tepatnya perempuan. Bukan paling banyak, tetapi semuanya.
03.23 p.m. (Pukul 15.23)KRISPemuda itu mengayun langkahnya lebih cepat. Ia ingin segera menjauhi tamunya, seorang kurator benda-benda seni dan antik—lebih tepatnya, asisten. Ia tak menyukai kehadiran gadis itu. Kehadiran gadis itu di sini berarti bahwa majikannya benar-benar berniat akan menghapus sebagian besar kenangan di vila ini. Bahkan, mungkin seluruhnya. Kris marah pada gadis itu. Marah pada majikannya. Marah pada dirinya sendiri, yang tak mampu berbuat apa-apa meski ia telah melayani keluarga ini sejak belia. Kris ingin memaki dirinya sendiri, tapi itu sudah ia lakukan setiap hari sejak suatu hari beberapa tahun yang lalu. Memaki dirinya lagi hari ini tak akan memberi perbedaan berarti. Ia ingin menggugat majikannya, tapi ketika ia melihat tatapan sendu majikannya itu, ia lebih ingin untuk memaki diri sendiri lagi. Jadi, ketika siang itu si gadis asisten muncul di muka gerbang Vila Di Pegunungan, ia merasa telah menemukan pelampiasan kekesalannya.Kris memang tak memaki ga
03.51 p.m. (Pukul 15.51)LISAKris menggeser mundur kursi di ujung meja makan berbentuk persegi panjang. Kemudian dua lagi di ujung lain untuk Tuan Bram dan gadis berbalut klederdracht.“Silahkan, “ sahut Tuan Bram.Lisa canggung, sebab gadis berbusana klederdracht itu terus memandanginya. Tuan Bram juga langsung duduk tanpa perkenalan paling sederhana sekalipun. Gadis berbusana klederdracht sudah duduk manis, matanya masih mengawas ke wajah Lisa. Sementara Kris masih tetap bermuka datar dan bersikap dingin, berdiri dengan sebelah tangan menyiku di depan perut. Udara rasanya beku, tapi dinginnya tak begitu menyengat dibandingkan dengan sikap dingin orang-orang dalam ruang makan itu. Hanya Tuan Bram yang sedikit-sedikit tersenyum, tapi lama kelamaan Lisa justru semakin merasa gelisah. “Ini Anne.” Kata Tuan Bram. Akhirnya.“Anak Anda?” Sambung Lisa, sudut bibirnya berkedut. Sungkan. “Sepertinya pernah lihat...”“Jangan ganggu aku!” Potong gadis bernama Anne. Matanya menyalang tajam, s
03.38 p.m. (Pukul 15.38)ANNEAnne duduk mematung, menghadap cermin besar yang menegak di atas meja riasnya. Cermin persegi panjang itu memantulkan parasnya yang ayu tapi dingin. Bayangan yang terbentuk di permukaan cermin itu adalah sepotong wajah bentuk hati dengan dagu runcing; rambutnya kecoklatan, bergelombang hingga punggung atas; bibirnya merah hati, sedikit pucat dan pecah; pipinya kenyal, putih kemerahan; batang hidungnya ramping dengan tulang rawan yang tegas; sepasang matanya besar dengan bulu mata dan alis yang tipis; warna mata itu coklat cerah, tapi sama sekali tanpa binar. Kosong. Tatapan kosong yang sama itu memandangi pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin semenjak siang tadi. Tak ada yang tahu pasti apakah ia mengedipkan matanya selama itu. Ia bahkan tak bergerak sama sekali kecuali rambutnya yang sesekali melambai terkena semilir yang masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar dan hanya dihalangi kerai tipis warna putih. Tapi, yang paling aneh adalah gadi
04.11 p.m. (pukul 16.11) LISA “Maaf,” kata Lisa. Terkesan sekenanya, tapi kebanyakan orang juga bakal begitu. Canggung. Tuan Bram masih menyuguhkan senyum. Anne, gadis kekanakan itu, di luar dugaan tak menunjukkan gejala tersinggung sama sekali, kecuali jika berhenti mengadu kakinya sendiri dengan kaki meja masuk dalam hitungan. Sunyi hampir menguasai ruang itu, tapi pintu lain di ruang itu terbuka dengan sedikit kasar, membuat bunyi nyaring yang memecah sunyi. Lisa segera menoleh. Seorang pembantu perempuan memasuki ruangan dengan mendorong meja sajian. Ada tiga mangkuk sup kentang di atas meja dorong itu. Uapnya mengepul. Rambutnya disanggul rapi, ikatannya terjaga oleh sebuah penjepit rambut besar mirip kupu-kupu. Senyumnya tipis, dibentuk oleh bibir bergincu merah. Dagunya agak naik dan dadanya agak mencondong ke depan. Punggungnya terlihat cekung seperti sedang didorong ke depan oleh sesuatu—mungkin karena lilitan korset. Caranya berjalan mantap, suara ketukan sepatunya deng
03.00 p.m. (pukul 15.00) KATEMI Lewat jendela di lantai dua, Katemi melihat Kris membawa masuk seorang tamu perempuan ke dalam Vila Di Pegunungan. Katemi bergegas ke dapur, tentu saja tetap dengan langkahnya yang anggun dan mengetuk lantai dalam suatu irama yang teratur. Meski ia sehari-hari bekerja di dapur, menghadapi jelaga dan berbagai bau-bauan, ia harus tetap tampak terlihat anggun, demikian anggapannya. Satu-satunya hal yang disesalkannya karena mengganggu keanggunan penampilannya adalah selembar celemek yang sudah kusam—lupa ia cuci. Ia harus memakai celemek itu karena tak ada cadangan lain kecuali yang lebih kotor atau sudah rombeng dan ia tak mau dibilang jorok oleh siapapun di rumah itu karena mengerjakan urusan dapur tanpa celemek melapisi pakaiannya. Ia memulai masakannya dengan merebus air setengah panci besar. Sambil menunggu air mendidih, ia memotong kentang yang sudah dikupasnya tadi pagi. Ia memotong dengan cepat, sebagaimana yang ia lakukan selama ini, sebab air l
05.29 p.m. (pukul 17.29) LISA Lisa sedang mengeringkan rambut di balkon kamarnya di lantai dua. Awalnya ia tak berniat mandi mengingat betapa dinginnya udara di Pegunungan, apalagi airnya, tapi Tuan Bram bersikeras menyediakan air panas untuknya mandi. Jadi ia mengangguk, meski ia lihat Katemi tampaknya tak begitu suka direpotkan untuk mendidihkan sepanci besar air. Lisa tadinya juga ingin merebus air mandinya sendiri, tapi pembantu itu (tentu dengan senyuman yang dipaksakan) menahannya untuk menunggu di kamar. Akan tetapi, ternyata mandi sama sekali bukan pilihan yang buruk. Setelah mandi, tubuhnya terasa segar kembali. Pikirannya juga kembali luwes, seakan kecanggungan berkepanjangan di ruang makan tadi tidak pernah terjadi. Aroma sabun juga berhasil menghilangkan rasa lelahnya. Namun masih ada satu hal yang belum bisa diatasinya: udara dingin. Meskipun telah melapisi dirinya dengan mantel dan merangkapnya lagi dengan selimut tebal, ia tetap menggigil. Rasa-rasanya ia ingin menya