10.13 p.m. (pukul 22.13)
LISA
...sa...
Li... sa...
Lisa...
Bangun.
Suara itu memanggil namanya. Suara yang ramah dan hangat, seperti suara ibunya, tapi ini suara laki-laki.
“Lima menit lagi...”
Sedikit lagi... Bertahanlah...
“Betul. Sebentar lagi,” Lisa seperti hanyut dalam buaian. “Bertahan. Di kasur...”
Bangunlah! Anak badung!
Lalu sebuah bayangan pekat menyambar. Dari balik bayangan itu sebuah senyuman menyeringai.
Lisa terbelalak. Ia terjaga. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang pasti bukan kamarnya, bukan rumahnya. Matanya berkunang, sementara keningnya terasa nyeri. Ia meraba keningnya. Terhalang perban, tapi ia yakin ada kulit yang terkoyak di situ, dan mungkin ada keretakan pada tulang dibaliknya. Ia berusaha bangkit dan itu r
10.25 p.m. (pukul 22.25) KATEMI Betapa sialnya. Meja kecil di samping tempat tidurnya memiliki dua tempat penyimpanan: sebuah laci dan satu ruang yang lebih besar di bawah laci dengan sebuah sekat melintang di tengah-tengah. Daun pintu laci itu longgar dan ternyata satu tarikan laci diatasnya sudah cukup untuk membuat kaitannya terlepas, membuat daun pintu menggantung bebas dan membuka celah. Sialnya, ia tak menyadari hal itu sampai Lisa, yang entah bagaimana caranya, memergoki kandelabra yang telah diamankannya lewat celah itu. Tadinya ia hendak mengembalikan kandelabra itu ke tempat semula, tapi Kris terus menerus memberikan tatapan curiga padanya dan mungkin menghubung-hubungkan tumbangnya Lisa dengan kandelabra berpantat besi yang tergeletak tak jauh di lantai. Ia bahkan akhirnya yakin bahwa Kris memang sudah menyimpulkan hal itu, tapi pemuda itu memilih untuk tutup mulut. Meski begitu, ia tak mer
09.10 p.m. (pukul 21.10) KRIS Kris memapah tubuh lunglai Lisa, dibantu oleh Katemi. Jantungnya bertabuh seperti gendang dalam orkes dangdut. Ia pernah mengalami kejadian serupa ini suatu hari beberapa tahun yang lalu. Itu adalah saat Kris memapah jenazah Nyonya Maria. Ia ingat bagaimana kepala sang nyonya terkulai, terputar hampir setengah lingkaran, dengan tonjolan ganjil di leher. Tak ada darah saat itu, hanya ada air matanya yang amat terlambat. Ia pikir saat itu hanyalah mimpi dan ia akan segera terjaga, tapi begitu ia bangun di pagi berikutnya tanpa senyuman sang nyonya, ia menangis tersedu-sedu hingga beberpa hari. Kenangan tak menyenangkan itu terulang kembali begitu jelasnya. Jantungnya terus bertabuh, seperti gendang dalam lantunan Bunga Seroja—mendayu-dayu—tapi, seakan mengamini syair gubahan Said Effendi yang kerap ia dengar di siaran radio itu, ia tersenyum. Ia hendak menertawakan diri sendiri. Barangkali, jika ia tak memuja Nyonya Maria seperti dulu, rasa kehilangannya s
10.28 p.m. (pukul 22.28)ANNE“Apakah Papa membenciku?”Anne terisak. Gaun klederdracht sudah tanggal dari tubuhnya, diganti selembar tunik sutra panjang berwarna putih. Ia terbangun beberapa saat lalu dalam keadaan bingung. Keadaan sekitarnya remang; lampu duduk berpijar di atas rak kecil di sebelah ranjang dan sisanya hanya semburat lurus dari celah mendatar di bawah pintu kamar. Rasanya seperti sehabis tidur seminggu penuh, kepalanya seperti dipenuhi pasir. Ia menduga kuat ini masih hari yang sama. Ia tak mungkin tidur selama itu, pikirnya. Ia berusaha menyusun serpihan ingatan yang berserak di benaknya; tentang peristiwa-peristiwa sebelum ia berakhir di atas ranjang di kamarnya. Ia tak bisa mengingat dengan jelas, tapi ada satu kilasan yang sangat membekas: ayahnya menamparnya dengan sangat keras, sampai-sampai ia terjatuh mencium lantai. Cengengnya semakin menjadi.“Apakah
10.32 p.m. (pukul 22.32) LISA “Ya. Itu semua karena memang karena benda terkutuk itu,” kata Katemi. “Saya amat menyesal,” balas Lisa. Ia benar-benar menyesal. “Sudah terjadi.” Lisa membiarkan telapak tangannya dalam genggaman Katemi, diremas perempuan itu di atas pangkuannya. “Tapi ada satu hal yang bisa kau lakukan untukku,” kata katemi dengan raut wajah yang sulit ditebak maksudnya. “Apa?” “Bujuk anak muda itu agar mau membakar papan terkutuk itu!” Ada jeda sejenak, tapi Lisa sudah memutuskan jawabannya sendiri. Ia hanya sedang meninmang-nimang apakah jawabannya akan menyinggung perasaan Katemi. “Maaf, Tante,” jawab Lisa akhirnya, “Tapi Kris juga berhak menjalani pilihannya sendiri.” Katemi tertunduk. “Baiklah...” Lisa merasakan genggaman Katemi melonggar dan perlahan menarik tangannya. Ia memandang wajah Katemi, tapi perempuan itu tak mau memand
10.35 p.m. (pukul 22.35)KRISKris mengucapkan seluruh mantranya. Lalu listrik tiba-tiba padam.Ia menunggu. Di kejauhan, anjing gunung melolong, barangkali sedang memergoki rombongan hantu yang berangkat mencari korban. Tak ada angin. Tak ada sedikit pun cahaya. Tak ada gerakan atau pertanda apapun kalau pemanggilannya berhasil.Lagi-lagi gagal, katanya pada diri sendiri, mungkin surga memang tempat yang berkali-kali lebih nyaman dari dunia. Arwah Nyonya Maria tak akan turun lagi ke bumi. Mulut Kris berdecak.Tak akan ada apapun yang akan terjadi. Ia melepaskan telunjuknya dari cincin, dan bersamaan dengan itu, listrik kembali pulih. Ia tak punya firasat apapun. Perasaannya tetap sama, sendu dan tak bergairah. Ia segera mengemasi papan peninggalan Nyonya Maria ke dalam peti kayu. Pada saat ia selesai, sebuah teriakan terdengar tepat dari dua lantai di atas kepalanya. Itu bukan suara Anne, bukan pu
10.48 p.m. (pukul 22.48)LISASungguh pemandangan yang mengerikan. Dua orang dengan kejiwaan yang sama sekali ganjil menatap satu sama lain. Dua orang sinting itu, bagaimanapun, salah satunya telah menyelamatkan Lisa dari maut. Setidaknya, untuk saat ini. Tak ada yang bisa diperkirakan dari keadaan ini. Ini tidak seperti sabung ayam yang pemenangnya bisa dikira-kira lewat runcing taji dan besar tubuh—bahkan ada panduan primbon untuk itu—tapi di sini, Lisa tak tahu manakah yang lebih sinting di antara Katemi dan Anne. Dan di sini, yang dipertaruhkan adalah nyawanya sendiri. Ah, atau seharusnya ia berusaha menghentikan kedua orang itu alih-alih memperkirakan siapa yang bakal dicabik atau mencabik.Anne. Gadis itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Sesekali ia melompat di tempat, menghentakkan kakinya yang telanjang ke hamparan lantai kayu. Katemi, di lain sisi, terduduk sambil sesenggukan, tapi
08.20 p.m. (pukul 20.20)BRAMTamunya itu telah beranjak dan ia kehilangan kesempatannya untuk mengaku. Mereka sudah di ruang santai itu cukup lama, tapi yang bisa ia lakukan hanya mengulur waktu, berharap keberaniannya muncul atau gadis itu secara ajaib bisa membaca gambaran dalam kepalanya. Bahkan, saat isi pembicaraan mereka akhirnya mulai cair, lidahnya masih beku. Ah, tapi cerita itu memang seharusnya tak disampaikan pada siapapun, katanya menenangkan diri sendiri. Ada pesona yang tak bisa ditolaknya dari mata gadis itu, mengundangnya untuk melimpahkan semua kegelisahannya. Kegelisahan yang telah ia simpan bertahun-tahun lalu. Kegelisahan yang, sekali lagi, sebaiknya tak ada yang tahu. Itu adalah cerita tentang masa lalunya. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga besar nan kaya raya. Ayahnya telah meninggal belasan tahun lalu, meninggalkan harta dalam bilangan besar sekali. Ibunya yang telah menjanda akhirnya menikahi lelaki lain: seorang pengusaha kelas
10.43 p.m. (pukul 22.43) BRAM Bram terjaga dengan mata terbelalak. Matanya sakit karena langung menatap cahaya lampu. Ia terjaga sedemikian rupa akibat mimpinya. Dalam mimpi itu, ia seperti mengulang kembali bertahun-tahun pengalamannya. Sangat jelas mimpi itu, dan amat rinci; sampai-sampai dadanya berdebar karena ngeri. Bahkan, kancutnya juga sampai basah karena adegan percintaan dalam mimpinya terasa nyata. Terdengar suara gaduh dari lantai dua. Lantai vila yang tersusun dari kayu-kayu saling menyambung sehingga derit-deritnya dapat mengalir begitu saja ke langit-langit ruang santai. Ia menduga itu suara tikus awalnya, tapi segera berubah pikiran karena tentu saja tak mungkin tikus-tikus membuat kegaduhan semacam itu kecuali mereka sebesar babi hutan dan sedang bergulat di atas sana. Sesaat kemudian, suara gaduh lain terdengar dari arah ruang makan. Suaranya tidak lebih berisik dari kegaduhan di lantai dua