Share

9

Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.

Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala. 

Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.

“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.

“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.” 

Rheyner mengangguk-anggukkan kepala. “Ayah di kantor pusatnya lama ya?”

“Iya lumayan, tapi setelah itu harus langsung kembali ke Sulawesi.”

“Seenggaknya merasakan berkumpul sama keluarganya lebih lama, Yah, terutama sama Ibu.” Rheyner dan Rendra tertawa bersamaan.

“Kamu sama Dira bertengkar lagi?” tanya Rendra setelah tawanya reda.

Rheyner nyengir. “Iya dikit, Yah. Maaf, Rhey yang salah. Ini mau minta maaf sekalian minta sarapan, hehe...”

“Haha...ya sudah sana, keburu tambah ngambek adikmu dan keburu nasi goreng seafoodnya habis.”

“Wah, Ibu bikin nasi goreng special. Rheyner masuk duluan ya, Yah.” Rheyner antusias dan langsung berlari setelah mendapat anggukan dari Rendra.

Nadira duduk membelakangi arah Rheyner masuk membuat akal iseng Rheyner turn on. Rheyner yang awalnya berjalan cepat kontan memelankan langkahnya. Ia meletakan telunjuk di depan mulut saat Dewi melihat kedatangannya, ibu Nadira itu hanya tersenyum maklum dengan kelakuan ‘anak pertamanya’ ini. Ia kemudian kembali ke dapur untuk mengambil piring tambahan.

Diiringi senyum lebar Rheyner menarik ikat rambut Nadira. Ikatan rambut Nadira terlepas dan otomatis rambut sepunggungnya terurai. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Rheyner duduk di depan Nadira. Nadira yang menyadari kehadiran Rheyner memperlihatkan muka paling sebal yang bisa ia tunjukkan. Namun, Rheyner bersikap seolah tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia lupa tujuannya adalah untuk meminta maaf atas sikapnya kemarin bukan malah untuk menambah kesalahan baru. Begitulah Rheyner Aditya Effendi, jiwa kekanakannya selalu muncul setiap berada di dekat Nadira.

“Apa?” sentak Nadira pada Rheyner yang menatapnya dengan wajah jenaka.

“Enggak,” Rheyner menggeleng polos, “kamu semakin keliatan cewek banget. Udah pintar mainan make up gitu.”

“Kamu-kamu biasanya juga elo-eloan,” cibir Nadira.

“Ya ‘kan kalo ada orang tua kita aturannya aku-kamuan, Nad.” Rheyner masih bertahan dengan wajah polosnya. “Benaran deh, Nad, kamu dandan ya pagi ini?”

Pipi Nadira sedikit bersemu. 

“Enggak! Sini balikin ikat rambut aku. Kamu tuh usil banget, nyebelin!” Nadira masih bertahan dengan sikap galaknya.

“Enggak mau, lebih cantik kalo digerai.”

“Nanti gerah.”

“Nggak papa gerah tahan dikit daripada ntar mata cowok sesekolahan jelalatan ngelihat leher l–kamu. Duh, lidah keseleo mulu kalo aku-kamuan.”

“Salah sendiri ganti-ganti kebiasaan.”

“Ya daripada uang jajan dipotong.”

“Ih, bukan gitu...maksud aku dulu ‘kan kebiasaan kamu juga ngomong pakai aku-kamu siapa suruh sekarang gue-eloan.”

“Lho, belum pada mulai sarapan?” Rendra datang bersamaan dengan Dewi yang keluar dari dapur membawa piring baru dan seduhan teh.

“Belum dong, Yah, kan nungguin Ayah,” jawab Rheyner.

“Lagian Ibu juga baru nyiapin piring buat Rheyner,” sahut Dewi.

“Apaan sih tiap hari sarapan di sini kayak nggak punya rumah aja,” Nadira mencemooh.

“Lha, ini kan rumah aku juga.” Rheyner  menjulurkan lidah ke arah Nadira.

Mbok sudah ta, dari tadi Ibu dengarkan kok debat terus kalian ini. Ayo, mulai sarapan,”  lerai Dewi.

Nadira pun mengakhiri tatapan sinisnya pada Rheyner dan mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Begitu pula dengan Rheyner.

“Eh, Nad, berangkat sama gu–aku aja ya, kasian Ayah kalo ngedrop kamu ke sekolah dulu,” kata Rheyner di sela kunyahannya.

Nadira menatap Rheyner sebentar. “Iya,” jawabnya kalem tanpa nada ketus sedikitpun. 

Rheyner kembali tersenyum lebar. Ia tahu sebenarnya Nadira tidak marah padanya perihal kemarin. Sikap Nadira tadi lebih ke sebal karena Rheyner mengusili. Ya, begitulah mereka. Berantem-baikan-berantem lagi-baikan lagi. Akur-musuhan-akur lagi-musuhan lagi. Selalu seperti itu siklus hubungan mereka. 

Sebentar, kok seperti hubungan pacaran?

                      ***

“Rhey, serius, sebenarnya itu cewek lo ‘kan?” todong Ina, teman sekelas Rheyner, begitu Rheyner masuk kelas.

“Apaan sih lo, udah ngegosip aja pagi-pagi,” jawab Rheyner seraya meletakkan ransel di kursi tempatnya biasa duduk.

“Heh, ini penting banget! Masa udah seminggu lo nggak konfirmasi juga sih,” gerutu Ina.

“Berita basi gitu apa pentingnya?” Rheyner menaikkan sebelah alisnya.

“Jadi benaran?” mata Ina berbinar seolah dirinya baru saja menemukan tiket liburan ke Paris bareng Lee Min Ho, idolanya.

“Apanya sih, Na, yang benaran?” Ina mencibir, tetapi kembali berbinar. “Emang gue mengiyakan?” tanya Rheyner lagi, kesel juga lama-lama.

“Udah jelas kok dari ucapan lo tadi,” ucap Ina berlalu.

“Heh, pacar gue itu Sherin bukan Nadira!” kata Rheyner setengah berteriak. Namun, Ina tidak menggubrisnya sama sekali. Sedangkan Sherin yang baru masuk kelas sontak jadi sorotan anak sekelas yang pagi ini sudah berangkat pagi demi tugas Biologi.

“Halah, settingan!” celetuk entah siapa.

“Iye, pasti akal-akalan si Rheyner doang biar kagak digosipin lagi. Iye pan, ngaku lu?” Asep si Betawi tulen menimpali.

“Elaah, tadi nanya siapa cewek gue, tapi setelah gue jawab benaran malah pada nggak percaya. Maunya gimana sih?” Rheyner gemas sendiri.

“Udah-udah, gue percaya kok yang lain pada nggak percaya nggak papa. Sekarang sini tugas Biologi lo, gue yakin lo udah ngerjain,” kata Panji.

Akhirnya meski dengan raut wajah dongkol Rheyner memberikan buku tugas biologinya. Buku itu sontak menjadi primadona murid laki-laki. Well, begitulah Rheyner pintar, tetapi tidak pelit kecuali waktu ujian. Sama aja ya?

“Rhey, lo udah ngerjain tugas biologi belum?” tanya Ina.

“Udah. Tapi kalo lo mau pinjam musti antre dulu,” jawab Rheyner songong.

“Najis. Gue mau pinjam buku paketnya doang kok,” kata Ina.

“Oh, kirain.” Rheyner terkekeh. “Nih.” Rheyner menyerahkan buku paket biologinya pada Ina.

“Rin, dapet nih bukunya.” Ina mengangkat buku paket pinjaman dari Rheyner, menunjukkan pada Sherin. Sherin menatap Ina sekaligus Rheyner yang ada di belakang Ina. Rheyner yang melihat hal itupun mengedipkan sebelah matanya.

“Eh, iya Rhey,” panggilan Asep mengalihkan pandangan Rheyner, “tadi gue lihat lo pakai motor matic deh. Motor sangar lo kemane, lo gadaiin?” Asep bertanya di sela kesibukannya nyalin tugas.

“Ya Allah, emang gue segitu ngenesnya sampe gadaiin motor kesayangan gue?” Rheyner memasang wajah terluka.

“Ye sapa tahu aje cewek lo itu matre terus lo gadaiin motor sangar lo buat nyenengin ntu cewek, lo pan paling anti minta duit ame ortu lo.”

“Sialan lo, Sep, jangan ngatain dia macam-macam depan gue lo! Itu gue pakai motor adik gue.” Mendengar jawaban Rheyner yang sedikit kesal membuat Asep tidak lagi bertanya-tanya. Rheyner serta murid laki-laki kelas itu pun mulai mengobrolkan hal-hal berbau otomotif dan melupakan tugas rumahan mereka.

“Halaman seratus berapa, Rin?” tanya Ina sembari membuka lembar demi lembar buku paket biologi milik Rheyner.

“Coba sini gue aja yang nyari, Na.” Sherin mengambil alih buku yang dibuka Ina.

“Apaan tuh yang jatuh, Rin?” tanya Ina saat melihat ada sesuatu yang jatuh dari dalam lembaran buku paket. Ina langsung mengambilnya. “Foto, Rin.”

Sherin mendekatkan badannya pada Ina yang tengah mengamati tiga lembar foto di tangannya. Mata Sherin terbelalak begitu melihat foto pertama yang menampilkan Rheyner memeluk Nadira dari belakang dengan selang air di tangan keduanya dan pakaian mereka pun terlihat basah. Foto kedua memperlihatkan Nadira yang meyuapi Rheyner. Foto terakhir menampilkan Rheyner dan Nadira yang tertawa lepas dengan pakaian yang sama seperti foto kedua. Semua foto ini terlihat diambil secara diam-diam. Sherin menggigit bibir bawahnya. Dada kirinya sedikit terasa nyeri.

“Tuh, kaaaan...si kampret bohong. Lo juga, Rin, mau-maunya bantuin dia bohong. Segala bilang Rheyner nggak pacaran sama ini adik kelas,” gerutu Ina menyadarkan Sherin.

“E..enggak gitu, Na—”

“Kita lihat si kampret Rheyner bakal jawab apa kalo gue liatin foto ini.” Ina memotong ucapan Sherin dan siap beranjak dari tempat duduknya.

“Eh, Na, jangan!” Sherin menahan lengan Ina

“Kenapa, Rin? lumayan lho kita bisa dapet PJ.” Ina mengernyit.

Sherin berpikir sejenak. “Na, kita ‘kan mau nyocokin tugas. Daripada ngurusin Rheyner mending ngurusin tugas.”

“Ah, ya, gue lupa.” Ina duduk kembali. “Ini fotonya gimana?”

“Ya udah taruh di dalem buku lagi aja. Kita pura-pura nggak tahu aja, Na.”

“Ya udahlah.” Ina mengangkat bahu tak acuh. Tak lama ia sudah tenggelam pada tugasnya. Sementara Sherin malah melamun dan melupakan tugasnya.

                         ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status