POV Author
Anes masih tertawa terpingkal-pingkal karena ulah Taka. Ucapan pemuda polos itu membuat Anes yang seharusnya sangat terluka, mejadi tergelak tiada henti bagai orang gila. Taka hanya bisa menatap wanita aneh di depannya, tanpa tahu sebab. Dia tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya, tetapi kenapa wanita di epannya ini sangat aneh. Mereka sudah berlari sampai di bibir pantai. Tak ada yang memperhatikan keduanya karena semua orang sibuk dengan acara mereka masing-masing.
“Non, saya harus balik ke dapur ya. Besok lagi aja dilanjutkan. Saya gak bisa lama-lama. Ini saja, saya bilangnya ijin buang air,” terang Taka dengan wajah memelas. Anes yang tertawa sampai membungkuk, akhirnya meluruskan tubuhnya. Kedua tangannya naik ke pipi, untuk memijatnya sekilas. Pipi nya terasa pegal karena tertawa. “Kamu pemuda aneh!” kembali Anes menggelengkan kepalanya.
“Ya udah, Non. Saya balik
Matahari mulai terbenam dan sorot lampu menyinari ruang perawatan kelas tiga. Anes duduk di kursi penunggu pasien. Berjarak cukup jauh dari Taka yang saat ini masih terlelap di atas brangkar. Wajah pemuda itu pucat dan Anes baru menyadari tubuh kurus milik pemuda itu. Dokter sampai menanyakan, apakah Taka berpuasa sepanjang hari?Hal ini yang ketika Taka bangun, akan segera ia tanyakan. Pemuda yang semakin hari, membuatnya semakin yakin, bahwa dia tidak bersalah. Ada orang yang menjebak mereka berdua.Saat Anes berbalik untuk membeli minuman di kantin rumah sakit, pemuda itu terbangun dan bergumam. "Di mana saya?" suara serak yang dapat ditangkap jelas oleh telinga Anes. Wanita itu menghentikan langkah, lalu berbalik manatap Taka."Di rumah sakit. Kamu pingsan saat kita memasuki Kota Surabaya, sehingga aku memutuskan untuk membawa kamu ke rumah sakit," terang Anes dengan suara datar. Wanita itu memilih berjalan mendekat pada Taka. Menatap kasih
POV AnesHal yang belum pernah kulakukan selama hidupku adalah menunggui orang sakit yang tidak cukup kukenal. Saat Julian dirawat beberapa pekan sebelum kami menikah, aku pun tidak menungguinya, hanya menjenguknya sesekali. Saat Mas Doni dirawat karena operasi usus buntu, aku pun tidak menungguinya sepanjang hari, karena sibuk dengan toko aksesoris rambut yang baru saja buka cabang di Mangga Dua.Berkat buat Taka, seorang pengusaha muda dan cantik sepertiku, malah sedang menjaganya siang dan malam selama tiga hari ini. Bosan sudah pasti. Ingin tidur di ranjang besar di dalam rumah. Berenang di kolam dan shopping aneka barang. Hidupku sangat rumit sejak menikah, untuk bernapas lega pun rasanya sulit. Mata lelaki itu masih terpejam. Taka tidur setelah diberikan obat nyeri oleh dokter. Kondisi tubuhnya memang sudah lebih sehat, tetapi tidak untuk kedua pahanya yang masih perlu mendapat perawatan. Paling tidak, surat ijin untuk keluar dari rumah sakit besok,
Ketika bertemu Arum, saat itu usiaku tiga belas tahun. Arum adalah pedagang donat keliling yang selalu menjajakan donatnya keliling komplek. Rasanya enak, empuk, dan tidak mudah keras bila lama didiamkan. Untuk itu, aku tidak pernah melewatkan jika Arum berteriak 'Donat' di depan rumahku.Semua adik-adikku suka, begitu juga kedua orang tuaku. Arum juga anak yang baik dan santun. Tidak pernah mau menerima kelebihan uang, karena memang bukan haknya. Selama tiga tahun, kami berlangganan donat keliling pada Arum. Lalu dia menghilang begitu saja. Tidak pernah muncul lagi di area komplek. Banyak anak-anak komplek yang menanti kedatangan Arum, tetapi hingga aku besar, Arum tidak pernah menampakkan diri lagi berkeliling.Kini, wanita yang mungkin hanya berbeda usia setahun saja denganku, tengah terbaring lemah di atas kasur busa. Sebelah kakinya lumpuh dan tubuhnya begitu kurus. Seberat apa hidup yang telah dilewati kakak beradik ini?"Non, taksinya sudah saya sur
Jika saja aku bisa menghilang saat ini juga, maka hal itu sudah kulakukan. Bagaimana bisa, hal memalukan lagi-lagi terjadi antara aku dan Taka. Ini memang bukan murni kesalahannya. Ini juga bagian dari kesalahanku yang tadi meminta Salma untuk mengijinkan Taka untuk masuk ke dalam ruangan.Kenapa aku bukannya menahan dahulu, sampai selesai mandi dan berganti pakaian. Jika sudah seperti ini, aku benar-benar tidak punya muka untuk bertemu Taka. Jika sebelumnya aku masuk ke kamar yang salah, hingga membawa petaka. Lalu di pinggir pantai malah mencium pemuda itu, dan hari ini dengan begitu dermawannya, aku memperlihatkan bagian atas tubuh ini secara sukarela. Sungguh sangat memalukan.Tidak, hari ini aku tidak bisa menemui Taka. Kami pasti akan sangat canggung. Setelah mengoleskan minyak urut pada dada dan juga perutku yang mencium lantai, aku pun mengambil ponsel, maksud hati akan meminta Taka datang beberapa hari lagi saja, dengan alasan aku sibuk.Mat
"Jadi, bisa tolong diceritakan bagaimana bisa bibir kalian itu saling beradu di bawah tadi?" kembali ludah ini terasa begitu pahit. Kututupi wajah ini dengan kedua tangan, agar Taka tidak melihat merahnya wajahku. Panas dan mungkin sebentar lagi akan terbakar.Papa meminta penjelasan yang aku sendiri tidak tahu, kenapa bibir ini jadi selalu ada di sana? Mau membela diri? Membela seperti apa? Taka juga bungkam seribu bahasa. Aku tahu dia malu sekaligus ketakutan."Jika kamu bukan istri Julian, sudah Papa nikahkan kamu dengan Taka. Ini kamu masih berstatus istri, tapi ciumannya dengan orang lain. Jadi, Papa harus bagaimana?""Pa, maaf, itu tadi tidak sengaja. Anes tersandung dan Taka menahan tubuh Anes biar tidak jatuh. Jadi, mungkin ...." Aku bingung mau melanjutkan kalimat seperti apa. Terpaksa diam saja, karena tidak punya bukti cukup untuk menghindar dari sebuah kesalahan."Papa lihat CCTV ruangan kamu!"Deg!Oh, ti
POV TakaIngatan itu hadir lagi. Aku benar-benar tak ingin menyimpannya di memoriku. Ingin kubuang jauh, agar tidak membuat bulu tangan ini meremang. Sungguh sangat tidak sopan, jika aku terus saja mengingat ketidaksengajaan yang sudah terjadi antara aku dan Non Anes.Tidak mudah memang, karena itu pengalaman pertama bagiku. Normal bagi lelaki sepertiku, tetapi menjadi tidak normal, jika aku terus mengingatnya. Bahkan di mimpiku semalam, aku memegang dadanya. Ya ampun, mimpi mengesalkan."Kenapa, Ka? Kamu gak ke hotel? Bukannya kata Anes, kamu boleh bekerja lagi di sana?" tegur Teh Arum saat melihatku uring-uringan tidak jelas di kursi plastik, depan jendela kontrakan."Mm ... i-itu, Teh. Disuruh Minggu depan saja ke sana," jawabku asal. Tidak mungkin aku menceritakan hal yang sebenarnya pada Teh Arum. Bisa-bisa dia terkena serangan jantung."Oh, begitu. Kamu udah lama kenal Anes? Cantik ya orangnya? Udah nikah belum sih?" cecar Teh Arum deng
"Aku akan menggugurkannya saja," tukasku dengan tatapan kosong."J-jangan, Non," sambung Taka dengan gugup dan wajah teramat pucat. Dia masih berdiri di depanku dengan kedua kaki gemetar. Menunduk dan sama sekali tidak berani menatap ke arahku.Kesialan yang sepertinya tidak pernah berujung dan kenapa harus aku? Aku menggigit kuku jari dengan tatapan kosong. Aku tidak tahu harus berkata apa pada kedua orang tuaku. Julian pasti membeberkan hal ini ke khalayak ramai. Bahwa anak pemilik hotel Shangrila hamil dan bukan anak suaminya. Ke mana aku harus bersembunyi?"Lalu, aku harus apa jika tidak menggugurkannya? Bayi ini tidak berdosa, tetapi kita yang membuatnya ada karena tidak memiliki pilihan. Dia tidak mungkin lahir, Ka. Tidak!""Non, saya mohon. Aborsi itu tidak baik. Selain menurut agama, dari segi kesehatan juga tidak baik untuk Non. S-sebaiknya kita pikirkan cara lain. Saya mohon, jangan menggugurkannya.""Lalu ak
Jangan ditanya bagaimana perasaan ini. Sangat kesal dan kecewa. Bisa-bisanya tekanan darahku yang tidak pernah tinggi, mendadak melonjak, sehingga niatan untuk melakukan aborsi, tidak bisa dilakukan. Aku tidak tahu harus marah kepada siapa lagi? Mungkin aku hanya bisa marah dan mengumpat diri sendiri, karena tidak antisipasi sebelumnya. Aku sama sekali tidak ingat, jika saat itu aku benar-benar baru selesai datang bulan dan masuk masa subur. Jika sudah seperti ini, maka berteriak bagai orang gila pun percuma.Mau tidak mau, aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa sekaligus bingung. Ingin kembali ke apartemen, tetapi tidak berani. Aku terlalu takut Julian datang dan kembali menggauliku dengan tidak berperasaan. Jadi keputuskan untuk kembali ke rumah Papa dan Bunda saja. Semoga mereka belum tahu keadaan sebenarnya dari Julian dan mereka juga tidak curiga padaku yang mulai pagi ini mulai morning sick.Mang Darto membukakan pagar tinggi rumahku, saat bunyi klakson dari m