Rena duduk diapit oleh Billy dan Bella. Di hadapan mereka, ayah dan ibu Billy tengah meneliti Rena. Meskipun wajah-wajah itu tersenyum ramah, Rena dapat merasakan ketegangan di antara mereka.Kakek Billy sedari tadi memberondong Rena dengan banyak pertanyaan. Mulai dari orang tua, tempat kelahiran, nilai-nilai akademis dan hal-hal umum lainnya.Mirip orang tua Dhani dulu. Bedanya, keluarga Billy tak banyak berkomentar dengan jawaban Rena. Kakek Billy pun hanya mendengar sambil mengangguk-angguk.Sementara itu, Bella tampak acuh oleh kehadiran Rena. Namun tidak dengan sang janda. Ia sedikit terganggu berdekatan dengan adik Billy itu.Ucapan dua perawat dulu tak sekedar omong kosong belaka. Dari sisi mana pun tak ada yang kurang dari penampilan Bella. Wajah kecil, hidung mancung, bibir tipis kemerahan dan kulit putih mulus. Kala berdiri, orang bisa melihat jelas tubuh semampai wanita itu."Anak ini kadang sudah diatur. Sudah lama Kakek ingin lihat dia menikah.
"Maaf, malam-malam mengganggu waktu istirahatmu.""Sama sekali nggak ganggu. Aku malah senang kamu menghubungiku lebih dulu dari orang lain.""Masuk dulu, yuk."Mereka meninggalkan lantai basement menuju apartemen Rena. Pintu lift terbuka ketika layar menunjuk lantai dua puluh lima.Sepasang kekasih yang tampak mesra masuk ke dalam ruang kecil lift itu. Rena terkejut melihat sosok yang akrab di matanya."Mas... Dhani?"Dhani yang tengah merangkul mesra seorang wanita buru-buru melepas tangan. Seolah ia baru saja kedapatan selingkuh di depan istrinya. Sejenak lupa ia telah bercerai dengan Rena."Siapa, Ren?" tanya Felix penasaran."Rena... Ngapain kamu di sini?" Dhani kembali memeluk kekasihnya dengan bangga saat tersadar."Aku tinggal di sini," jawab Rena singkat dan acuh.Rena membuang muka lalu kembali bercakap-cakap dengan Felix. Ia memasang mimik ceria ketika Felix melontarkan lelucon-leluconnya. Meskipun perasaannya campur aduk melihat ma
Sudah beberapa minggu Rena tak berjumpa dengan Bagas. Hari saat Rena kecelakaan, Ambar menggantikan pekerjaan Rena. Setelah itu, Bagas kembali ditugaskan ke luar kota. Pria itu hanya mengirim pesan singkat yang benar-benar singkat.Cepat sembuh. Hanya itu saja.Rena berulang kali menyapa dan bertanya kabar lewat pesan tapi Bagas tak menanggapi. Sang pengacara pun tak pernah mengangkat teleponnya.Rena merasa Bagas menghindarinya. Entah apa sebabnya, Rena tak bisa menemukan jawaban pasti.Dan hari ini, ia akan bertemu lagi dengan Bagas untuk urusan pekerjaan. Rena merasa sedikit gugup sekaligus canggung. "Tapi kenapa Mas Bagas bisa ikut perwakilan Volker Corp? Masa perusahaan sebesar itu nggak punya ahli hukum sendiri?""Ha? Aku kira kamu dekat dengan Bagas, Ren. Dia kan memang kerja di perusahaan inti Volker Corp, bukan anak cabang. Dia itu juga tangan kanan si breng- si Billy.""Serius? Kok kamu nggak pernah bilang, Sis?""Aku pikir kamu sudah
Bagas tak kuasa menahan tawa. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan yang mengepal. "Maaf. Aku nggak tahu kalau suami juga bisa dicuri."Roman muka Bagas berubah seketika. Ia terperangah sembari menunjuk Rena dan Dhani bergantian. "Jangan-jangan..." Rena mengangguk.Wajah Sarah merah padam. "Hati orang itu bukan barang. Mana ada dicuri! Yang ada, hati orang akan berubah karena hidup bersama dengan perempuan membosankan."Dhani memijat pelipisnya, "Sudah, Sayang. Dan kamu Rena, aku pernah bilang jangan seenaknya ngatain orang, bukan!""Siapa yang ngatain? Memang benar suamiku dulu dicuri cewek binal. Ya mana betah denganku yang biasa-biasa saja. Aku mana mau lihatin milikku ke lelaki beristri," cibir Rena."Kamu..."Dua sekuriti datang menghentikan pertengkaran mereka. "Nah, Bapak ini juga melihat rekaman tadi!" Sarah murka."Benar, saya juga melihatnya.""Panggil polisi saja, Pak! Tadi saya kasihan dengan cewek ini. Tapi dia malah menghina saya!"
Gara-gara sopir baru keluarga Volker, Rena harus memutar jauh untuk memasuki jalan yang menuju gedung pesta. Padahal sudah jelas dalam penunjuk arah, salah satu jalan menuju gedung utama, sedangkan jalan yang sekarang dilalui Rena menuju halaman depan.Untuk memutar jalan searah itu, mereka harus kembali dari semula. Dan itu akan memakan waktu cukup lama. Si sopir memohon untuk memutar tapi polisi yang mengamankan area tak mengizinkan."Aduh, bagaimana ini? Tuan Muda pasti akan langsung memecat saya!""Aku turun di sini saja. Kamu telepon Billy kalau aku yang salah mengarahkan jalan. Dia nggak akan memecatmu. Tenang lah.""Baik, Nona. Sungguh tidak apa-apa kalau saya bilang seperti itu?""Iya... Iya..."Dan sampai juga Rena di situasi yang tak menyenangkan. Rupanya para karyawan biasa yang diundang menggunakan pakaian berbeda dengan tamu di dalam."Siapa sih? Ngaco banget pakai gaun!" cibir seorang wanita.Bahkan pria yang sempat mengagumi Rena p
Rena menahan nafas mendengar lamaran Billy. Di depan orang-orang ia tak mungkin mempermalukan Tuan Muda yang dihormati itu dengan menolaknya. Akan tetapi, Rena tak bisa menerima begitu saja.Rena melirik Aurora untuk meminta pertolongan. Tapi ibu Billy itu hanya memalingkan muka. Sementara sang ayah hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.Dalam hati Rena berseru, "Angguk-angguk maksudnya aku harus jawab 'iya', begitu?! Yang benar saja! Menikah itu bukan permainan!"Suasana dalam dan luar ruangan hening menanti jawaban Rena. Ia bahkan bisa mendengar suara degub jantungnya sendiri. Sementara Billy terlihat penuh kemenangan.Pria itu sengaja mengambil kesempatan agar Rena tak bisa menolaknya. Ia sadar bahwa dirinya egois tapi mendapatkan Rena merupakan tujuan sejak lama."Aku... Ak-" Nafas Rena tercekat dalam tenggorokan."Kamu ini! Tunangan dulu barang seminggu atau dua minggu. Kalau mau melamar, kita harus membuat pesta yang lebih meriah dari ini!" Thom
Rambut coklat muda dengan gaya comma hair. Warna mata hijau zamrud dan sedikit lesung di pipi. Pria blasteran tinggi itu memamerkan senyum menawan di ambang pintu.Tiga wanita yang sedang asik berbincang tiba-tiba terdiam. Mereka mempunyai pikiran yang hampir sama saat pria itu hadir. "Apa dia seorang aktor? Tampan sekali...""Oh, ada tamu. Kita keluar dulu, Sis." Rena menarik Ambar yang masih terpukau. Jarang-jarang Ambar bereaksi seperti itu."Apa saya mengganggu?""Tidak, tidak. Ren, kamu tinggal di sini dulu. Beliau akan membuat kontrak dengan kita. Silakan masuk, Pak."Siska berbisik pada Rena, "Aku pernah bertemu dengannya tapi tetap nggak terbiasa dengan wajahnya. Kamu yang mengurus semua ya. Aku pergi dulu."Siska kabur setelah berpamitan singkat. Rena hanya bisa pasrah dan berusaha melakukan tugasnya dengan benar. Walaupun agak sulit karena ketampanan pria itu memecah konsentrasinya."Saya Joshua Gavin. Rena bisa panggil saya Joshua atau Josh. Jangan panggil saya Pak karena k
Setiap kali Billy memukul Joshua, sosok itu terbayang dalam benaknya. Wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta yang tak pernah bisa ia balas."Cukup!" suara Rena menyadarkan Billy.Kepalan tangan Billy otomatis berhenti ketika Rena meringkuk di atas kepala Joshua dengan posisi terbalik. Hal gila yang pernah Rena lakukan sepanjang hidupnya.Ia berdebar kencang. Entah karena takut Billy tetap akan melayangkan pukulan. Atau karena wajah Joshua yang hanya berjarak satu senti darinya.Dan ia bahkan bisa merasakan nafas panas pria itu. Mencium aroma mint bercampur darah dari hembusan nafasnya."Minggir." Billy menarik bagian belakang kemeja Rena. Namun Rena berusaha tetap diam di tempat. "Kamu mau membelanya?"Rena mendongak ke arah Billy sembari masih melindungi Joshua. "Kamu... Kalau nggak mau berhenti, aku juga nggak akan minggir dari sini!"Kali ini Billy bangkit lalu menyeret Rena menjauh dari Joshua. Sementara Joshua masih tertegun oleh kejadi