Rencana sudah tersusun dengan matang. Simon tahu apa yang akan dia kerjakan, Mariana tahu apa yang perlu dia bantu untuk sepupunya. Sekarang, tinggal giliranku yang menanggung konsekuensi sekaligus memastikan mereka berdua terjauh dari sorotan kamera.Sejujurnya aku ingin sekali menghubungi Laura untuk memastikan aku ‘aman’ selama berada di sekitar kampus ini. Statusnya sebagai artis di media sosial yang bernama instagram, aku yakin kru TFF ataupun Lucy dan dua putrinya mempertimbangkan aksi jahat mereka ketika aku bersama Laura. Ditambah, aku juga bisa meminta Laura untuk mengaktifkan tayangan langsung di media sosialnya yang segera ditonton oleh ratusan orang itu, supaya ‘mereka’ dapat menjaga sikap di tengah emosi yang menggelora karena aku mengacak-acak jadwal shooting acara ini. Meski hanya sementara, itu lebih dari cukup.Akan tetapi, aku tidak ingin Marvin lebih murka dari yang sudah aku perbuat sebelumnya. Aku berjanji pada Marvin untuk tidak melibatkan Laura pada masalah-masa
“Tuan Muda, kita sudah sampai.”Kesadaranku meningkat ketika ada yang menepuk pundakku. Kelopak mata terangkat perlahan. Sosok yang membangunkanku, awalnya tampak sangat buram, kini perlahan sedikit jelas.“Pak Sutradara sudah di luar mengatur stafnya. Sebaiknya Tuan Muda segera bangun.”Dari suaranya saja, aku mengenalnya sebagai William, sopir pribadi keluarga Alexander. Aku menerima julur tangannya yang sedang memegang kacamataku, lalu mengenakannya. Kini wujud Will tampak lebih jelas. “Kita sudah sampai mana?”“Genesis Pineval Hospital. Rumah sakit tempat Tuan Alexander dirawat.”Jawaban dari Will membuatku sadar sepenuhnya. Aku menoleh ke jendela, namun hanya ada deretan mobil-mobil lain di sebuah lapangan parkir yang luas. Langit yang awalnya berwarna biru tenang, kini berubah menjadi jingga, cukup untuk meyakinkanku bahwa perjalanan yang dituju dari universitas ke rumah sakit ini sangat lah jauh.Seperti sebelumnya di kampus, staf acara The Family Fame memastikan Rumah Sakit Ge
“Maaf, kami sedang proses shooting.” Ostrich bicara baik-baik. “Tolong jangan buat interaksi dulu dengan Marvin.”Hanya gara-gara Dominic menyapaku, kami harus ketinggalan lift yang berangkat naik.“Shooting apa?” tanya Dominic yang juga terdengar masih baik-baik.“The Family Fame.”Dominic mengusap dagu dengan pandangan ke atas. Setelah dia ingat, dia berkata dengan tampang polosnya, “Oh, acara sampah itu.”Aku spontan menunduk dalam sambil mengunci mulutku rapat-rapat agar tidak ada suara tawa yang keluar.“Acara sampah kau bilang?!”“Sabar, Ostrich. Sabarlah. Kita di rumah sakit.”Sepertinya pria kameramen yang sering di sampingnya berhasil menahannya. Aku tidak tahu namanya siapa. Tidak berminat untuk melihat wajah temperamen wanita bernama Ostrich itu. Jika aku melihatnya, bisa jadi akan memperburuk suasana. Sehingga, aku hanya mendengar suara gerutu wanita itu akibat terprovokasi oleh Dominic.“Hey! Ada apa ini?” Eric yang baru tiba akhirnya turun tangan.“Dia mengganggu shooti
Ding.Pintu lift terbuka di lantai empat bangunan ini. Aku dan Will tidak dapat melanjutkan obrolan karena kami tiba di lantai yang dituju. Ternyata di lantai tersebut sudah ditunggu oleh beberapa staf yang mengambil gambar kami keluar dari pintu lift.Aku menapaki koridor yang tenang di lantai tiga bangunan VIP rumah sakit, di mana aroma hangat dari kayu cedar menyambut setiap langkah. Kehangatan aroma kayu tersebut seolah menyelimuti dengan lembut, menciptakan suasana yang nyaman dan menenangkan di sekitar.Koridor ini terang benderang dengan pencahayaan yang masih terbilang lembut, memancarkan suasana yang hangat dan ramah. Di dinding sepanjang koridor, lukisan-lukisan seni yang elegan menghiasi ruangan, menambah sentuhan artistik dan keindahan. Cahaya yang terpantul dari lantai yang bersih dan berkilauan menambah kesan kemewahan dan kebersihan ruangan.Aku melihat pintu-pintu yang terletak di sisi kanan dan kiri koridor, menuju ke ruang rawat inap khusus pasien VIP. Pintu-pintu in
Tidak butuh waktu lama untuk menunggu kehadiran Lucy, Vina, dan Viona tiba. Di belakang mereka ada dua kameramen yang akan menyorot momen hari ini. Lucy hadir dengan satu parsel buah di tangan. Lucy meletakkan parsel itu di atas meja bundar yang dikelilingi oleh sofa, lalu dia mencium pipi kanan dan kiri suaminya. “Bagaimana kondisimu?” tanya Lucy. “Tidak lebih baik dari hari ini.” Mata Philip mengarah padaku, lalu menyunggingkan senyuman. “Putra kesayangan Papa akhirnya berkunjung.” “Kami juga berkunjung, Pa!” sahur Viona sambil mengacungkan telunjuk. “Kalian kan hampir setiap hari,” ucap Philip tanpa melepas senyum. “Kemari, putri-putri kecil Papa.” Dia mengangkat kedua tangan. Vina dan Viona langsung memeluknya di saat bersamaan. Tanpa sengaja aku ikut tersenyum melihat mereka berpelukan. Aku membayangkan jika diriku diberi umur panjang di kehidupan pertamaku dan sedang memeluk anak-anakku yang beranjak dewasa. Membayangkan juga jika aku sedang memeluk menantuku, atau cucuku,
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab