Tahun 1987
Indri meminta suaminya supaya cepat bergegas. Ratno mengiyakan dan segera memakai sepatu.
“Indi, mama sama papa pergi dulu ya, Sayang,” pamit Indri sambil mengecup buah hatinya yang baru berusia dua tahun.
“Hati-hati di jalan. Ini kayaknya mau hujan!” seru Pramono sambil mengambil alih cucunya dari gendongan Indri, menantunya.
“Iya, Pak. Kami cepat pulang kok. Paling bayar dan langsung pulang, Pak,” timpal Ratno dengan semangat.
“Setelah ini selesai, kita bisa melanjutkan usaha dengan maksimal tanpa sangkutan hutang,” harap Ratno penuh optimis. Pramono tersenyum lembut.
“Jangan lupa isi bensin sebelum jalan!” seru Pertiwi, ibu mereka. Ratno dan Indri mengiyakan dengan serentak.
Pramono mengiringi kepergiaan keduanya dengan penuh doa. Indri dan Ratno berniat akan membayar hutang pada Widari. Pramono sudah tidak sanggup menghadapi tekanan dari Widari. Untunglah, sete
Ketika Alden menerima tugas untuk menyampaikan pada Indira mengenai rahasia kelam Widari, ia tidak mampu menolaknya.Pagi itu, ia sibuk menghindari Indira untuk mencari cara supaya tidak menuntaskan tugasnya.“Kamu sengaja ya?” tanya Shana pada Alden. Pemuda itu mengerutkan kening dan pura-pura tidak mengerti.“Maksudmu?”“Jangan pura-pura deh. Basi!” cibir Shana. Alden memilih untuk tidak menanggapi.“Kasihan Indira, Al. kamu mau menunda sampai kapan?” tanya Shana berubah melunak.Ada helaan napas yang terdengar begitu berat.“Aku nunggu waktu yang tepat aja,” sahut Alden sekenanya. Ada decak kesal pada wanita itu.“Kamu mau aku yang menyampaikan? Kan nggak lucu!”“Aku bilang nunggu waktu yang tepat, Shan.”“Udah ah, ngeles melulu.”Shana meninggalkan Alden dengan hati jengkel.***Narti akhirnya k
Siwi tidak lagi sanggup tinggal di Jakarta. Hingga pada detik terakhir ia kembali ke Salatiga, wanita itu memilih untuk tidak menyapa kedua orang tuanya. Siwi menyerahkan pada Keenan untuk merampungkan urusan eyangnya selanjutnya. Di sisi lain. Keenan mendesak ayahnya untuk menempuh jalur hukum. Tapi Seto masih tidak menyetujui. Alasannya, ibunya terlalu tua untuk berada dalam penjara.“Ya! Tapi tidak memikirkan Indira yang masih balita dulu, terlalu kecil untuk menjadi yatim piatu!” cecar Keenan sadis dan tanpa ampun.“Oh Tuhan, berhentilah menyalahkan papa, Keen,” pinta ibunya dengan sedih.“Terus menyalahkan siapa?!” tanya Keenan makin geram. “Kenyataannya, papa tahu dan malah turut menutupi serta membungkam fakta tersebut!” cecar Keenan lagi.“Eyang tidak mungkin kita tuntut dengan kondisinya yang sudah berusia tujuh puluh tahun, Keen,” timpal Vero meminta anaknya untuk mengendurkan tuntutan.
Udara pagi sangat dingin dan kabut tipis melayang di daerah Salatiga yang telah terguyur air sejak pagi. Alden masih termenung di dalam kamarnya. Sudah tiga bulan Indira pergi, ia tidak bisa tidur lelap sedikit pun.Kasus Widari ia tinggalkan dan lagi peduli akan semua urusan rumit. Baginya saat ini mencari cara bagaimana dia bisa melacak jejak Indira. Proyek yang sedang ia kerjakan dengan Shana dan Siwi pun menjadi terbengkalai. Hidupnya menjadi kacau.Setiap hari hanya keluyuran tanpa arah yang jelas. Alden seperti burung yang sayapnya telah patah, tak mampu terbang kembali.Tangannya menyambar kaos dan turun dari tempat tidur, dengan bertelanjang kaki menuju ke dapur. Harum aroma kopi menyeruak hidung. Siwi mengangsurkan gelas berisi kopi padanya. Keenan sudah menikmati kopi, gelas yang kedua.“Nggak bisa tidur lagi?” tanya Siwi. Alden menyesap kopi dan kesegaran aroma juga rasanya membuat nyaman dan juga bersemangat.“Aku tidu
Semua persiapan selama dua minggu, kini menuju hari yang mereka Tunggu. Indira sudah memastikan masing-masing berjalan dengan lancar. Dayu yang mendapat bagian pengatur acara mereka terlihat sangat repot. Sedangkan Indira duduk manis menyiapkan diri untuk mendampingi modelnya pada penampilan terakhir nanti. Kali ini, Lila memberi kesempatan pada Indira untuk tampil.“Jangan grogi, tetap senyum dan lambaikan tangan dengan elegan,” pesan Lila pada Indira. Gadis itu mengangguk dengan kikuk. Dia tidak terbiasa tampil. Namun karena tuntutan Lila, terpaksa ia mengiyakan permintaan tersebut.“Kamu desainer baju tersebut. Nggak lucu kalo kau yang tampil dan mengambil porsi panggungmu,” cetus Lila memberi alasan.Khusus hari pertama, butik mereka mendapat kesempatan untuk tampil selama dua jam penuh. Lila berhasil meyakinkan pihak panitia untuk memegang peluang ekslusif pada fashion week kali ini.Satu persatu model melenggang di catwalk de
“Aku nggak membuka sesi tanya jawab dan informasi mengenai kami,” sambar Indira saat kembali pada Lila dan Dayu. Keduanya yang siap membuka mulut, seketika menutup kembali dengan wajah kesal.“Kenapa nggak cerita sih tentang kedekatan kamu sama mereka? Harusnya kamu kan bangga jadi gadis pujaan dua cowok ganteng yang digandrungi seluruh perempuan Indonesia,” cetus Dayu. Indira duduk di sebelah Lila dengan menggelengkan kepala.“Tidak ada yang perlu dibanggain kali. Aku hanya bersahabat dengan mereka aja kok,” sanggah Indira masih merendah.“Kata Dania, kamu malahan sempat pacarana sama Keenan. Masih mau ngeles?” tuntut Dayu. Indira segera menoleh ke arah Dania yang kini tersenyum kikuk dan segan.“Itu dulu, waktu masih kecil,” jawab Indira melirik tajam pada si biang gossip.‘Dasar perempuan sok tahu,” batin Indira geram.“Astaga? Tiga tahun lalu itu bukan kecil la
Semua berjalan dengan baik setelah pertemuan mereka di Bali. Alden lebih sering menyempatkan diri untuk mengunjungi Indira. Keenan masih belum memiliki keberanian untuk menjumpai gadis tersebut. Ia masih merasa bersalah atas tindakan Widari di masa lalu.“Pergilah dan temui dia, Keen. Indira sudah melupakan semuanya,” saran Alden dengan sungguh-sungguh dan tulus.“Aku juga mau ketemu sama Indira. Sekalian mau pesan salah satu desain Bajunya yang sekarang lagi ngetrend,” sambut Shana dengan antusias.“Kalian bisa pergi berlibur kok. Aku akan handle sini sementara kalian cuti,” ucap Siwi dengan dukungan penuh.“Terus kopiku?” tanya Keenan masih mencari alasan untuk menghindar.“Ada Fatar. Semua pasti aman,” bantah Siwi lagi.“Akhir pekan ini kita jalan ya?” ajak Shana gembira.“Ok. Sounds good!” tanggap Alden. Keenan hanya termangu dengan gelisah.
Pertemuan mereka dengan Indira sangat mengubah semua suasana hati Alden dan Keenan. Termasuk Shana. Ia lebih mengenal sosok Indira yang selama ini tidak pernah ia ketahui mirip sekali dengan kisah pribadinya.Shana banyak menemukan kemiripan sifat dan karakter, walau tidak secara keseluruhan. Indira lebih menempuh jalan untuk tetap menjaga hati supaya tidak tenggelam dalam kegetiran. Sementara Shana memilih langkah menempatkan diri dalam posisi menjadi tangguh serta tegar. Kekecewaannya pada hidup membentuk benteng yang kokoh pada dirinya untuk tidak mudah terlena. Ia selalu memastikan memegang kendali penuh atas segala sesuatu.“Besok kami akan kembali ke Salatiga. Seringlah berkunjung dan nengokin Griya Busana,” ujar Shana pada Indira. Gadis itu mengangguk dengan senyum.“Gimana kabar Griya Busana sekarang, Mbak?”“Syukurlah lebih baik. Sempat terseok waktu kamu pergi,” sahut Shana.“Maaf ya, Mbak. Aku pe
Siwi berusaha menetralkan situasi yang saat ini masih memanas. Tapi sayangnya, Alden masih terlalu kecewa untuk kembali bersikap seperti semula.Dengan inisiatif yang tinggi, Siwi memiliki ide untuk mengajak Alden menjauh dari Keean dan Shana untuk sementara.“Kamu inget Yayasan yang kita pernah kunjungi?” tanya Siwi. Alden mengangguk dengan malas dan tanpa minat.“Mereka akan merayakan ulang tahun yang ke sepuluh. Aku berencana akan datang sekalian mau nengokin mama sama papa,” papar Siwi.“Kamu mau ikut?” ajaknya pada Alden.“Bolehlah, daripada sumpek,” balas Alden dengan tidak bersemangat. Siwi tersenyum. Rencananya berhasil. Ia akan mengubah cara pandang Alden sepenuhnya kali ini.***Sementara itu Keenan, sepeninggal Alden dan Siwi ke Jakarta, mengajak Shana untuk makan malam. Dengan enggan, Shana mengiyakan. Sepanjang jalan keduanya bungkam. Tidak ada sepatah kata yang terucap.