Di sebuah kerajaan besar terletak di sebelah selatan pegunungan Sanggabuana, terjadi sebuah konflik berkecamuk. Kala itu, istana kerajaan tersebut digemparkan dengan sebuah kudeta yang dilakukan oleh seorang petinggi istana terhadap raja yang berkuasa kala itu.
Senapati Rawinta sudah menghimpun kekuatan selama bertahun-tahun mempengaruhi para prajurit dan para petinggi istana untuk melakukan kudeta terhadap Prabu Sanjaya yang merupakan penguasa resmi kerajaan Kuta Tandingan.
Peristiwa tersebut, menjadi sebuah sejarah yang sangat kelam bagi rakyat di kerajaan tersebut. Sang Raja yang mereka kagumi yang terkenal dengan kebaikan dan kebijaksanaannya terhadap rakyat, harus tewas di tangan sang senapatinya sendiri yang sudah melakukan pengkhianatan.
"Tangkap Prabu Sanjaya dan seret keluar!" seru seorang pria berperawakan tinggi dan bertubuh kekar mengarah kepada para prajurit.
Pria tersebut adalah Sugriwa, seorang prajurit senior di kerajaan tersebut yang secara terang-terangan ikut membelot dan mengkhianati kepercayaan Prabu Sanjaya sebagai penguasa kerajaannya tersebut.
"Sugriwa!" teriak Senapati Rawinta.
"Iya, Gusti Senapati," sahut Sugriwa langsung melangkah menghampiri sang senapati.
"Cari Pangeran Erlangga. Bersama selir-selir sang raja!" titah Senapati Rawinta.
"Baik, Gusti Senapati," jawab Sugriwa bergegas melaksanakan tugas tersebut.
Hampir 70 persen Senapati Rawinta dan wadiya balad yang tunduk kepadanya sudah berhasil menguasai istana tersebut.
Kemudian, Senapati Rawinta memerintahkan beberapa prajurit yang memihak kepadanya agar segera membunuh semua prajurit yang tidak patuh dan masih setia terhadap raja.
"Kumpulkan mereka dan tebas batang leher mereka! Jika bersikeras tidak mau memihak kepada kita!" titah Senapati Rawinta.
Di halaman istana tampak seorang pria paruh baya dengan mengenakan jubah dan mahkota kebesaran sebagai seorang raja, berdiri dengan tubuh menempel ke sebuah batang kayu dengan terbelit ikatan tali yang melingkar di perutnya.
Tampak darah segar mengalir di keningnya hampir menutupi semua bagian wajah pria paruh baya itu. Tubuhnya tampak lemah, seakan-akan sendi-sendi dalam tubuhnya sudah rapuh akibat siksaan dari para prajuritnya sendiri yang sudah berkhianat.
"Ayahanda!" teriak seorang anak kecil duduk di atas batang pohon besar yang rimbun dengan dedaunan.
Anak kecil itu adalah Pangeran Erlangga, dia berhasil lolos dari kepungan para prajurit yang sudah berkhianat.
"Diam, Pangeran! Mereka akan menangkap kita kalau mengetahui keberadaan kita di sini," bisik Landuji mendekap erat tubuh sang pangeran. "Gusti prabu tidak akan bisa tertolong, Pangeran harus tabah dan kuat!" sambung Landuji menasihati.
"Lantas kalau kita diam, siapa yang akan menolong Ayahanda?"
"Aku harap, Pangeran turuti perkataanku! Jika Pangeran nekat turun, kelak yang akan membalaskan dendam ayahandamu siapa?" tutur sang prajurit setia itu, terus memberikan nasihat dan berusaha menguatkan Pangeran Erlangga.
Kekejaman itu, tidak berhenti sampai di situ saja. Senapati Rawinta mengeksekusi para selir sang raja yang sudah berhasil ditangkap, dan juga langsung menggantung sang ratu di halaman istana kerajaan tersebut, dengan disaksikan oleh Erlangga dan Landuji yang bersembunyi di balik batang pohon besar yang tumbuh di dekat tembok istana.
Terasa pilu, sedih, dan emosi. Perasaan itu terus berkecamuk dalam jiwa Erlangga kala itu. Ia tak kuasa melihat kekejaman dari Senapati Rawinta terhadap ibunya dan para selir ayahandanya itu.
"Kejam sekali, Paman Senapati Rawinta," desis Erlangga meluruskan pandangannya ke arah Senapati Rawinta.
"Harus kalian ketahui, mulai hari ini raja kalian adalah aku!" teriak Senapati Rawinta mendaulat dirinya menjadi seorang raja di hadapan para prajurit yang tunduk kepadanya.
"Aku percaya, kelak putraku akan membunuhmu dan akan membuatmu menderita, Senapati!" teriak Prabu Sanjaya masih dalam posisi tubuh terikat di sebatang kayu yang tertancap ke tanah.
Lemah dan tidak berdaya, untuk bergerak pun ia sangat kesulitan. Tali yang melingkar di perutnya terlalu kuat mengikat tubuhnya. Sehingga, sang raja sangat kesulitan untuk melepaskan diri.
Sebatang kayu itu, biasa dijadikan tiang khusus untuk mengeksekusi para pelanggar hukum di kerajaan itu.
"Ayahanda tidak boleh mati, Paman," kata Erlangga. "Aku harus turun untuk menyelamatkan ayahanda," sambungnya sambil berurai air mata.
"Pangeran masih kecil, Pangeran tidak akan sanggup melawan mereka. Aku harap Pangeran turuti apa kataku, kelak aku akan mengajarkan Pangeran ilmu kanuragan, agar Pangeran dapat melakukan balas dendam terhadap Senapati Rawinta dan para pengikutnya!"
Erlangga terdiam menyimak perkataan Landuji. Ia hanya menangis menyaksikan penderitaan yang dialami kedua orang tuanya. Tak hanya membunuh sang ratu saja, Senapati Rawinta pun akhirnya membunuh Prabu Sanjaya dengan cara sangat kejam, menggantungnya kemudian membakar tubuh Prabu Sanjaya dengan kobaran api.
Landuji terus mendekap tubuh sang pangeran. Di saat para pendukung Senapati Rawinta tengah merayakan kemenangan, Landuji memanfaatkan kelengahan mereka, perlahan ia turun dari pohon tersebut dengan menggendong tubuh sang pangeran yang kala itu masih berusia 7 tahun. Landuji langsung membawa lari Pangeran Erlangga.
"Kita tidak boleh lari, Paman. Kita harus menolong mereka yang masih hidup!" Erlangga berontak mencoba melepaskan diri dari dekapan sang pengawal setianya itu.
Namun, Landuji tidak mengindahkan teriakan Erlangga, ia terus berlari menuju ke tengah hutan mencari sebuah tempat untuk dijadikan perlindungan.
Singkat cerita ....
Landuji dan Erlangga sudah tinggal di sebuah gubuk di dekat lembah yang ada di tengah hutan. Setiap harinya, Landuji banyak mengajarkan ilmu bela diri kepada Erlangga. Ia berharap kelak Erlangga akan menjadi seorang pendekar yang tangguh yang dapat melawan kezaliman dan menumpas keangkaramurkaan.
"Paman sudah tua, Paman harap kamu kelak mendatangi sebuah padepokan untuk mengasah ilmu kanuraganmu agar lebih mumpuni lagi!" kata Landuji di sela perbincangannya dengan Erlangga.
"Maksud, Paman?" tanya Erlangga menatap wajah Landuji penuh rasa penasaran.
"Kamu temui Ki Bayu Seta di Padepokan Kumbang Hitam, dan bawa pedang ini sebagai senjata untuk berjaga diri. Ingat, bukan untuk membunuh tanpa sebab!"
Landuji menyerahkan sebilah pedang yang tersimpan dalam selongsongnya. Pedang tersebut ia dapatkan dari kamar Prabu Sanjaya ketika pemberontakan berkecamuk di istana, Landuji hanya bisa menyelamatkan Pangeran Erlangga dan pedang tersebut saja.
"Bukankah ini pedang ayahandaku?"
"Iya, Pangeran. Paman sengaja mengambilnya, karena menurut Paman ini adalah senjata penting untuk dirimu," jawab Landuji.
***
Beberapa bulan setelah itu, Landuji jatuh sakit. Semaksimal mungkin, Erlangga berusaha mengobati ayah angkatnya itu. Namun, Dewata berkata lain. Landuji sudah waktunya meninggalkan Erlangga untuk menghadap Dewata agung di alam Nirwana.
Ia mengembuskan napas terakhir dalam pangkuan Erlangga. Namun, sebelum ia meninggal. Landuji berpesan kepada Erlangga.
"Berikan kedamaian untuk rakyat, dan kelak kau akan menjadi raja seperti ayahandamu!" Demikianlah pesan terakhir Landuji untuk Erlangga.
Setelah kematian Landuji, Pangeran Erlangga mulai berkelana untuk mencari seorang guru yang linuih yang mempunyai kesaktian tinggi sesuai saran Mendiang Landuji.
Landuji semasa hidupnya pernah menyarankan kepada Pangeran Erlangga untuk mendatangi Padepokan Kumbang Hitam yang ada di sebuah bukit di bawah kaki Gunung Sanggabuana.
"Aku harus tiba di Padepokan Kumbang Hitam hari ini," desis Erlangga lirih, sembari mengangkat wajah ke arah puncak bukit tersebut.
Ia sangat berharap bisa sampai di atas bukit tersebut. Meski harus melewati jurang dan menaiki tebing yang sangat tinggi dan terdapat banyak rintangan yang akan menghadangnya.
"Untuk sampai ke Padepokan Kumbang Hitam, aku harus naik ke bukit itu," desisnya lagi meluruskan pandangan ke arah bukit yang ada di hadapannya.
Kemudian ia melangkahkan kedua kakinya menyusuri jalan setapak, dari bagian samping kiri dan kanan jalan tersebut banyak ditumbuhi tanaman liar yang tumbuh secara subur yang sebagian dahannya menjulur ke tengah jalan, sehingga sedikit menutupi jalanan tersebut.
Baru beberapa langkah saja, Erlangga sudah dikejutkan oleh teriakan seorang pria dari arah belakang.
"Tunggu, Anak muda!"
Erlangga menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah belakang. "Kau siapa, Ki Sanak?" tanya Erlangga.
Ia tampak penasaran terus menatap wajah seorang pendekar yang berdiri tegak sambil bertulak pinggang dengan gagahnya.
Pendekar tersebut tampak angkuh dan bersikap sombong di hadapan Erlangga.
"Ternyata Andika masih anak ingusan yang masih bau kencur!" hardik pendekar berjanggut tebal itu. "Seharusnya aku yang bertanya kepadamu," sambungnya membusungkan dada dan membuang ludah di hadapan Erlangga.
"Baiklah kalau itu keinginanmu, silakan!" Erlangga berusaha untuk mengalah dan tidak mau meladeni keangkuhan pendekar itu.
"Tujuanmu hendak ke mana? Kenapa kau berada di tempat ini?" tanya pendekar itu sembari berdiri tegak dengan sorot mata tajam memandang wajah Erlangga.
"Mohon maaf sebelumnya, Ki Sanak. Aku Erlangga, aku jauh dari alas Cidoro sengaja datang ke sini karena aku ingin berjumpa dengan Ki Bayu Seta," jawab Erlangga bersikap ramah dan sopan.
Erlangga tidak membalas semua keangkuhan yang ditunjukkan oleh pendekar tersebut, ia tetap bersikap ramah dan tetap menunjukkan sikap sebagaimana mestinya.
Pendekar itu tertawa lepas. Seakan-akan merasa lucu mendengar ucapan Erlangga. Namun, Erlangga tetap bersikap tenang dan tidak terpancing emosi.
Berkatalah pendekar itu dengan perkataan yang sedikit menyinggung perasaan Erlangga, "Andika tidak akan pernah bisa naik ke sana tanpa seizinku. Bertarunglah denganku!"
Namun, Erlangga tidak mengindahkan perkataan pendekar sombong tersebut, ia hanya diam dan tersenyum ramah. Namun hal itu, disalah artikan oleh pendekar itu. Ia beranggapan diamnya Erlangga itu sebagai tanda menyepelekannya, hingga amarahnya semakin memuncak dan langsung melakukan serangan terhadap Erlangga.
"Bedebah, kau sudah menyepelekan aku! Rasakan ini!" Pendekar itu mulai melancarkan pukulan ke arah wajah Erlangga.
Dengan sigap Erlangga dapat menghindari pukulan tersebut, sehingga tubuh pendekar sombong itu tersungkur akibat terbawa tenaganya sendiri, yang melakukan serangan tidak tepat mengenai sasaran.
"Aku harap Ki Sanak jangan melanjutkan pertarungan ini!" cegah Erlangga bersikap santai. "Kedatanganku ke sini bukan untuk mencari musuh," sambungnya menegaskan.
Namun, pendekar setengah tersebut tetap bersikap sombong dan terus melancarkan serangan kepada Erlangga. Hingga pada akhirnya Erlangga mulai terpancing dan langsung melakukan perlawanan.
Hanya dengan satu pukulan balasan dari Erlangga, pendekar sombong itu sudah terjatuh bermuntahkan darah.
"Maafkan aku, Ki Sanak!" ucap Erlangga melangkah ke arah pendekar tersebut, lalu membantunya untuk bangkit.
'Ternyata aku salah menduga, dia orang baik,' kata pendekar itu dalam hati. Ia tampak menyesali semua tindakannya terhadap Erlangga.
"Maafkan aku, Anak muda. Silakan lanjutkan perjalananmu!" ucapnya sambil meringis kesakitan.
"Tidak, Ki Sanak. Sebelum berangkat aku harus mengobati lukamu dulu!" jawab Erlangga.
Erlangga pamit kepada pendekar itu untuk mencari air dan dedaunan yang bisa dijadikan obat. "Ki Sanak tetap di sini. Aku mau mencari air dan obat-obatan!" kata Erlangga.
Erlangga melangkah menuju ke arah sumber air yang banyak ditumbuhi tanaman obat untuk mengobati luka dalam yang diderita oleh pendekar yang sudah berusaha mencelakainya.
Dengan sikap baik yang ditunjukkan oleh Erlangga, pendekar berjanggut tebal itu merasa takjub dan kagum terhadap Erlangga.
"Dari gaya bicara dan tutur sapanya, pemuda itu seperti berasal dari keluarga bangsawan?" desis pendekar itu bersandar di sebuah pohon besar.
Tidak lama kemudian, Erlangga sudah kembali dengan membawa air dan juga dedaunan yang hendak ia jadikan obat.
"Mohon maaf, Ki Sanak. Aku terlalu lama meninggalkanmu," kata Erlangga langsung duduk di samping pendekar tersebut.
Kemudian Erlangga memberikan air minum kepada pendekar tersebut, dan ia pun langsung mengobati luka memar yang di derita pendekar itu dengan menggunakan dedaunan yang sudah ia haluskan.
"Aku minta maaf karena sudah melukaimu, Ki Sanak," ucap Erlangga tampak menyesali perbuatannya yang sudah mendaratkan pukulan keras kepada pendekar itu.
Tidak ada tabib mana pun yang bisa mengobati luka dalam akibat pukulan tersebut, hanya pemilik pukulan itulah yang mampu mengobatinya. Sehingga menjadi alasan untuk Erlangga tidak meninggalkan pendekar tersebut dalam kondisi seperti itu.
Pendekar itu tersenyum dan bangkit, ia menatap tajam wajah Erlangga sembari mengulurkan tangannya.
"Namaku Anggadita," kata pendekar itu memperkenalkan diri kepada Erlangga.
Erlangga langsung meraih uluran tangan Anggadita. "Aku Erlangga."
Erlangga tampak semringah karena mempunyai kawan baru saat itu.
Ia berharap Anggadita tidak mengulangi perbuatan jahatnya kepada orang lain.
Kedua pendekar berbeda usia itu terus berbincang dan bercerita tentang niat dan maksud mereka berada di tempat tersebut, Anggadita pun bercerita kepada Erlangga bahwa dirinya sudah hampir 31 hari berusaha untuk mendatangi Padepokan Kumbang Hitam. Namun, usahanya selalu gagal karena dalam perjalanan selalu dihadang oleh sekelompok makhluk gaib penguasa alas tersebut. Hingga pada akhirnya ia menyerah dan merasa prustasi dan berusaha menghalangi setiap orang yang hendak mengunjungi Padepokan Kumbang Hitam.
"Hari ini aku tidak akan melanjutkan perjalananku," kata Erlangga lirih.
Anggadita bangkit sembari terus memegangi dadanya dan masih tampak meringis kesakitan.
"Kenapa?" tanya Anggadita meluruskan pandangan ke wajah Erlangga.
Erlangga tersenyum dan menoleh ke arah pendekar berjanggut tebal itu. "Aku diajarkan oleh ayahku, untuk selalu menolong orang yang sedang kesusahan," ujar Erlangga. Anggadita tampak kagum dengan budi pekerti yang ditunjukkan oleh pendekar muda itu. Anggadita tersenyum dan langsung memeluk tubuh Erlangga seraya berkata lirih,"Hari ini, aku sudah menemukan pendekar muda sejati," desisnya. Setelah itu, Anggadita langsung mengajak Erlangga untuk singgah di gubuknya, sebelum Erlangga melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam yang ada di puncak bukit tersebut. "Di hutan ini aku sudah membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat tinggalku. Sebaiknya kau ikut denganku!" Dengan senang hati, Erlangga pun mengikuti ajakan pendekar setengah baya itu. "Baiklah, aku akan beristirahat sejenak di gubukmu," kata Erlangga ambil tersenyum lebar. Erlangga langsung membantu Anggadita bangkit. Setelah itu, mereka langsung melangkah ke arah selatan dari tempat tersebut, menuju ke sebuah gubu
Anggadita menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan Erlangga, "Aku tahu dari pedang pusakamu, Pangeran." 'Siapa sebenarnya Anggadita ini? Mengapa dia mengetahui pedangku?' batin Erlangga bertanya-tanya. "Tak ada orang lain yang bisa memiliki pedang itu, kecuali orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan sang raja," tandas Anggadita melanjutkan perkataannya. "Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga tersenyum lebar menatap wajah Anggadita. "Baiklah, Pangeran." Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan Erlangga bahwa dirinya memang seorang putra mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang dia duga sebelumnya. Setelah itu, mereka langsung melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu. Sepanjang perjalanan, Anggadita s
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut. Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan. Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut. “Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru. Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut. Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggap
Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan
Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar
Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er
Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake
Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil