“Aku sudah merekam tangki itu. Lalu apa lagi yang harus kita lakukan?” tanya Amelia sambil mematikan kamera ponsel dan meletaknya di depan.“Kita cepat kembali ke perusahaaan. Hubert pasti sudah memberitahu Rose mengenai kedatangan kita ke pabrik,” jawab Levon sambil memutar mobil dan melajukan dengan cepat menuju perusahaan.“Lalu?” tanya Amelia sambil mencengkeram jok mobil. Levon lebih gila dari seorang pembalap, ia semakin mempercepat laju mobilnya.“Rose, urusanku. Dan jika dia bertanya padamu, jawab dengan santai. Jawablah kau mengajakku karena aku supervisor kebersihan yang baru. Jadi perlu untuk berkoordinasi dengan supervisor kebersihan pabrik.”“Lalu, rekaman ini?”“Simpan rekaman itu di laptopmu dengan baik. Kita keluarkan rekaman itu pada waktu yang tepat.”“O-okeee baiklah,” kata Amelia setengah berteriak saat Levon menyalip truk panj
Amelia tersenyum miring mendengar Levon memuji wanita iblis itu, “Jujur aku tidak setuju kau menikah dengannya.” Levon tidak menjawab, ia lebih memilih mengangkat telepon Rose. “Ya, Rose?” “Ada dimana?” tanya Rose dengan suara lembut. “Ada di ruanganku, kenapa?” jawab Levon melembutkan suara, tetapi sebenarnya ia ingin tertawa menatap Amelia. Sepupunya itu berpura-pura ingin muntah mendengar suara lembutnya pada Rose. “Bisakah kau ke ruanganku? Aku sangat merindukanmu,” kata Rose dengan suara memelas. “Baiklah, tunggu. Raja akan menemui Sang Ratu,” jawab Levon sambil menahan tawa karena melihat tingkah Amelia yang mengejek dirinya dengan menjelek-jelekkan wajah. Levon memutus sambungan telepon, tawanya langsung lepas begitu saja. “Pergilah, nanti wanitamu marah,” sindir Amelia. Levon tidak menjawab, ia justru meneruskan tawanya. Lalu, ia melihat ke arah Pulisic yang melangkah menghampiri dirinya. “Tuan, saya sudah
Levon melihat tatapan Rose tidak ada kebohongan sedikitpun, “Sekarang?” “Iya, sekarang!” Rose menjawab dengan tegas. Tatapannya semakin tajam mempertahan kontak mata dengan Levon. “Tidak mungkin, belum ada persiapan. Bagaimana kalau—” Levon menggantung kalimatnya. Ia memikirkan penawaran hari pernikahan pada Rose. “Dua hari lagi.” Tatapan Rose mengisyaratkan bahwa Levon harus menerima usulannya. “Baiklah. Dua hari lagi,” cetus Levon menatap lembut Rose, tetapi hatinya bertanya-tanya. Mengapa Rose mempercepat pernikahan mereka? Apakah ia sedang merencanakan hal buruk pada Amelia? Rose mencium pipi Levon, “Terima kasih.” “Emmm baiklah, aku mau kembali lagi ke ruanganku. Aku takut Tuan Pulisic melihatku ke ruanganmu disaat jam kerja. Nanti dia bisa mengaum. Haaauuungggg” kata Levon dengan kedua tangan mencakar-cakar angin dan menirukan suara macan. “Hahahahaha ya, ya, kau benar juga. Cepatlah kembali,” respon Amelia. S
“Orang-orang suruhan kita juga menjadi tersangka karena dianggap membantu Ethan untuk membunuh orang itu,” jawab Pulisic kaku. “Apakah polisi mengenali wajah-wajah orang suruhan kita?” tanya Levon sambil berdiri dan menatap pulisic. “Tidak, Tuan. Untung orang-orang suruhan kita memakai topeng,” jelas Pulisic. “Itulah sebabnya aku menyuruh mereka memakai topeng,” ungkap Levon dengan tatapan tajam, tetapi di detik berikut bibirnya mengulas senyum licik. “Karena Rose pasti merencanakan semua ini.” “Lalu? Ethan?” tanya Levon lagi sambil merapikan dokumen di atas meja. “Dia sudah ada di penjara, Tuan. Pasti sekarang dia lebih merasa aman berada disana dari kejaran Rose,” jawab Pulisic. Levon menoleh ke arah Pulisic lagi dengan tatapan tajam, “Justru Rose menginginkan Ethan dipenjara agar dia lebih leluasa menyiksanya. Polisi akan meremukkan tulang-tulang Ethan setiap hari. Bukankah itu lebih menyakitkan dari kematian?” “Rose b
Sebelum Rose melihat nama Nona Amelia yang terpampang di layar ponsel, Levon langsung mengangkatnya.“Ya? ... Kau tenang saja, besok kakak kirim uangnya ... Ya sudah dulu, nanti kakak telepon kembali.” Levon bicara asal dan berharap Amelia mengerti posisinya. Lalu, ia memutus sambungan telepon dan meletakkan ponselnya kembali di saku baju.“Adikmu?” tanya Rose.“Iya adikku. Dia meminta kiriman uang untuk biaya kuliahnya,” jawab Levon tersenyum menatap Rose. Dan berharap calon istrinya tidak curiga.“Mengapa kau mematikan teleponnya? Padahal aku ingin bicara dengannya,” protes Rose.“Karena aku tidak ingin ada yang mengganggu kebersamaan kita,” jawab Levon sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Rose dengan tatapan menggoda.“Benarkah?” tanya Rose manja.“Iya,” jawab Levon dengan menaik-turunkan alisnya.“Hem kalau begitu aku minta nom
“Mengapa kau masih dendam padaku, James?” tanya Levon dengan memasang wajah sedih, dan itu membuat James berdiri dan menunjukkan wajah penuh dendam.“Diam kau, Sampah. Jika kau ingin aku tidak mempunyai dendam lagi padamu, maka lawanlah aku. Dan jangan berteriak seperti anak kecil!” tantang James dengan tatapan semringah. Ia yakin jika berduel satu lawan satu pasti bisa mengalahkan Levon.Levon terdiam dan tampak ragu untuk membuka mulut, membuat James tertawa renyah. Wajahnya semakin tampak semringah.“Sudah kuduga, kau pasti takut melawanku. Jadi jangan salahkan aku, jika aku masih dendam padamu. Aku akan terus berusaha mencelakaimu,” sindir James dengan tatapan menghina pada Levon.Levon masih terdiam, tetapi bibirnya sekilas tersenyum miring, “Hem sepertinya aku harus memberimu pelajaran agar kau tidak terus menggangguku,” batin Levon dengan tetap mempertahankan wajah sedih.“Hahaha ... Meng
“Apa yang kau akan lakukan padaku, Sampah?” teriak James sambil tetap beringsut dengan keringat dingin.Levon menjawab dengan mendaratkan pukulan keras ke kepala James bagian pelipis, membuat dirinya langsung pingsan seketika bersamaan dengan terbukanya pintu rumah.“Hai cantik. Kau sudah datang,” sapa Levon sambil menghembus napas lega karena James pingsan tepat waktu.Sementara itu Amelia terbelalak karena terkejut melihat James sudah terkapar dengan wajah lebam dan mulut berlumuran darah.“Apa yang terjadi? Aku barusan mendengar teriakan,” kata Amelia mematung di depan pintu.“Sedikit bersenang-senang,” jawab Levon dengan santai sambil melihat James.“Bukankah dia karyawan—”“Mantan karyawan cleaning service,” sela cepat Levon sambil melangkah mendekati Amelia, “Nanti aku ceritakan,” kata Levon lagi dengan tatapan mengisyaratkan mengajak
Amelia dan Pulisic terkesiap dengan mulut menganga.“Sungguh?” tanya Amelia dengan melengkingkan suara dan senyuman merekah.Levon tersenyum miring, menjaga nada bicaranya tetap terkesan bercanda, “Cepatlah, Amel. Malam ini kita akan bersenang-senang.”Saat Levon sampai di balkon lantai dua, ia berhenti dan melihat ke bawah. “Amel, kita akan menyamar. Kita datang ke sana sebagai pengemis.”Amelia mengangguk dan melebarkan senyuman, sedangkan Levon mengalihkan pandangan ke arah Pulisic.“Pulisic?” panggil Levon, dan seketika Pulisic mendongak dan menoleh ke arah Sang Tuan.“Ya, Tuan?”“Aku ingin semua keluarga setinganku ada disini besok pagi sebelum aku berangkat kerja!” titah Levon begitu dingin dengan tatapan serius.“Baik, Tuan.”“Mengapa kau memanggil mereka?” tanya Amelia penasaran, tapi di detik berikutnya ia