“Maaf Mami aku butuh menenangkan diri, aku tidak tahu sudah sampai mana. Semuanya yang mengurus Gaza, mami lihat sendiri bagaimana parahnya kondisi aku. Sampai saat ini aku belum bisa tidur terlentang karena lukanya memang separah itu.” Natasya menunduk memijat keningnya dengan menyandarkan sebelah bahu pada kepala ranjang besar milik Gaza.“Aku paham, nanti aku tanyakan sama Gaza Mi.” Usai mengakhiri panggilan dari mami Grace, Natasya menonaktifkan kembali ponselnya. Menenggelamkan wajah pada bantal putih, Natasya menelungkup. Punggungnya sungguh belum bisa untuk tidur terlentang karena masih terasa sakit dan perih. Emosinya seketika menanjak karena permintaan Mami untuk mencabut tuntutannya pada tersangka yang sedang di ICU sampai saat ini. Natasya tidak habis pikir, apakah Mami sudah tidak memiliki hati nurani. Ia baru saja mengalami penyiksaan yang sangat membuat mentalnya down. Dengan tidak berperasaannya Mami justru meminta hal yang tidak akan pernah ia lakukan. Dari sekia
“Apa aku harus membalas perasaan kamu karena kamu sudah menolong dan menyukai aku Ga?” Natasya bertanya dengan kepala masih bersandar pada bahu bidang Gaza.“Tentu saja enggak, masalah perasaan aku adalah urusan aku. Kamu tidak ada tanggung jawab apapun untuk membalasnya. Aku hanya minta kamu berhenti Diwang, bukan meminta kamu juga memiliki perasaan yang sama.”“Aku bisa berhenti minum, tapi tidak bisa berhenti merokok Ga,” kilah Natasya.Gaza berdecap kesal dan tidak menimpali lagi perkataan Natasya yang jelas enggan membahas pekerjaannya sebagai wanita malam.“Ga ... kamu bisa baca rasi bintang?” Natasya memecah sunyi yang kembali membentang diantara mereka berdua.“Enggak bisa, dan enggak tertarik. Aku tahu kamu paling suka di romantisi, tapi maaf aku tidak bisa memberikan itu. Jadi selamat gigit jari jika berharap aku menjadi romantis.” Gaza bersungut-sungut saat mengingat bagaimana Natasya sangat tergila-gila dengan laki-laki yang memberikannya puisi dan menyanyikan lagu d
Natasya mengenakan kaca mata hitam dengan mengikat rambutnya tinggi. Melenggangkan kaki tenang menuju rumah Mami Grace. Pandangan beberapa kawan Natasya lainnya tertuju pada Natasya yang sudah sekian lama tidak terlihat dan tiba-tiba menggemparkan rumah Bordil yang menaungi para pekerja malam.“Sya ... are you ok?” seorang kawan berparas oriental menyapa Natasya dengan menyentuh lengannya pelan. “Tentu saja tidak ok, aku harus jalani rekonstruksi punggung.” Natasya menjawab dengan berlebihan.“Astaga Sya kamu serius?” Hellen melebarkan mata mendengarnya“Mami ada ‘kan?” tanya Natasya ringan tanpa menjawab pertanyaan Hellen“Ada Sya, tapi sepertinya sedang istirahat. Beberapa hari ini pusing katanya,” jawab Hellen masih penasaran dengan kondisi punggung teman sejawat yang menjadi primadona di rumah Mami Grace.Natasya mengangguk kecil melanjutkan langkah kakinya melewati undakan kecil menuju ruangan tengah tempat ia dan yang lainnya bersantai kala tidak ada job. Di sudut ruanga
“Dimana Ga?” Natasya bertanya saat menghubungi Gaza di dalam taksi yang membawanya pergi dari rumah Mami Grace.“Kantor, kenapa?” Gaza menjawab singkat tanpa Natasya tahu jika Gaza sedang menandatangani banyak berkas yang tertunda karena insiden kamar Hotel Natsya.“Aku baru saja memutus kerja sama dengan Mami, ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Aku harus tunggu kamu pulang atau aku boleh ke kantor kamu? atau tidak boleh?” Natasya memberondong dengan pertanyaan pada Gaza.“Iya datanglah,” jawab Gaza.“Aku pakai celana pendek tapi.” Natasya meledek dengan menahan tawa.“Nanti aku papas di depan dan bawakan sarung buat kamu pakai.” Gaza menjawab asal dan membuat Natasya yang mendengarnya tertawa berderai-derai di dalam taksi dan membuat sang driver melirik sekilas pada penumpangnya.Dalam waktu sekejap mood Natasya berubah drastis, ia keluar dari rumah Mami Grace dengan emosi membuncah serasa ingin memakan orang. Akan tetapi setelah Natasya mendengar ucapan asal Gaza di balik
“Diwang,” geram Gaza tertahan.“Ucapan terima kasih karena sudah menangisi aku semalaman saat aku sekarat.” Natasya menyeringai lebar setelah mendengar geraman Gaza.“Ucapkan saat di Apartemen,” dengus Gaza yang menjadikan Natasya tertawa lebar melipat kedua tangannya di dada.Gaza kembali menenggak minuman kalengnya, melonggarkan dasi dan kancing pada leher kemeja yang tiba-tiba terasa mencekik. Memandang Natasya dengan menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya pada sofa.“Mau diam sampai kapan Diwang? Kamu datang kemari mau cerita bukan?” tanya Gaza begitu melihat Natasya hanya diam saja memandangnya.“Kamu sedang bad mood sepertinya, aku jadi malas cerita.” Natasya memilih membatalkan ceritanya.Gaza melepas ikatan dasi dan meletakannya di meja, menautkan kedua tangannya dengan menumpukan siku pada kedua lutut.“Sidang akan segera di gelar, kamu akan dipertemukan dengan tersangka. Apa kamu siap bertemu dengan dia? kalau kamu enggak sanggup, aku akan minta kamu tidak pe
“Diwang .... “Suara itu, wajah itu, sosok itu membuat Natasya bergetar seluruh tubuhnya. Ia langsung bangun dan memundurkan kursi dengan kasar sampai kursinya terjatuh berdebam mengundang perhatian para tamu yang sedang makan lainnya.“Anda siapa?” Gaza langsung menarik tangan Natasya dan membawanya ke belakang tubuh.Menyaksikan bagaimana ketakutannya Natasya di balik punggungnya yang berusaha melepas genggaman tangan karena ingin segera meninggalkan meja tersebut“Kamu siapa? dia keponakan saya, Diwang ... bisa kita bicara? Bibi mencari kamu kemana-mana bertahun-tahun ini Diwang,” pinta sang wanita paruh baya tidak memedulikan Gaza yang menghalaunya menyentuh bagian tubuh Natasya.Mendengar kata bibi, insting Gaza langsung bekerja. Masih menggenggam pergelangan tangan wanitanya, Gaza memberikan tatap penuh ancaman pada wanita di depan mereka.“Jangan pernah berani menemui Diwang lagi.” Gaza mengatakannya dengan serius, menarik bahu Natasya untuk secepatnya keluar dari restora
“Terima Kasih Pak Dayat sudah membantu kami.” Gaza menyalami usai keduanya keluar dari rumah seorang pemuka agama di sekitar Vila Gaza.“Sama-sama Mas Gaza, saya senang bisa membantu. Ini langsung pulang ke Jakarta atau bagaimana?” Laki-laki paruh baya bernama Dayat tersebut melayangkan tanya pada anak muda yang mendatanginya lepas Adzan Maghrib membawa Natasya.“Menginap dulu di Vila Pak, saya sepertinya tidak sanggup menyetir balik ke Jakarta. Nanti saat kami menggelar acara datang ya Pak.” Gaza berucap sebelum meninggalkan rumah yang ada beberapa orang tua dan keluarganya yang akan melepas kepergian Gaza dan Natasya.“Insyaallah Mas Insyaallah. Kalau bapak saya ‘kan sudah sepuh, saya nanti yang datang sama istri anak. Salam untuk papanya Mas Gaza sama Mas Valen juga.” Ramah pak Dayat menepuk bahu Gaza yang tertutup baju koko putih.Gaza mengangguk dan meninggalkan rumah sederhana namun tenang tersebut dengan berjalan kaki yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter dari Vilan
“Gaza kamu gila mengerem mendadak? Astaga Gaza kamu bahayakan banyak orang.” Natasya memukul lengan Gaza setelah kekagetannya mereda.“Ke pinggir Ga, biar aku yang bawa mobil.” Natasya memberikan perintah dengan tegas. Gaza dengan bodohnya tertawa dan menyeringai secara bersamaan. Mulai kembali melajukan mobil perlahan setelah mengucapkan maaf pada wanita yang mengenakan kemeja kebesaran miliknya.“Baru dipanggil sayang, sudah membuat aku hampir mati. Apalagi aku sayang-sayang,” gerutu Natasya.“Mau kalau itu sih, di sayang-sayang sama orang tersayang. Bisa melayang aku, Di.” Gaza terkekeh pelan.Natasya berdecap enggan meladeni ucapan Gaza. Ia memilih menenggak minuman dan menyuap sarapan yang sisa beberapa suap saja.“Tadi kamu tidak sadar ya panggil Sayang? mana mau ‘kan kamu panggil begitu.” Gaza bertanya seraya menyugar rambutnya.“Masih mau di bahas?” tegas Natasya tampak malas.Gaza menggeleng, menyadari Natasya mulai malas dengan candaannya. Memilih menghubungi Olan