“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
Diwang tertatih melarikan diri dengan keadaan fisik penuh luka. Pakaian yang terkoyak dengan banyaknya luka lebam dan berdarah hampir di seluruh badan indahnya. Kaki penuh lukanya ia seret menuju sebuah rumah, ialah rumah satu-satunya sahabatnya sedari SMA. Namun nahas rumah itu gelap gulita yang menandakan pemiliknya tidak ada satupun yang berada di rumah.Sampai akhirnya sang gadis muda ditemukan oleh Mami dan seorang wanita muda yang tengah melintasi jalan raya sunyi di pagi buta. Menemukan tubuh terkapar tersebut hingga sang pengemudi histeris melihat kondisi mengenaskan penuh darah tersebut.“Cepat bawa ke mobil, dia bisa mati di sini.” Mami memberikan perintah yang dijawab anggukan dan langsung menginjak gas setelah berdua bersusah payah memasukkan si gadis muda ke mobil, serta menambah kecepatan laju mobil mereka.“Saya menyarankan setelah pendarahannya berhenti, bawa ke Rumah Sakit besar Bu. Dia pasti korban .... “Mami hanya mengangguk tanpa memberikan jawaban, matanya tertuju
“Selamat malam pak Lando saya Natasya,” sapa Natasya mengulurkan tangan untuk di jabat.Sapaan itu terdengar begitu merdu di telinga Gaza. Tidak salah lagi suara ini sangat ia kenali. Suara yang menemaninya tiga tahun silam kala duduk di bangku SMA. Ia adalah Sahaya Diwangkari teman satu meja Gaza. Siswi pintar kebanggaan para ibu bapak guru sekaligus ketua Osis incaran para cowok-cowok remaja kala itu. Masih lekat di ingatan bagaimana Gaza sebagai teman sebangku selama tiga tahun lelah menyampaikan salam dan surat cinta gombal teman-temannya. Sungguhkah anak remaja manis pendiam dan luar biasa cerdas yang ia kenal dahulu adalah Natasya yang sekarang berdiri tinggi menjulang di depannya.“Pak Lando? Oh, mungkin lebih enak di panggil Lando saja?” lanjut Natasya memutus lamunan Gaza.“Iya Lando saja, silakan duduk. tidak keberatan gelap begini kan?” jawab Gaza pelan.“Tentu.” Natasya duduk di sofa depan Gaza.Dalam gelap, Gaza dapat melihat jelas bagaimana Natasya begitu gemulai duduk d
“Sebenarnya aku mau tanya kalau job pak Lando itu aku ambil, kamu keberatan tidak? Kita tahu peraturan tidak tertulis di rumah mami tidak ada curi mencuri tamu yang sudah datang,” jelas Eve singkat.“Iya ambil saja aku tidak ada masalah.” Natasya menghembuskan nafas lelah.“Ok thanks Sya, selamat istirahat,” kekeh ceria si penelepon.“Hem.” Di lempar ponsel ke nakas samping ranjang.Beberapa hari ini memang mami terus menghubunginya, mengatakan pak Lando ingin menemuinya lagi namun Natasya tolak. Apa lagi yang akan membuatnya lebih malu menemui Gaza. Karena pertemuan terakhir mereka seminggu lalu itu Natasya menolak semua tamu yang datang.Di tatap langit kamar putihnya, mengingat pertemanan mereka semasa sekolah dahulu. Walaupun kesal dan menggerutu, Gaza selalu menyampaikan salam dan hadiah serta surat dari teman sekolah mereka. Gaza yang judes luar biasa kadang di jadikan tameng Natasya menolak keluar dengan teman-teman lelaki mereka. Namun ada sedikit rasa ingin tahu Natasya b
“Mantan calon istri,” keluh Gaza.“Maksudnya bagaimana?” tambah Natasya masih tidak mengerti.Seorang bapak tiba-tiba datang membawa nampan minuman. Mengangguk menyapa Natasya yang di jawab anggukan pula oleh Natasya. “Terima kasih Mang, Mamang boleh pulang saja. Nanti sore saya hubungi kalau mau balik Jakarta.” Gaza menerima nampan itu sebelum ia berikan pada Natasya yang sudah duduk di kursi rotan panjang di ruang tamu. “Baik Den, Aden butuh apalagi sebelum Mamang pergi? makanan sudah di buat sama bibi tapi kalau Aden ingin yang lain bilang saja Mamang carikan nanti.” Bapak yang di panggil mamang menerima kembali nampan dari Natasya. “Nanti kalau saya perlu yang lain akan telepon Mamang. Tolong bilang sama istri Mamang terima kasih ya nanti kita makan.” Gaza memutar bahu bapak itu mengantar masuk ke dalam. Dapat Natasya lihat Gaza memaksa si bapak mengantongi amplop yang Gaza masukan tiba-tiba ke saku jaket bapak itu. A
Tatap ingin membunuh dari Natasya menjadikan Gaza salah tingkah kemudian menggaruk rambut kepala hingga semakin berantakan. Beberapa saat setelah kejadian bodoh yang Gaza lakukan, ia langsung tersadar dan mengejar Natasya segera. Meminta maaf yang tentu saja tidak mudah ia dapatkan dari wanita angkuh di depannya sekarang, yang melipat tangan dan mengangkat dagu tinggi. “Maaf Di sungguh aku .... ““Kalau mau bodoh jangan melibatkan aku Ga!” Natasya mengambil bantalan sofa di samping dan ia lempar kuat ke Gaza. Menyisakan tawa kecil dari Gaza tanpa perlawanan.“Iya maaf banget sumpah tadi kaya yang keterlaluan saja kata-kata kamu. Berasa enggak terima jika kenyataannya Naren seperti itu. Sudah kita tutup saja masalah mereka biar jadi urusan ku. Mana coba lihat tangan kamu yang tadi aku tarik, luka?” Gaza berpindah tempat duduk ke samping Natasya. Menarik tangan Natasya pelan, lalu meringis menatap merah pekat di sana. Sekuat itukah tadi perlakuan kasarnya
Malam semakin larut ketika Natasya sudah mampu mengendalikan tangis hebatnya, begitu menyadari ia masih dalam pelukan Gaza dalam posisi yang amat memalukan jika terlihat orang. Di dorong dada Gaza agar ia bisa bangun dari sana. Bagaimana bisa ia berada di atas Gaza yang masih memeluk erat sesekali membelai rambut berantakannya yang terlentang di atas sofa hitam. “Jangan mencari kesempatan Ga!” sentak Natasya.Natasya sudah berdiri dan menghapus jejak basah di wajah dan merapikan rambutnya. Menolehkan wajah entah kemana asalkan tidak menatap mata teduh di sana. Gaza tidak menghiraukan emosi Natasya yang mudah berubah-ubah. Setelah bangun dari posisi tidur, di tarik pelan Natasya untuk kembali duduk.Gaza belai wajah merah sembab itu dengan senyum kecil. “Masih lebih jelek wajah bangun tidur kamu dulu kok Di.” “Apasih pegang-pegang. Awas!” Kembali Natasya jauhkan tangan Gaza dari wajahnya. “it’s ok Diwang ... terima kasih ya sudah mau cerit
Dunia malam adalah gambaran ketidakadilan bagi sebagian orang, banyak yang memandang negatif pekerjaan mereka. Si kaya yang merasa senang akan adanya kupu-kupu malam, dan si miskin yang selalu mencemooh, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan lain sebagainya. Natasya sendiri tidak peduli bagaimana orang memandang serta menilai dirinya, ia tidak peduli alasan apa yang membawa tamunya datang dan bersedia merogoh kantong dalam-dalam. Natasya hanya peduli akan kenyamanan hidupnya yang dahulu ia susah dapatkan. Cela dari orang lain dianggap angin lalu saja bagi Natasya.Di ruangan bernuansa putih seorang wanita paruh baya duduk menumpukan kakinya, mengenakan gaun panjang biru laut, dengan tatanan rambut selayaknya wanita sosialita masa kini. Berdandan cantik hingga tidak tampak banyaknya usia yang sudah di habiskan wanita tersebut. Natasya memasuki ruangan itu dengan santai.“Hai Cantik.” Mami mencium pipi Natasya setelah di peluk erat oleh Natasya. Kemudian menggerutu saat Natasya mengam