Share

Debar Tidak Asing

Malam semakin larut ketika Natasya sudah mampu mengendalikan tangis hebatnya, begitu menyadari ia masih dalam pelukan Gaza dalam posisi yang amat memalukan jika terlihat orang. Di dorong dada Gaza agar ia bisa bangun dari sana. Bagaimana bisa ia berada di atas Gaza yang masih memeluk erat sesekali membelai rambut berantakannya yang terlentang di atas sofa hitam.

               “Jangan mencari kesempatan Ga!” sentak Natasya.

Natasya sudah berdiri dan menghapus jejak basah di wajah dan merapikan rambutnya. Menolehkan wajah entah kemana asalkan tidak menatap mata teduh di sana. Gaza tidak menghiraukan emosi Natasya yang mudah berubah-ubah. Setelah bangun dari posisi tidur, di tarik pelan Natasya untuk kembali duduk.

Gaza belai wajah merah sembab itu dengan senyum kecil. “Masih lebih jelek wajah bangun tidur kamu dulu kok Di.”

               “Apasih pegang-pegang. Awas!” Kembali Natasya jauhkan tangan Gaza dari wajahnya.

               “it’s ok Diwang ... terima kasih ya sudah mau cerita. Bagaimana sudah lebih baik setelah menangis?” Gaza membelai kepala Natasya lembut. Hanya di jawab anggukan kecil dengan membalas tatap dalam Gaza. Benar kata Gaza ia merasa lebih baik setelah menangis hebat tanpa Gaza coba hentikan.

               “Kamu hebat Diwang, aku tidak akan menanyakan apa-apa lagi. Ibu yang menolong kamu itu mami?” Gaza menyerahkan botol air mineral yang bersebelahan dengan botol minuman alkohol miliknya.

               “Iya, mungkin karena itu juga mami sangat sayang sama aku. Dia punya masa lalu hampir serupa dengan aku. Kamu benar melaporkan aku ke polisi sebagai orang hilang?” tanya Natasya.

               “Iya benar, tapi aku tidak bisa mencari kamu di luar Semarang karena enggak punya uang Di. Belum bekerja saat itu ‘kan, ayah sangat disiplin masalah kuliah. Boro-boro aku di kasih uang banyak di luar keperluan kuliah. Aku sama Valen di didik keras, mau uang lebih buat jalan ya harus ambil kerja serabutan. Masih kere pokoknya waktu mahasiswa,” kekeh Gaza.

               “Memang sekarang sudah merasa kaya?” Sindir Natasya menumpukan kaki dengan santai. Ia sudah tidak pedulikan lagi bagaimana tampilannya saat itu, bahkan ia melihat jelas jejak basah di kaos putih Gaza karena air matanya.

               “Lumayanlah kalau buat keliling masih di Indonesia, masih mampu aku. Cukup buat tiket dua orang sampai balik lagi ke rumah. Tapi setelah itu harus kerja keras tanpa batas lagi.” Gaza menghembuskan nafas mengasihani diri. Menjadikan Natasya tertawa terbahak-bahak. Luar biasa sekali Gaza mampu mengaduk-aduk perasaannya dalam waktu sekejap.

               “Bagaimana pendapat kamu setelah tahu wanita di club itu memang adalah aku Ga? jijik?” Natasya bertanya ringan saja.

Berpikir sejenak Gaza menjawab. “Pertama yang ada di pikiran aku begitu tahu itu memang kamu cuma satu. Apa yang terjadi sama Diwang sampai ia mengambil keputusan sebesar itu bekerja di sana. Yang paling awal sih sebenarnya, gila dia benaran Sahaya Diwangkari? cantiknya enggak ada otak. Mana bisa Diwang secantik itu. Bedakan saja tidak pernah dahulu.”

               Mendengar penuturan Gaza, kembali Natasya tertawa terbahak-bahak hingga air mata menetes tidak terasa memegangi perutnya yang sakit.

               “Kamu mengakui juga kalau aku cantik Ga? kenapa aku enggak percaya ya kalau kamu yang bilang,” ledek Natasya.

               “Sumpah Di kamu cantik banget malam itu di Hotel. Olan sampai ileran padahal cuma membayangkan doang. Otak kotor memang dia, tolong jangan pakai lipstik merah lagi Di. Buat laki-laki pikirannya kotor semua,” pungkas Gaza.

               “Terserah aku mau pakai apa, tidak ada yang berhak melarang. Urusan isi otak orang yang kotor itu urusan mereka sendiri.” Natasya mengangkat bahu tidak peduli.

               “Atau isi otak kamu juga sama kotornya dengan mereka,” sindir Natasya.

               “Aku laki-laki normal, tidak munafik. Tapi bagaimana ya menjelaskannya, mungkin kamu enggak akan percaya. Rasanya tidak terima saja kamu jadi bahan fantasi laki-laki macam Olan dan sejenisnya.” Gaza berdehem pelan. Sedikit salah tingkah mengakui di depan Natasya yang menatapnya dengan kepala miring dan senyuman meledek. Sudah tidak ada lagi jejak sedih di wajah pucat tanpa make up itu.

               “Kamu masih perjaka Ga?” Masih Natasya tatap Gaza dengan mata memicing seolah tidak percaya.

               “Tidak juga,” jawab Gaza.

               “Bukannya kamu bilang tadi siang tidak pernah meniduri pacarmu selama lima tahun pacaran? bukan sama dia berarti?” Selidik Natasya.

               “Tidak perlu aku ceritakan juga ‘kan, aku menjaga Naren karena memang serius ingin berhubungan Di,” papar Gaza.

               “Wow, beruntung sekali Naren itu ya. Sayang sekali kamu di depak begitu saja. Padahal kamu bahkan tidak menyentuhnya, tiba-tiba hamil tentu saja kamu ingin bunuh diri.” Natasya mengangguk seolah prihatin padahal Gaza tahu ia tengah di ledek.

               “Teruskan saja Di, biar puas kamu mengata-ngatai aku.” Gaza menyugar rambutnya membiarkan Natasya meledek habis dirinya. Itu lebih baik dari pada melihat Natasya menangis seperti beberapa saat lalu.

               “Kamu tidak merasa rugi Ga membayarku berkali-kali cuma buat ledek meledek begini,” tanya Natasya.

               “Tidak Di, sudah aku bilang kalau aku sekarang kaya ‘kan?” Gaza kembali meraih minumannya.

               “Oh ya? baiklah. Kamu memang tidak ingin juga?” Natasya melirik Gaza yang amat tenang.

               “Enggak Di, kamu teman ku. Bagaimana bisa aku punya pikiran seburuk itu,” tandas Gaza.

               “Sungguh .... “

               Natasya sudah merapat ke arah Gaza dengan gerakan gemulai. Menjadikan Gaza menaikkan alis penuh tanya.

               “Di jangan aneh-aneh. Masuk kamar saja sanalah.” Gaza mendorong bahu Natasya pelan.

Terdengar hembusan nafas panjang dari Natasya, tanpa berkata apapun lagi Natasya berdiri. Ia bodoh karena melayangkan tindakan seperti itu.

“Jangan tersinggung Diwang, kamu bukan tempat pelampiasan pria payah seperti aku. Dan aku tidak seperti pria-pria itu,” tegas Gaza.

“Iya aku paham. Sory .... “

               Belum Natasya mencapai pintu kamarnya, tubuhnya sudah tertarik ke belakang. Gaza memeluknya hangat.

               “Maaf Diwang, seandainya dahulu aku punya keberanian mengatakan semuanya. Tapi aku terlalu pengecut,” lirih Gaza.

               “Mengatakan apa?” Natasya sentuh lengan Gaza di perutnya.

               “Lupakan,” jawab Gaza, “Kamu tahu aku susah payah menahan pikiran kotor saat melihatmu malam itu di club.”

               Natasya memutar badan menghadap Gaza, tatap itu masih sama teduhnya seperti dahulu saat ia masih tinggal di Semarang.

               “Karena lipstik merah?” Natasya bertanya dengan senyuman kecil.

               “Iya, dan sepatu merahmu yang gila tingginya,” keluh Gaza.

               Natasya kembali terkekeh geli, menumpukan dahi ke dada Gaza yang masih memeluk pinggangnya. Saat Gaza mengangkat dagu Natasya untuk ia tatap mata indah itu, Natasya sudah berhenti tertawa. Menikmati diam mereka hanya dengan saling memandang.

               “Boleh?” Gaza bertanya pelan.

               “Boleh.” Natasya jawab dengan mendekatkan wajahnya pada Gaza yang Gaza sambut memeluk Natasya semakin erat.

               Ciumannya kali ini bukan kasar penuh amarah seperti tadi siang, melainkan lembut dan pelan. Natasya sudah mengalungkan lengan-lengan kurusnya di leher Gaza. Memejamkan mata membalas sentuhan lembut pria yang memeluknya.

               “Diwang .... “

               Gaza menempelkan dahi mereka dengan nafas berkejaran, ia masih memiliki pikiran waras untuk menghentikan naluri laki-lakinya.

               “Jangan pernah meninggalkan wanita yang sudah kamu pancing Ga,” geram Natasya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status