Menggunakan kruk di kedua ketiaknya di bantu seorang wanita memasuki ruangan kerja Gaza. Saat melihat siapa yang datang, Gaza yang tengah lelah baru saja ke lapangan tempat proyek barunya langsung bertambah mendidih kepalannya. Bagaimana bisa mereka berdua berani mendatangi kantornya.“Tunggu Ga tunggu tolong jangan langsung marah, kita ke sini mau ngomong baik-baik. Setelahnya boleh lo menghajar gua lagi.” Valen datang bersama Naren.Tampak jelas ada raut ketakutan di mata Naren saat bertatapan dengan Gaza. Hanya sekian detik, sebelum Gaza pindahkan pandangan ke wajah Valen dengan masih terlihat jelas jejak amukannya waktu itu. Tidak menjawab perkataan Valen, Gaza justru mengangkat gagang telepon di meja. Menghubungi seseorang.Dengan suara berat Gaza berkata. “Sudah gua bilang, lo gua pecat jika Valen bisa masuk ke ruangan gua Lan.”“Sory bro sory banget, tapi tadi Valen mohon-mohon. Mana tega gua,” jawab Olan di seberang telepon.“Gua tunggu surat pengunduran diri lo sebelum ja
“Dia enggak pernah suka sama gua Lan, asal lo tahu saja. Dulu gua dekil jaman masih sekolah.” Natasya masih tertawa membayangkan rupa wajahnya dahulu.“Hem ... berarti lo enggak peka Sya, Gaza suka lo dari masih dekil.” Olan menunjuk Gaza dengan dagunya.Menggelengkan kepala Gaza kembali berkata. “Obrolan macam apa ini bahas masalah dekil.”“Yang ada di kepala Gaza jaman sekolah isinya pelajaran Lan, mana pernah dia naksir cewek. Nilai turun saja takut pulang di marahi ayahnya. Saingan berat masalah nilai kita itu dulu,” pungkas Natasya.Olan mengangguk-angguk dengan senyuman penuh arti, membalas tatap dari Gaza lewat kaca di tengah mereka. Lalu menyibukkan diri dengan ponsel saat sudah tidak ada lagi obrolan lanjutan.Setelah menurunkan Olan, memutar kemudi Gaza kembali menyusuri jalanan malam Ibu Kota untuk mengantar Natasya pulang. Hanya ada kesunyian, tidak ada yang bersuara. Natasya letakan ponsel di dasboard sebelum menolehkan wajah ke arah Gaza.“Benarkan enggak pernah suka dul
“Aku memang wanita panggilan Ga, semua orang tahu akan hal itu,” gumam Natasya.“Berarti kamu tidak benar-benar mengenalku Diwang .... ““Maksud kamu?” tanya Natasya.Meletakan sendok yang hanya ia suap sekali, Gaza kembali menatap mata indah itu. “Pernah aku memanggil kamu sebagai wanita panggilan sebelum barusan? Pernah aku memperlakukan kamu hanya sebagai alat pemuas pria-pria brengsek seperti yang selama ini tamu kamu lakukan? Pernah aku bertanya mengapa kamu bisa berada di lingkungan seperti sekarang Di? tidak pernah Diwang ... sekalipun tidak pernah aku seperti itu.”“Karena apa? meskipun kamu bekerja demikian, kamu tetap Sahaya Diwangkari yang sama seperti tujuh tahun silam. Dimata aku, kamu tetap sama sekalipun kamu berdandan luar biasa cantik, enggak akan bisa menghapus ingatan aku kalau kamu pun bisa sangat jelek. Dan yang terjadi di puncak itu bukan semata karena aku menganggap kamu wanita panggilan Diwang, tapi .... “Jeda panjang di sana hanya di isi saling tatap antara
Melangkah meninggalkan ruangan dokter, Natasya santai berjalan menuju parkiran. Selepas cek up rutin, Natasya ingin memanjakan badan di tempat perawatan rekomendasi dari dokternya. Setiap ke dokter ia selalu membawa mobil sendiri, ia tidak mau melibatkan siapapun juga mengenai kesehatan badannya. Langkah Natasya terhenti manakala mendengar suara orang bertengkar di pelataran parkir. Beberapa saat Natasya tidak peduli dan melanjutkan langkah menuju mobilnya, tetapi suara pertengkaran itu semakin jelas dan ia mengenali suara salah satu orang di sana. “Jika bukan Valen yang berengsek apa kamu yang merayunya? seperti teman-teman modelmu yang mereka lakukan selama ini? kamu tahu seberapa besar aku mencintai kamu, karena itu aku menjaga kamu Ren.” suara pria di sana menjadikan Natasya menoleh ke sebuah mobil mini cooper tepat di samping mobil putih besar miliknya. Benar adanya ternyata dia Gaza, sudah pasti yang berdiri di depan Gaza adalah Naren. Itu menjadikan Natasya mengurungkan di
“Mau bahas mantan kamu atau mau mengobati itu luka kamu tambah banyak darahnya Ga!” Natasya menarik tangan Gaza untuk segera menuju klinik terdekat dari sana sesegera mungkin. Natasya sangat trauma melihat begitu banyak darah.Yang Gaza lakukan hanya diam mengikuti ke mana Natasya membawanya, masih bertanya-tanya bagaimana Natasya tahu masalah kaca mobil Naren. “Di, bagi nomor rekening kamu, ini Olan mau transfer sekarang,” ucap Gaza. Ponsel masih di telinga Gaza, ia menghubungi beberapa orang untuk mengurus pekerjaan yang tidak bisa ia selesaikan hari itu.“Enggak usah,” jawab Natasya pendek.“Lan ... kamu minta mami saja berapa nomor rekening Diwang, bilang aku punya hutang biaya dokter sama biaya ganti rugi di kantor polisi.” Menatap lekat Gaza ke arah Natasya, ia tahu wanita di sampingnya sedang kesal bukan kepalang.“Jangan pernah tanya itu ke mami, ok nanti aku kasih, enggak sekarang karena aku enggak hafal,” papar Natasya. Mereka saling menantang dengan tatap sama dingin
Hal yang membuat Natasya terbelalak dengan mulut terbuka adalah, Gaza melewatinya begitu saja dan menjatuhkan diri ke atas ranjang besar di tengah ruangan tersebut. Telungkup masih mengenakan sepatu dan kemeja putih berbalut blazer krem.“Mata aku sudah tidak tahan Diwang, biarkan aku tidur sebentar. Setelah ini, kamu aku habisi,” gumam Gaza dengan wajah tenggelam di bantal.Sontak menguap semua amarah Natasya beberapa saat lalu, ia tertawa geli menyaksikan keajaiban yang baru saja Gaza lakukan. Usai tawanya reda, dihampiri tubuh besar itu kemudian ia lepas sepatu dan blazer sebelum membalikkan badan Gaza dan ia selimuti. Sungguh lucunya mereka berdua sekarang ini. Sepertinya terlalu jahat jika meninggalkan Gaza dalam keadaan terlelap karena efek obat, sedangkan Gaza rela merogoh dompet dalam-dalam demi Natasya tidak menemani tamunya malam itu. “Gaza, Gaza ... kamu terlalu baik apa terlalu bodoh sih,” bisik Natasya pelan.Natasya tatap beberapa saat wajah terlelap itu, menyentuh pela
“Cek up rutin, aku selalu ke sana tiap ... bertemu tamu.” Menunduk Natasya melanjutkan sarapan.“Sesering itu?” tambah Gaza.“Iya ... ada jadwal sendiri sih untuk yang lebih spesifik, minimal sebulan sekali. Kalau yang seminggu sekali itu aku sendiri yang sangat menjaga tubuh aku. Aku tahu risikonya memang, tapi jaman sekarang canggih selagi kita mau mencegah, akan baik-baik saja.” Mengangkat bahu kecil, Natasya kembali menatap Gaza.“Ada satu rahasia lagi Ga, mami selalu meminta mereka cek up juga sebelum menemui aku. iya sesayang itu mami sama aku. Dan .... “ “Dan?” Gaza mengerutkan kening penuh rasa ingin tahu.“Aku pandai memimpin permainan menjadi aman.” Senyum mengulum Natasya di sertai mengedipkan sebelah matanya.Gaza membanting garpu di tangannya, menatap dingin Natasya yang masih mengumbar senyuman lebar.“Tidak perlu marah begitu Gaza, ingat kamu bukan suami aku. Hanya teman lama yang kebetulan mampu membayar aku datang beberapa kali bukan?” sindir Natasya tajam.M
Gaza menekuri layar laptopnya yang menunjukkan beberapa laporan dari beberapa bagian perusahaannya. Fokus penuhnya pada seluruh pekerjaan yang menumpuk seolah tidak ada ujungnya.“Bos, ada tamu“Bos, ada Megantara mau bertemu. Jam kita sangat mepet karena satu jam lagi kita ada pertemuan di Manhattan, waktu lain saja atau bagaimana?” Olan memberikan informasi setelah mengetuk pintu dan di persilakan masuk.Gaza mengangkat kepala dari depan layar, terdiam sesaat dan melepas kaca matanya.“Kita bagi dua, lu sama Manhattan, gua Megantara. Jalan sekarang, jam sibuk Lan.” Gaza langsung memberikan solusi terbaiknya.“Gile lu ya Ga, ngebut banget mau kejar pelaminan?” seru Olan melebarkan mata.“Sialan lu Lan, kita terlalu santai bulan lalu. Harus di kejar sekarang,” kekeh Gaza.“Amnesia lu? Gua ingatkan lagi lu gila bulan kemarin mau bunuh diri sampai tiga kali, giliran sadar malah membebani gua pekerjaan yang enggak ada habisnya.” Olan memaki dengan kesal dan bibir maju.“Lu mau k