Share

Sebuah Kejadian

                Tatap ingin membunuh dari Natasya menjadikan Gaza salah tingkah kemudian menggaruk rambut kepala hingga semakin berantakan. Beberapa saat setelah kejadian bodoh yang Gaza lakukan, ia langsung tersadar dan mengejar Natasya segera. Meminta maaf yang tentu saja tidak mudah ia dapatkan dari wanita angkuh di depannya sekarang, yang melipat tangan dan mengangkat dagu tinggi.

                “Maaf Di sungguh aku .... “

“Kalau mau bodoh jangan melibatkan aku Ga!” Natasya mengambil bantalan sofa di samping dan ia lempar kuat ke Gaza. Menyisakan tawa kecil dari Gaza tanpa perlawanan.

“Iya maaf banget sumpah tadi kaya yang keterlaluan saja kata-kata kamu. Berasa enggak terima jika kenyataannya Naren seperti itu. Sudah kita tutup saja masalah mereka biar jadi urusan ku. Mana coba lihat tangan kamu yang tadi aku tarik, luka?” Gaza berpindah tempat duduk ke samping Natasya. Menarik tangan Natasya pelan, lalu meringis menatap merah pekat di sana. Sekuat itukah tadi perlakuan kasarnya.

“Sumpah Ga tidak ada yang berani menyakiti aku seujung rambut pun selama ini. Dan kamu buat tangan aku jadi begini, harusnya tadi aku dorong sekalian kamu ke jurang. Kalaupun mati tidak ada yang akan tahu.” Di tarik tangannya dari pegangan Gaza, baru terasa sekarang sakitnya. Sedari tadi Natasya terlalu emosi hingga luput akan pergelangan tangannya.

“Iya aku tahu aku sangat salah, sebentar aku ambil kompres ya biar enggak bengkak.” Gaza melangkah ke dapur cepat. Meninggalkan Natasya sendirian di ruang tamu.

                Dalam diam Gaza mulai mengompres tangan putih Natasya, bermacam penyesalan menghampirinya. Baru sekali ini ia sampai lepas kendali sampai menyakiti seorang wanita tidak bersalah seperti Natasya.

                “Kita ke rumah sakit saja ya Di, takutnya tulang kamu ada yang retak.” Mengangkat wajah Gaza pandang ke dua mata hitam Natasya.

                “Enggak perlu, lebam doang. Nanti sembuh sendiri, aku istirahat saja. Kalau kamu masih mau di sini, biar aku panggil taksi saja buat balik nanti sore. Sepertinya kamu butuh menenangkan diri sendirian dari pada di temani aku yang malah bikin tambah ruwet isi kepala kamu. Istirahat Ga, kamu juga butuh istirahat.” Natasya menepuk bahu Gaza sebelum beranjak ke salah satu kamar.

                Terlihat Gaza duduk sendirian di ruang tengah dengan tangan menggenggam sebotol minuman saat Natasya keluar dari kamar. Di luar hari sudah gelap, sepertinya Natasya tidur terlalu lama. Jelas mereka berdua masih mengenakan pakaian sama sedari pagi karena tidak membawa ganti. Natasya sambangi Gaza yang sudah bersandar dengan mata terpejam dan kaki naik ke atas meja. Hanya mengenakan kaos putih polos dan celana hitam.

                “Gaza,” sapa Natasya.

Gaza membuka mata dan menurunkan kakinya. “Mau balik sekarang? sudah malam soalnya tadi sore mau aku ajak pulang kamu pulas banget.”

                “Kamu mabuk?” tanya Natasya.

Mengangkat botol di tangan Gaza menggeleng. “Ini enggak bisa bikin mabuk Di.”

                “Aku enggak mau ambil risiko semobil sama orang yang habis minum Ga, masih sayang nyawa aku. Aku panggil taksi saja,” tukas Natasya.

Meletakan botol di tangan Gaza berkata. “Baiklah terserah kamu Di.”

                Natasya menghentikan niat menghubungi taksi saat mendengar nada pasrah dari Gaza, ia memutuskan duduk di sebelah Gaza dan memperhatikan wajah berantakan di sana. Kemudian menuangkan minuman di botol ke sebuah gelas kosong yang bahkan tidak Gaza pakai. Meminumnya pelan, tidak buruk juga selera Gaza pada jenis minuman.

                “Nanti aku tinggal, kamu bunuh diri lagi. Repot jadi tersangka nantinya aku enggak mau,” sindir Natasya.

Bukan membalas ejekan Natasya, Gaza hanya tersenyum kecil. Matanya melirik tangan Natasya yang memegang gelas panjang. Masih terlihat merah kehitaman di sana.

“Aku akan bertanggung jawab untuk itu Di.” Menunjuk pergelangan tangan Natasya, Gaza menggeser duduk hingga menghadap Natasya.

“Boleh aku tanya satu pertanyaan Di?” tanya Gaza pelan.

“Apa?” jawab Natasya.

“Tujuh tahun lalu, kamu pergi kemana? tiba-tiba menghilang tanpa kabar.” Gaza menatap lekat Natasya yang sudah menghentikan tegukan mendengar pertanyaannya.

Mengambil gelas di tangan Natasya, di letakan gelas itu ke meja. “Kamu tahu Di, aku mencarimu seperti orang kesetanan hampir setiap hari di tahun pertama kamu menghilang. Menanyakan paman dan bibi kamu apakah terjadi sesuatu sampai kamu pergi begitu saja. Tapi mereka juga tidak tahu, aku bahkan datang ke kampus kamu hanya untuk mendengar sudah lebih dari seminggu kamu tidak datang kuliah. Melaporkan kamu ke kantor polisi sebagai orang hilang, kamu benar-benar tidak bisa aku temukan dimanapun. Kamu kemana Di?”

                Natasya diam membisu, bukan alasan mengapa Natasya bekerja sebagai wanita malam yang Gaza tanyakan. Melainkan alasan mengapa ia tiba-tiba menghilang tujuh tahun silam. Yang mana mengharuskan Natasya kembali teringat malam paling menyakitkan untuk dirinya.

                “Aku ikut teman bekerja,” jelas Natasya singkat.

                “Teman siapa? bekerja di mana?” desak Gaza

                “Kamu enggak kenal Ga, teman kuliah.” Memalingkan wajahnya dari tatap dalam Gaza, kembali Natasya meminum minuman pekat di meja.

                “Kamu bohong Di?” Gaza kembali mendesak.

                “Tidak,” tandas Natasya.

                “Aku mengenal kamu Diwang, kamu sedang berbohong sekarang. Tidak mungkin kamu tinggalkan kuliah yang susah payah kamu dapatkan itu kalau alasannya tidak besar. Kamu tidak ingin memberitahu aku?”

                “Tidak Ga, kamu sudah makan?” Mengalihkan pembicaraan Natasya berdiri dari sana. Ia enggan menceritakan malam kelabu itu pada siapapun juga.

                “Enam tahun pertemanan kita tidak cukup membuat kamu bisa mempercayaiku ya Di? tidak perlu kamu ceritakan rinci. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi sama kamu, apa itu juga terlalu berat di ceritakan?” Tambah Gaza pelan, ia sungguh ingin tahu kemana Natasya tujuh tahun silam menghilang.

                Natasya terdiam begitu lama, mengumpulkan keberanian membuka luka lama yang ia pikir tidak akan pernah sembuh. Luka yang terus berdarah saat ia mengingatnya.

                “Ya sudah kalau kamu memang tidak mau bicara sudah lupakan saja aku pernah bertanya begitu,” pungkas Gaza.

                “Malam itu sebelum aku pergi dari Semarang, aku ke rumah mu Ga. Jam dua pagi, tapi rumah kamu gelap tidak ada orang satupun.” Menunduk Natasya mulai bersuara.

Gaza menegakkan tubuhnya. “Kapan itu Di? aku tidak pernah tahu kamu datang.”

Natasya menarik nafas panjang sebelum mulai bercerita, ia percaya Gaza tidak akan menceritakan kepada siapapun lagi setelah tahu.

“Awal bulan Desember 2013 .... “

“Sebentar, awal Desember 2013? Itu tepat kita sekeluarga ke Bandung kalau tidak salah Di, acara nikah ponakan ayah. Iya benar waktu itu kita di Bandung seminggu Di. Mbak sama supir ayah di liburkan ayah. Rumah kosong, benar itu. Kenapa tidak menelepon Di?” Gaza perhatikan Diwang yang menatap jauh ke depan.

“Aku kabur dari rumah tante Ga, tidak ada yang aku bawa bahkan ponsel. Aku datang karena ingin meminta bantuan kamu malam itu,” tutur Natasya.

“Apa yang terjadi malam itu Di?” Gaza mendesak tidak sabar, masih menatap lekat wajah gelap Natasya.

“Karena kamu tidak di rumah, aku berjalan tanpa tujuan entah kemana. Sejauh mungkin, secepat mungkin yang sanggup aku lakukan. Saat sudah sangat kesakitan ada ibu baik hati menemukan aku di pinggir jalanan. Membawa aku ke klinik, menunggui aku hingga keesokan harinya. Meyakinkan aku yang bangun ketakutan, bahwa aku sudah aman bersama dia di klinik entah dimana itu berada. Kamu tahu Ga setakut apa aku hari itu, dalam kondisi yang katakanlah aku memohon mati saja malam itu. Ibu itu memeluk aku begitu erat, menenangkan aku yang histeris khawatir ada yang mengenali aku disana.” Kedua tangan Natasya saling menggenggam erat saat menceritakannya.

“Apa yang om kamu lakukan Di?” Gaza sudah dapat menangkap kemana arah cerita Natasya.  

“Pendarahan hebat, robek di alat vital, luka di leher karena di cekik, tamparan karena aku terus berontak dan ... masih banyak lainnya,” nanar Natasya menjelaskan pelan.

Setetes air mata jatuh di pipi dapat Gaza lihat. Pergolakan batin yang besar dapat Gaza tangkap dengan mudah. Kesakitan yang Natasya ceritakan seolah Gaza turut merasakannya.

“Pendarahan? Kamu di perkosa?" Membelalak mata Gaza.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status