Share

Pertemuan Pertama

“Selamat malam pak Lando saya Natasya,” sapa Natasya mengulurkan tangan untuk di jabat.

Sapaan itu terdengar begitu merdu di telinga Gaza. Tidak salah lagi suara ini sangat ia kenali. Suara yang menemaninya tiga tahun silam kala duduk di bangku SMA. Ia adalah Sahaya Diwangkari teman satu meja Gaza. Siswi pintar kebanggaan para ibu bapak guru sekaligus ketua Osis incaran para cowok-cowok remaja kala itu. Masih lekat di ingatan bagaimana Gaza sebagai teman sebangku selama tiga tahun lelah menyampaikan salam dan surat cinta gombal teman-temannya. Sungguhkah anak remaja manis pendiam dan luar biasa cerdas yang ia kenal dahulu adalah Natasya yang sekarang berdiri tinggi menjulang di depannya.

“Pak Lando? Oh, mungkin lebih enak di panggil Lando saja?” lanjut Natasya memutus lamunan Gaza.

“Iya Lando saja, silakan duduk. tidak keberatan gelap begini kan?” jawab Gaza pelan.

“Tentu.” Natasya duduk di sofa depan Gaza.

Dalam gelap, Gaza dapat melihat jelas bagaimana Natasya begitu gemulai duduk di sofa, menumpukan sebelah kaki jenjang itu tanpa suara.

“Jadi, Lando kita mulai dari mana? Kamu punya permintaan khusus mungkin? Kalau aku cuma punya satu syarat,” papar Natasya. Tidak ada basi-basi dari Natasya, ia langsung menanyakan inti dari kedatangannya.

“Apa?” tanya Gaza pelan.

“Aku tidak akan bermalam setelah selesai. Aku akan pergi, itu saja,” tutur Natasya.

“Aku juga punya satu syarat. Temani aku mengobrol sebentar saja.” Gaza menatap lurus seraya di tenggak kaleng minumannya.

“Mengobrol?” Mengerutkan kening Natasya mendengar penuturan Lando.

Mabukkah pria di depannya? Natasya melirik ke kaki sofa, ada empat botol kaleng kosong tergeletak. Mungkin benar adanya pemikiran Natasya.

“Tentu bukan mengobrol dalam artian berdiskusi kan? Jangan bercanda. Tidak ada yang membuang-buang uang mereka hanya untuk mengobrol. Atau mungkin kamu tipe yang butuh mengobrol dahulu sebelum mulai,” papar Natasya lembut.

“Kamu tidak salah dengar, aku meminta kamu ke sini karena ingin mengobrol,” tegas Gaza.

“Obrolan bagaimana yang mau kamu dengar Lando?” Natasya berdiri dari sofa, berniat menghampiri Lando yang sudah meletakan kaleng ke lima ke lantai.

“Kamu kenapa bangun!?” seru Gaza panik begitu Natasya tiba-tiba menghampirinya, duduk di sampingnya, dan menyentuh bahunya.

“Mengobrol seperti katamu tadi. Mulai dari mana obrolan kita Do? Apa dari kenapa kamu lebih suka gelap? Kamu tidak ingin melihat wajah aku lebih jelas?”

Tangan Natasya menyentuh bahu Gaza yang sudah diam membeku.

Gaza adalah pria dewasa dengan naluri seperti pria lainnya. Namun bukan hal demikian yang ingin Gaza lakukan.

“Stop, Di. Sorry! Aku sungguh hanya ingin menanyakan satu hal.” Sambil berkata demikian, ditahannya tangan Natasya yang sudah membelai bahu Gaza lembut.

“Di?” Natasya kembali mengerutkan kening, Gaza pasti salah memanggil namanya.

“Sahaya Diwangkari, betul?” pungkas Gaza.

Sebenarnya, bukan seperti ini rencana pria itu. Mengungkap kebenaran begitu cepat sebelum mereka betul-betul mengobrol.

Bagai tersambar petir, telinga Natasya mendengar seseorang menyebut nama Sahaya Diwangkari. Sudah begitu lama ia kubur dalam-dalam panggilan Diwang, berharap tidak pernah lagi mendengarnya.

“Siapa kamu?!” desak Natasya dengan suara bergetar.

Suara Natasya yang tadi lembut mendayu kini sudah terdengar sangat dingin penuh kemarahan. Belum sempat Gaza menjawab, Natasya cepat menyalakan lampu meja di samping Gaza yang sedari awal masuk ruangan sudah ia lihat.

Ketika ruangan menjadi terang, terperangah Natasya melihat sosok pria di depannya yang sudah turut berdiri. Berhadapan demikian membuat Natasya tidak mampu mengatakan apapun. Ia mengenali seraut wajah itu, walaupun kini sudah menjadi sosok dewasa.

“Gaza?” lirih Natasya.

“Diwang .... “

“Stop sebut nama itu! Diwang sudah mati!” perintah Natasya dengan nada tinggi.

“Di ... maaf, maksud aku Tasya. Sungguh, aku minta maaf sudah membohongi kamu. Tidak ada niat apapun. Aku memanggilmu ke sini karena sungguh ingin mengobrol. Pertama aku lihat kamu di club malam aku ragu itu benar kamu. Saat aku ingin menyapa kamu banyak yang melarang dan memberi tahu kalau mesti lewat mami,” berondong Gaza menjelaskan.

Mereka masih berdiri berhadapan, Natasya menahan emosi membuncah. Sedangkan Gaza kebingungan bagaimana menjelaskan pada Diwang kalau ia tidak ada niat jahat sedikitpun.

“Lalu apa yang kamu simpulkan setelah tahu? menghina aku? silakan, aku tidak masalah akan hal itu. Aku akan kembalikan apa yang sudah kamu keluarkan untuk membayarku karena kamu sama sekali tidak menyentuhku sedikitpun.”

Natasya sontak menyambar tas tangan yang tergeletak di lantai.

“Diwang tolong tunggu sebentar,” pinta Gaza.

“Apa?!” Natasya sentak tangan Gaza yang menahan pergelangan tangannya, saat ia sudah memutar badan untuk segera berlalu dari sana.

“Aku tidak seperti itu Di, dengarkan dahulu,” tambah Gaza tidak biarkan Natasya berlalu dengan salah paham.

Natasya tidak mendengarkan perkataan Gaza, cepat meninggalkan kamar besar itu dalam balutan rasa malu luar biasa. Bagaimana bisa Gaza melakukan hal demikian. Sejak nama Sahaya Diwangkari ia kubur dalam dan ia anggap sudah mati. Natasya bukan lagi sosok Diwang teman satu meja Gaza di SMA. Orang yang paling Natasya harapkan tidak akan pernah bertemu lagi sebagai sosok Natasya si Wanita Malam. Satu-satunya orang yang ia datangi di malam bencana itu tujuh tahun silam. Namun Gaza tidak ada di rumah sehingga ia melarikan diri sejauh ia mampu berlari menghindari sumber musibah.

Kamar hotel Gaza lenggang, ia menarik rambutnya berulang kali mengingat kejadian beberapa saat silam. Kenapa ia jadi begitu bodoh hingga tidak mampu menjelaskan dengan benar pada Diwang. Tentu saja Diwang merasa terhina bahkan mungkin malu.

“Shit Ga!” Gaza mengumpati diri sendiri.

Sahaya Diwangkari yang dahulu Gaza kenal adalah wanita pendiam dengan berbagai macam prestasi menakjubkan di bidang pendidikan. Di, begitu Gaza memanggilnya adalah wanita yatim piatu sejak usia 10 Tahun yang tinggal bersama bibi dari pihak ibu dan pamannya.

Hingga tiba-tiba Diwang menghilang tanpa kabar. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Diwang, Gaza mencari kemana-mana hingga ke tempat Diwang kuliah. Nihil, tidak di temukan. Gaza sudah bertanya pada bibi dan paman Diwang, adakah satu hal atau kejadian yang memicu kepergian mendadak Diwang. Keduanya serempak menggelengkan kepala. Gaza yakin terjadi sesuatu, tetapi dia hanya mahasiswa yang masih di biayai oleh sang ayah.

Pencarian Gaza buntu terkendala tanggung jawab menyelesaikan sekolah dengan baik. Sahaya Diwangkari si anak dengan senyuman manis itu hilang sampai kemudian Gaza menemukannya dalam sosok Natasya.

Si bibir merah menyala itu terus menerus ada di pikiran Gaza, untuk sesaat ia bahkan melupakan kejadian satu bulan lalu, di rumah ayahnya ia mengamuk kesetanan ingin membunuh Valen. Saudara kembar Gaza sekaligus kakaknya.

Gaza meninggalkan rumah setelah membuat Valen babak belur karena tinjunya.

Sepeninggal Diwang, Gaza termenung. Bertambah yakin pasti terjadi sesuatu yang besar hingga menjadikan anak polos seperti Diwang berada di kondisi seperti sekarang. Bekerja sebagai wanita malam adalah mustahil terjadi pada sosok Diwang yang Gaza kenal.

“Apa yang terjadi pada kamu Diwang ...? “

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status