Share

Sang Primadona Rumah Bordil
Sang Primadona Rumah Bordil
Penulis: PutriNaysaa

Prolog: Tidak Berdaya

Diwang tertatih melarikan diri dengan keadaan fisik penuh luka. Pakaian yang terkoyak dengan banyaknya luka lebam dan berdarah hampir di seluruh badan indahnya. Kaki penuh lukanya ia seret menuju sebuah rumah, ialah rumah satu-satunya sahabatnya sedari SMA. Namun nahas rumah itu gelap gulita yang menandakan pemiliknya tidak ada satupun yang berada di rumah.

Sampai akhirnya sang gadis muda ditemukan oleh Mami dan seorang wanita muda yang tengah melintasi jalan raya sunyi di pagi buta. Menemukan tubuh terkapar tersebut hingga sang pengemudi histeris melihat kondisi mengenaskan penuh darah tersebut.

“Cepat bawa ke mobil, dia bisa mati di sini.” Mami memberikan perintah yang dijawab anggukan dan langsung menginjak gas setelah berdua bersusah payah memasukkan si gadis muda ke mobil, serta menambah kecepatan laju mobil mereka.

“Saya menyarankan setelah pendarahannya berhenti, bawa ke Rumah Sakit besar Bu. Dia pasti korban .... “

Mami hanya mengangguk tanpa memberikan jawaban, matanya tertuju pada sosok yang kelak akan ia kenal dengan nama Diwangkari. Malam itu Mami dan wanita muda menunggui Diwangkari yang tidak sadarkan diri setelah mendapatkan pertolongan pertama.

Keesokan harinya, tubuh dengan banyak lebam dan luka terbuka tersebut dibawa Mami ke Jakarta. Ia memiliki misi tersendiri untuk gadis cantik dengan bibir dan kening sobek lebar tersebut.

“Hai cantik ...sudah bangun?” Mami menyapa lembut dengan senyuman.

Diwang, begitu ia di sapa, membuka mata perlahan setelah seharian dipindahkan ke sebuah kamar di rumah Mami di Jakarta. Melihat sosok perempuan paruh baya dengan dandanan glamour tersebut, Diwang langsung beringsut. Akan tetapi ia merasakan sekujur tubuhnya luar biasa sakit, perih.

“Jangan terlalu banyak bergerak cantik, kamu hampir mati semalam di jalan,” tukas Mami.

Kembali tersenyum lembut, Mami menambahkan. “Jangan takut, Mami bukan orang jahat. Kamu aman di sini, istirahatlah dulu kamu di rumah Mami.”

“Mami? Aku di mana?” pelan Diwang bersuara dengan tenggorokan teramat sakit.

Mami mengambilkan sebotol air mineral dengan pipet dan membantu memberikan minum pada Diwangkari yang di sambut ragu-ragu. Setelah memastikan Diwang menyelesaikan dahaganya, baru Mami memutuskan menjawab.

“Kamu bisa memanggil aku dengan Mami, kamu sekarang di Jakarta,” tutur Mami tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Diwang memandang wajah berpoles make up tegas tersebut dengan bibir warna pink, kemudian melarikan mata pada sekitar tempatnya berada. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, hampir tidak ada barang lainnya selain ranjang kecil yang tengah ia tiduri dan kursi yang Mami duduki. Kembali memandang manik mata biru di sampingnya, Diwang kembali bersuara pelan.

“Terima kasih Mami.” Setetes air mata mengalir dari sudut mata indah berwarna coklat terang yang dimiliki Diwang tersebut.

Sangat terasa kesakitan yang tengah dialami gadis muda di depan Mami, ia hapus jejak basah di sana dengan senyuman lembut keibuan.

“Siapa nama kamu cantik?” tanya Mami.

Pelan sang gadis menjawab. “Diwang.”

“Ok Diwang, kamu boleh di sini sampai sembuh ya. Mami jarang berada di rumah, tapi nanti akan ada yang bantu kamu selama belum sembuh. Akan ada Dokter juga yang sesekali memeriksa kamu selama di sini.” Mami menjelaskan kembali akan banyak tanya di wajah Diwang yang tidak dapat terucap dari mulutnya.

Hampir sepuluh hari yang dapat Diwang lakukan hanya berbaring, ia tidak mengerti mengapa tidak dibawa ke Rumah Sakit saja justru ia dirawat di rumah mendatangkan beberapa Dokter dan perawat yang merawat luka-lukanya.

Selama Diwang berada di rumah tersebut, ia tidak lagi melihat sosok Mami dengan dandanan mencolok. Tetapi semua kebutuhan dan pakaiannya di antarkan oleh seorang berpakaian perawat.

“Hallo cantik, sudah lebih baik?” Mami mendatangi Diwang kembali tepat di hari ke 15, ketika Diwang dilanda begitu banyak tanya tidak terjawab di kepalanya karena semua yang ia tanya pada Dokter, perawat bahkan

Asisten rumah tangga satupun tidak ada yang memberitahukannya.

“Sudah bisa berjalan sedikit-sedikit Mami,” jawab Diwang pelan.

“Tidak apa memang luka kamu serius sekali. Syukur kamu selamat, kamu pasti bosan terus menerus di ruang sempit ini. Bagaimana kalau kita keluar sambil minum teh mungkin bisa sambil mengobrol juga. Mami tahu ada banyak tanya di kepala kamu itu.” Mami berseru meminta di bawakan kursi roda dan ia sendiri yang memegangi sang gadis cantik bernama Diwangkari.

Teras mungil dengan dihiasi pot-pot anggrek cantik bergantungan di atas tempat keduanya duduk. Semilir angin membelai wajah pucat Diwangkari dengan luka terbuka perlahan mengering. Secangkir teh mengepulkan uap panas tersaji bersama piring kue talam dan nagasari.

“Jadi Diwang, boleh Mami tanya kamu asal mana?” Mami memberikan pertanyaan pertama setelah melihat Diwang dengan tatap menerawang ke depan terdiam sekian lama.

“Aku tinggal di desa Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang Mami. Kenapa Mami tidak membiarkan aku mati saja malam itu? aku sungguh berharap mati saat itu.” Diwang menunduk kecil, memandang pergelangan tangannya dimana lebam masih tersisa samar di sana.

“Mami tahu apa yang kamu alami sangat menakutkan, kamu berhak hidup Diwang. Jika kamu hidup sekarang, tandanya Tuhan memang ingin kamu hidup. Akan sangat susah melupakan hal tersebut, tapi perlahan kamu harus bangkit. Hidup kedua yang Tuhan berikan ini anggap anugerah, jangan di siakan,” terang Mami.

Diwang terdiam lama sekali, kembali setetes air mata basahi pipinya. Mami menghampiri dan membelai punggung serta merangkul pelan.

“Aku tidak ingin kembali ke sana Mami, untuk apa aku hidup. Aku sudah cacat, kotor dan tidak memiliki apapun lagi,” lirih Diwang sarat kesedikan.

“Kamu memiliki keluarga lain selain di Lempongsari itu?” tanya Mami kembali.

“Aku anak yatim piatu Mami, tidak memiliki saudara. Bapak Ibu juga anak tunggal.” Diwang menyusut sudut matanya yang basah.

“Jadi kamu tinggal sama siapa di Lempongsari?” Mami kembali duduk setelah Diwang dapat mengendalikan emosinya.

“Paman dan bibi.” Ucapan Diwang semakin lirih tenggelam bersama desiran angin sore cerah tersebut.

“Paman kamu?” Pertanyaan selanjutnya Mami ucapkan.

Satu pertanyaan Mami mampu membuat tubuh Diwang menggigil hebat. Mengusap kedua lengan berbalut kemeja panjang terbut, berharap gosokan pada tubuhnya mampu menghilangkan rasa kotor nan melekat pada Diwang yang sudah pasti tidak akan pernah mengubah keadaannya.

“Dasar binatang! Aduh Mami jadi mengumpat, maaf ya cantik. Jika kamu ingin bunuh diri karena merasa tidak mampu lagi hidup, silakan keluar dari rumah Mami sejauh mungkin dan bunuh dirilah. Tapi ...jika kamu memiliki sedikit saja rasa ingin bangkit, kamu boleh tinggal di sini sampai mampu kembali beraktivitas. Mami tinggal sendiri, selain para Asisten rumah tentu saja.” Mami menghembuskan nafas dan menyesap tehnya.

“Kamu kuliah, bekerja atau apa sebelumnya?” Kembali terlontar pertanyaan berikutnya dari Mami.

“Bekerja sebagai Manajer di sebuah showroom mobil di kabupaten Mi,” jawab Diwang.

Percakapan selanjutnya mengalir begitu saja, Diwang dapat merasakan Mami baik padanya dengan ikhlas. Akhirnya karena tidak memiliki apapun selain selembar badannya, Diwang meminta izin tinggal di Rumah Mami mpai ia dapat bekerja apapun dengan tenaganya.

Diwang memilih melanjutkan hidup dari pada mengakhiri seperti perkataan Mami, berharap semoga waktu dapat menyembuhkan sedikit saja luka pada kehidupannya. Mami tersenyum mengizinkan Diwang tinggal di sana.

Yang tidak Diwang ketahui adalah, sebuah rencana yang sudah Mami siapkan untuknya. Rencana yang begitu menyeramkan di mana Diwang tidak akan hidup sebagai dirinya lagi, melainkan Natasya, kebanggan rumah bordil sang mami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status