Zafran meremas kemudi mobil kuat-kuat hingga kedua telapak tangannya memutih. Sementara sepasang kaki pria itu memainkan pedal gas dan kopling secara bersamaan hingga menimbulkan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Wajah tampannya membeku dengan tatapan tajam lurus ke depan.
Pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya membuat amarah pria 25 tahun itu tersulut. Tanpa pikir panjang, dilepasnya pedal kopling hingga membuat mobil semi-sport metalik itu meluncur deras tepat ke arah Xpander yang berhenti sekitar dua puluh meter di depannya. Hasilnya, sebuah tubrukan dahsyat dua mobil bertenaga besar itu tidak bisa dihindari.
Zafran keluar dari mobilnya yang ringsek di bagian depan kemudian mengayun langkah panjang mendekati si Xpander. Empat orang pria berbadan besar layaknya tukang pukul, keluar dari mobil seraya membawa batangan besi sepanjang setengah meter di tangan mereka. Kening Zafran mengernyit. Belum pernah ia melihat orang-orang itu berkeliaran di wilaya
“Seingatku jalan ke rumah kamu tempo hari bukan lewat sini, Rin.” Zafran melongok ke luar, memindai lingkungan sekitar malam itu ketika mengantar Erin pulang. Tidak ada gapura serta jalan setapak kecil nan gelap seperti sebelumnya. Dilajukannya mobil perlahan di atas jalan rusak menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu.“Aku sama ibu pindah rumah, Zaf.” Erin menunduk, memainkan jari-jemari kurusnya.“Sepertinya kamu suka banget mainin jari tangan,” ucap Zafran lirih seraya menggenggam kedua tangan gadis muda di sampingnya. “Kenapa nggak telpon aku, hem?” tanya pria itu lembut. “Tenagaku cukup kuat kalau cuma buat angkat-angkat barang.”“Ih, dasar! Apaan, sih? Nggak jelas,” celoteh Erin menahan senyum malu-malu seraya mencubit lengan kiri Zafran pelan yang dibalas tawa kecil lelaki itu.“Jadi?”“Jadi apa?”“Kamu belum jawab pertanyaanku
“Selamat pagi.”Gio tersenyum manis ke arah Erin yang tengah berjalan terseok karena kesulitan membawa puluhan bungkus rempeyek kacang di tangan dan punggungnya. Gegas pria 29 tahun itu meraih bakul yang terisi penuh di punggung Erin tanpa menunggu persetujuan gadis tersebut.“Hei … hei … apa-apaan ini? Kamu siapa?” Erin kelabakan mempertahankan bakul. “Enak aja main ambil tanpa permisi dulu. Nggak bisakah bilang baik-baik?”Lagi-lagi Gio tersenyum. “Permisi. Aku mau bantu kamu bawain barang-barang ini, boleh?” godanya seraya mengedipkan sebelah mata.Erin terpaku. Tanpa sadar mulutnya melongo, terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai sebuah kibasan tangan Gio mengembalikan khayalnya ke dunia nyata.“Gio.”“Hah? Apa?” Erin gelagapan bergantian menatap wajah lelaki yang sedang tersenyum itu dan tangannya yang terulur.“Tadi kamu
Dengan pakaian compang camping, basah, serta penuh darah Zafran berdiri di tengah jalan raya perbatasan antarkota yang berada tepat di atas sungai tempat anak buah bos kasino membuang tubuhnya. Pria itu tidak peduli meski wajahnya kian pucat dan melemah, ia tetap berusaha berdiri tegak hingga sebuah sedan hitam mendekat.Zafran masih berdiri di tempatnya ketika sedan itu melaju kencang seraya membunyikan klakson.“Hei sudah bosan hidup, hah?!” hardik pengemudi sedan dari balik pintu mobil setelah sebelumnya menginjak pedal rem dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdecit.Zafran mendekat dengan langkah tertatih membuat si pengemudi bergidik ngeri. Penampilan pria tampan itu layaknya zombie yang tengah menyerang penduduk lokal. Hampir saja pengemudi sedan melarikan diri seandainya Zafran tidak lebih dulu limbung serta kehilangan kesadaran tepat di depan moncong mobil.Pria muda itu meletakkan tangan kanannya di kaca pintu samping kemudi, menj
Napas Erin memburu. Dada gadis tujuh belas tahun itu kembang kempis menampung seluruh oksigen yang dihirup dengan rakus. Sepasang kaki kecilnya terus dipacu demi menghindari lima pria bertubuh kekar yang mengejarnya seakan tidak mengenal lelah.Siang ini pasar tempat ia biasa memulung botol dan plastik bekas tampak ramai. Hanya satu dua kios saja yang tutup. Selebihnya buka dengan antrian yang tidak sepadat biasanya.Gadis berambut kuncir ekor kuda itu terus berlari dengan lincah. Meliuk ke kanan dan kiri menghindari orang berlalu lalang di jalanan yang sama supaya tidak bertubrukan. Sesekali kepala si gadis manis bertubuh kerempeng itu menoleh ke belakang. Memastikan posisi para penguntit yang masih setia mengejarnya.Kejadian seperti ini sudah menjadi pemandangan lumrah bagi pengunjung pasar. Tidak hanya Erin, puluhan orang lainnya pun pernah mengalami hal yang sama. Penyebabnya hanya satu; berhutang pada Rentenir Sanjaya tetapi tidak mampu melunasi.Se
“Aduh, Erin! Kamu masukin apa ke adonan ini?” Mela berkacak pinggang seraya menatap tidak percaya pada sebaskom adonan tepung untuk membuat rempeyek kacang yang sudah berubah warna menjadi sedikit kemerahan. Beruntung potongan-potongan kacang tanah belum tercampur di dalamnya.Erin yang sedang mengaduk adonan itu gelagapan sembari menghentikan gerakan tangannya. Rupanya si gadis manis tengah melamun. Matanya nanar menatap sebaskom cairan kental di hadapannya.“Loh, kok jadi agak pink?” lirihnya.“Itu yang dari tadi Ibu tanyain. Kenapa adonan rempeyek kacang kamu bisa berubah warna begitu? Kamu masukin apa tadi?”Erin mendongak, menatap Mela dengan wajah tanpa dosa. Tiba-tiba mata Mela membeliak lebar membuat Erin ketakutan.“Ma—maaf, Bu. Aku nggak tau kenapa bisa merah begitu,” ucapnya terbata.Mela menarik kursi di samping Erin dengan kasar. “Kamu diam di situ!” perintahnya s
“Beraninya cuma ngancem cewek. Mana badannya lebih kecil pula!”Erin menggulung lengan kausnya sebatas pundak, bersiap nenantang pria tampan di depannya untuk berkelahi. Kaki kanan ditarik ke belakang sementara kaki yang lain menekan tanah dengan kuat selayaknya membuat kuda-kuda.Si pria menggeleng pelan seraya menyeringai tipis. Sesekali diusapnya kasar ujung hidung bangirnya sekadar menahan tawa. Tidak tahan dengan tingkah Erin, akhirnya ia mengibaskan tangan kanan kemudian berbalik lalu beranjak pergi.“Hei! Mau ke mana kamu? Main kabur aja. Tadi ngancem-ngancem, sekarang takut. Dasar ayam sayur!”Zafran abai. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan teriakan si gadis berambut ekor kuda. Diembusnya napas berat setelah duduk dengan nyaman di balik kemudi mobil hitam metalik miliknya. Isi kepala lelaki itu dipenuhi gambar bunga melati yang tercetak hitam putih di bungkus rempeyek kacang Erin.Nyeri kembali menyeruak, memenuhi
“Mbak.”Tiba-tiba saja Zafran sudah berdiri di belakang Mbak Puji sambil mengucek matanya menggunakan sebelah tangan. Meski lirih dan serak, suara bocah lima tahun itu mampu membuat Mbak Puji yang tengah mengintip Sanjaya dari balik pintu besar, sport jantung. Untuk sesaat wajah wanita itu memucat.“Astagfirullah, Aden! Bikin Mbak kaget aja.” Mbak Puji mengurut dada, menetralkan debar jantung yang tidak beraturan. “Aden ngapain di sini?”Zafran tak menjawab. Sepasang mata kecilnya tidak berkedip menatap lurus ke depan di mana sebuah jasad manusia teronggok di bawah kaki sang kakek yang dengan santai menyulut sebatang cerutu lalu mengembuskan asapnya dengan rasa puas.Buru-buru Mbak Puji memasang badan untuk menutupi pemandangan yang dilihat Zafran. Wanita itu membungkuk, lalu berbisik. “Ayo kita kembali ke kamar.”“Untuk apa ke kamar? Bukankah di sini udaranya jauh lebih segar ketimbang di dalam
Sepasang mata lebam, darah mengalir di sudut bibir yang pecah, kaki yang sudah tidak bisa lagi menopang tubuh kurus itu. Zafran memindai keadaan Karyo yang terduduk lemas di sudut ruang tengah. Isi kepala bocah lima tahun tersebut sulit ditebak karena ekspresinya sangat datar. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut kecilnya.Untuk sesaat, Karyo bisa bernapas lega karena tiga tukang jagal itu berhenti memukulinya ketika Zafran dan Sanjaya masuk ruangan tersebut.“Bos.” Ketiganya bersamaan menyapa sang juragan.Sanjaya menoleh ke arah Zafran yang mematung di sampingnya. “Mau latihan mukulin orang?”Anak lelaki itu tidak menjawab. Sepasang matanya lekat menatap mata sayu Karyo yang seolah memohon ampunan.Lama menunggu jawaban yang tak kunjung keluar dari mulut cucunya, si kakek melambaikan tangan kirinya sebagai perintah agar ketiga tukang pukul itu melanjutkan aksi mereka.“Ayo kita duduk di sofa sa