Kasih hot dikit ya .... 😆😆😆
Setelah keduanya merasa puas dan lelah melanjutkan ikhtiar untuk mendapatkan momongan di kamar hotel itu, Rafka tertidur di samping Rania dengan sangat lelapnya. Sementara wanita itu masih terjaga. Kesulitan memejamkan kedua matanya. Ia jadi kepikiran dengan Aluna. Akhirnya Rania memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada adiknya. "Lun, kamu di mana? Ada di rumah? Malam ini aku dan Mas Rafka tidak pulang. Kita sedang berbulan madu di suatu tempat. Kamu hati-hati ya di rumah?" Di tempat lain Aluna merasa sangat kesal setelah membaca pesan dari kakaknya. Ia memang sengaja tidak pulang ke rumah agar Rafka dan Rania khawatir. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. "Ih, nyebelin. Pasti Mbak Rania sengaja banget mau manas-manasin aku. Lihat saja Mbak. Akan aku bongkar kebusukan suamimu itu. Akan aku buat Kak Rafka menikahiku dan bertanggung jawab atas anak yang aku kandung ini." Aluna tersenyum jahat. Ia tidak memperdulikan lagi perasaan kakaknya. Gadis itu sudah terlanjur sakit hati deng
"Kamu bicara apa, Sayang? Kamu tidak percaya kepadaku?" tanya Rafka lembut. Di dalam hatinya merasa risau. Apakah mungkin ia bisa mengutarakan kejadian itu kepada Rania? Lelaki tampan tersebut takut kehilangan istrinya. Ia sangat mencintai Rania. Rania terdiam mendengar sang suami yang justru bertanya balik kepadanya. Mungkinkah hatinya meragukan cinta Rafka? "Aku percaya kepadamu, Mas. Maaf, ya?" balasnya tak ingin mengecewakan Rafka. "Setelah ini mau ke mana?" Rafka mencoba mencari topik baru. Ia masih ingin jalan-jalan berdua dengan sang istri. Rania tampak berpikir sejenak. Kemudian ia mendekatkan bibirnya pada telinga Rafka seraya membisikkan sesuatu. "Kamu yakin?" tanya Rafka memastikan. Rania mengangguk cepat. Ia terlihat bersemangat. "Baiklah kalau kamu mau. Dengan senang hati aku akan mengajarinya." Mereka berdua pun melanjutkan makan pagi dan setelah itu mandi bersama lalu bersiap-siap pergi sesuai rencana. Di sebuah kantin, Aluna tampak mengerucutkan bibirnya. Ia se
Rania segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia tidak ingin merusak suasana kebahagiaan di antara mereka berdua. “Tidak, Mas. Aku bahagia kok. Siapa yang bersedih?” ujar Rania sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Ia kemudian mengajak Rafka untuk segera memasukkan semua barang-barang yang masih tertinggal “Kamu serius 'kan? Tidak sedang memikirkan sesuatu?” tanya Rafka lagi. “Iya. Aku tidak apa-apa kok. Beneran, Mas.” Tangan Rafka mengusap kepala Rania dengan sambil tersenyum. Lalu ia segera menjalankan mobil kembali menuju rumah sang mama. Beberapa waktu berlalu, mereka telah tiba di depan rumah Rosita. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri dan tersenyum kala menyadari siapa yang datang berkunjung. “Rafka, Rania ....,” sapanya antusias. “Ma ... sehat?” balas Rafka kembali bertanya. Ia dan Rania bergantian bersalaman dengan Rosita. “Alhamdulillah, sehat.” “Ini kami bawakan oleh-oleh buat Mama dan Julio,” ungkap Rania. “Wah banyak sekali ini. Ayo silahkan duduk kal
“Apaan sih, Mbak. Memangnya Aluna tahu kalau Mbak Rania mau pulang? Sudah pergi nggak pamit dulu. Pulang pun tiba-tiba. Nggak bawa oleh-oleh sama sekali. Mbak Rania nggak peduli ‘kan kalau Aluna nggak punya uang dan kelaparan sendirian di rumah.” Ucapan Aluna membuat Rania terdiam seketika. Ia pikir uang Aluna masih ada karena ia sudah memberikan sejumlah uang kepada adiknya tersebut. Rania segera meraih tangan Aluna kembali. “Lun, maafkan Mbak ya? Mbak pikir uang kamu masih banyak. Kenapa kamu nggak minta transfer sih?” “Handphone Mbak saja nggak bisa dihubungi kok.” Rania kembali terdiam. Ia memang belum mengecek ponselnya lagi. “Kalau begitu Mbak masakin ya, sekarang. Kebetulan mbak juga belum makan.” “Nggak perlu. Tadi udah dibeliin sama Bayu. Sekarang mau ke kamar. Banyak tugas kampus.” Aluna langsung melenggang pergi begitu saja. Rasanya ia ingin cepat-cepat mengaku bahwa dirinya sedang hamil. Dan meminta sang kakak ipar untuk bertanggung jawab. Rania bisa mendengar saat
Satu bulan kemudian. Pagi-pagi sekali Rania sudah menyiapkan sarapan. Ia juga sudah membersihkan seluruh area rumah bahkan sudah wangi dan rapi. Entah mengapa ia merasa sangat bersemangat pagi itu. Rafka tersenyum manis menghampiri sang istri yang tengah menyiapkan menu makan pagi. Tak lupa ia membantu Rania agar tidak kerepotan. Lelaki itu pun juga terlihat rapi dengan pakaian formalnya. Rencananya ia akan bertemu klien penting yang datang dari luar negeri. Kini perusahaannya semakin berkembang. Rafka duduk di kursi dan menarik satu piring untuknya. Namun tiba-tiba ia merasakan sebuah kecupan di pipinya. Lalu ia tersenyum dan seraya berkata, “Wangi banget kamu, Sayang.” :Lelaki tampan itu mengusap pelan kepala sang istri saat Rania duduk di sebelahnya kemudian menyandarkan kepala pada lengannya. “Kenapa ya, rasanya pengen dekat-dekat terus sama Mas Rafka. Nggak mau ditinggalin. Aroma parfum Mas selalu bikin kangen.” Rania berucap dengan manja. “Ada apa, sih? Kalau saja Mas ngga
“Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan pernah menikahi Aluna. Dan aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Rania. Camkan hal itu baik-baik.” Rafka berbicara dengan sangat yakin. Kilatan amarah jelas terpancar dari raut wajahnya. Bukan karena permintaan sang istri yang sungguh keterlaluan baginya. Tetapi karena sikap Aluna yang sangat tidak waras itu. “Kamu jangan egois, Mas. Berani berbuat juga harus berani bertanggung jawab.” “Tapi aku tidak melakukannya, Rania. Berapa kali harus aku katakan. Kamu lebih mempercayai adikmu daripada suami kamu sendiri.” Rania melangkah maju. Lalu mendorong dada Rafka dengan sangat kuat. “Aku benci kamu!” Wanita itu segera beranjak dari kamar Aluna. Ia sudah merasa sakit hati terhadap adik dan suaminya. Rania tidak peduli lagi apa yang hendak dilakukan mereka berdua. “Rania tunggu!” teriak Rafka. Rania berjalan cepat hendak masuk ke kamar dan berniat mengemasi barang-barangnya. Namun tiba-tiba kakinya terpeleset hingga ia terjatuh da
“Mama?” Rafka segera menghampiri sang mama. “Tolong Rafka, Ma. Rania terus mengusirku. Dia tidak mau aku tetap berada di sisinya,” keluh Rafka kepada sang mama. Rosita tersenyum tipis. “Kamu keluar dulu ya, Raf. Kasihan Rania. Biarkan mama yang mencoba menasehatinya.” Rafka mengangguk pelan. Sebelum benar-benar pergi, ia melihat ke arah Rania yang masih betah membuang muka. Lelaki itu terpaksa keluar dari ruangan Rania dan menunggu di luar. Aluna dan Bayu telah selesai makan. Gadis itu segera mengajak sahabatnya tersebut untuk kembali ke ruangan kakaknya. Tak lupa Aluna membeli satu botol air mineral. Ia tanpa malu meminta kepada Bayu meski telah menyakiti perasaanya berulang kali. “Makasih ya, Bay. Kamu memang sangat baik.” “Itu untuk siapa?” tanya Bayu penasaran. “Ya jelas untuk Kak Rafka lah. Siapa lagi. Pasti dia stres berat memikirkan Mbak Rania yang meminta cerai kepadanya. Em, seru banget. Kayak sinetron jadinya.” Aluna berucap tanpa rasa bersalah sedikitpun. Padahal se
Tanpa berpikir panjang Rafka menyetujui ajakan dari Bayu. Ia meminta lelaki itu untuk ikut ke dalam mobilnya. Sementara motor Bayu ditinggal di sana. Sahabat Aluna tersebut membawa Rafka ke rumah temannya yang biasanya pintar memperbaiki segala tentang produk elektronik. Tak terkecuali dengan CCTV. “Kenapa kita ke tempat ini?” “Itu teman aku, Kak Rafka. Pasti dia bisa mencari video yang hilang itu. Kakak tinggal kasih tahu tanggal dan waktu detailnya.” “Terima kasih, Bayu.” “Sama-sama, Kak.” Bayu dan Rafka duduk di sebuah kursi.Setelah menunggu beberapa menit, teman Bayu bersedia membantu. Tetapi butuh waktu yang cukup lama. “Tidak bisa langsung jadi ya, Bay. Nanti kalau sudah berhasil, aku langsung hubungi kamu deh. Gimana?” tanya teman Bayu memastikan. Bayu terlihat ragu-ragu untuk menjawab. Ia bertanya dahulu kepada Rafka. Apakah mau menunggu atau mencari tempat lain untuk memperbaiki data pada rekamannya. “Aku percayakan saja kepadanya. Aku yakin dia akan melakukan yang te