Eh, kenapa nih Rania? Bukannya seneng dibeliin ikat rambut yang baru. Kok malah sedih ya??? đ¤
Rania segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia tidak ingin merusak suasana kebahagiaan di antara mereka berdua. âTidak, Mas. Aku bahagia kok. Siapa yang bersedih?â ujar Rania sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Ia kemudian mengajak Rafka untuk segera memasukkan semua barang-barang yang masih tertinggal âKamu serius 'kan? Tidak sedang memikirkan sesuatu?â tanya Rafka lagi. âIya. Aku tidak apa-apa kok. Beneran, Mas.â Tangan Rafka mengusap kepala Rania dengan sambil tersenyum. Lalu ia segera menjalankan mobil kembali menuju rumah sang mama. Beberapa waktu berlalu, mereka telah tiba di depan rumah Rosita. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri dan tersenyum kala menyadari siapa yang datang berkunjung. âRafka, Rania ....,â sapanya antusias. âMa ... sehat?â balas Rafka kembali bertanya. Ia dan Rania bergantian bersalaman dengan Rosita. âAlhamdulillah, sehat.â âIni kami bawakan oleh-oleh buat Mama dan Julio,â ungkap Rania. âWah banyak sekali ini. Ayo silahkan duduk kal
âApaan sih, Mbak. Memangnya Aluna tahu kalau Mbak Rania mau pulang? Sudah pergi nggak pamit dulu. Pulang pun tiba-tiba. Nggak bawa oleh-oleh sama sekali. Mbak Rania nggak peduli âkan kalau Aluna nggak punya uang dan kelaparan sendirian di rumah.â Ucapan Aluna membuat Rania terdiam seketika. Ia pikir uang Aluna masih ada karena ia sudah memberikan sejumlah uang kepada adiknya tersebut. Rania segera meraih tangan Aluna kembali. âLun, maafkan Mbak ya? Mbak pikir uang kamu masih banyak. Kenapa kamu nggak minta transfer sih?â âHandphone Mbak saja nggak bisa dihubungi kok.â Rania kembali terdiam. Ia memang belum mengecek ponselnya lagi. âKalau begitu Mbak masakin ya, sekarang. Kebetulan mbak juga belum makan.â âNggak perlu. Tadi udah dibeliin sama Bayu. Sekarang mau ke kamar. Banyak tugas kampus.â Aluna langsung melenggang pergi begitu saja. Rasanya ia ingin cepat-cepat mengaku bahwa dirinya sedang hamil. Dan meminta sang kakak ipar untuk bertanggung jawab. Rania bisa mendengar saat
Satu bulan kemudian. Pagi-pagi sekali Rania sudah menyiapkan sarapan. Ia juga sudah membersihkan seluruh area rumah bahkan sudah wangi dan rapi. Entah mengapa ia merasa sangat bersemangat pagi itu. Rafka tersenyum manis menghampiri sang istri yang tengah menyiapkan menu makan pagi. Tak lupa ia membantu Rania agar tidak kerepotan. Lelaki itu pun juga terlihat rapi dengan pakaian formalnya. Rencananya ia akan bertemu klien penting yang datang dari luar negeri. Kini perusahaannya semakin berkembang. Rafka duduk di kursi dan menarik satu piring untuknya. Namun tiba-tiba ia merasakan sebuah kecupan di pipinya. Lalu ia tersenyum dan seraya berkata, âWangi banget kamu, Sayang.â :Lelaki tampan itu mengusap pelan kepala sang istri saat Rania duduk di sebelahnya kemudian menyandarkan kepala pada lengannya. âKenapa ya, rasanya pengen dekat-dekat terus sama Mas Rafka. Nggak mau ditinggalin. Aroma parfum Mas selalu bikin kangen.â Rania berucap dengan manja. âAda apa, sih? Kalau saja Mas ngga
âTidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan pernah menikahi Aluna. Dan aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Rania. Camkan hal itu baik-baik.â Rafka berbicara dengan sangat yakin. Kilatan amarah jelas terpancar dari raut wajahnya. Bukan karena permintaan sang istri yang sungguh keterlaluan baginya. Tetapi karena sikap Aluna yang sangat tidak waras itu. âKamu jangan egois, Mas. Berani berbuat juga harus berani bertanggung jawab.â âTapi aku tidak melakukannya, Rania. Berapa kali harus aku katakan. Kamu lebih mempercayai adikmu daripada suami kamu sendiri.â Rania melangkah maju. Lalu mendorong dada Rafka dengan sangat kuat. âAku benci kamu!â Wanita itu segera beranjak dari kamar Aluna. Ia sudah merasa sakit hati terhadap adik dan suaminya. Rania tidak peduli lagi apa yang hendak dilakukan mereka berdua. âRania tunggu!â teriak Rafka. Rania berjalan cepat hendak masuk ke kamar dan berniat mengemasi barang-barangnya. Namun tiba-tiba kakinya terpeleset hingga ia terjatuh da
âMama?â Rafka segera menghampiri sang mama. âTolong Rafka, Ma. Rania terus mengusirku. Dia tidak mau aku tetap berada di sisinya,â keluh Rafka kepada sang mama. Rosita tersenyum tipis. âKamu keluar dulu ya, Raf. Kasihan Rania. Biarkan mama yang mencoba menasehatinya.â Rafka mengangguk pelan. Sebelum benar-benar pergi, ia melihat ke arah Rania yang masih betah membuang muka. Lelaki itu terpaksa keluar dari ruangan Rania dan menunggu di luar. Aluna dan Bayu telah selesai makan. Gadis itu segera mengajak sahabatnya tersebut untuk kembali ke ruangan kakaknya. Tak lupa Aluna membeli satu botol air mineral. Ia tanpa malu meminta kepada Bayu meski telah menyakiti perasaanya berulang kali. âMakasih ya, Bay. Kamu memang sangat baik.â âItu untuk siapa?â tanya Bayu penasaran. âYa jelas untuk Kak Rafka lah. Siapa lagi. Pasti dia stres berat memikirkan Mbak Rania yang meminta cerai kepadanya. Em, seru banget. Kayak sinetron jadinya.â Aluna berucap tanpa rasa bersalah sedikitpun. Padahal se
Tanpa berpikir panjang Rafka menyetujui ajakan dari Bayu. Ia meminta lelaki itu untuk ikut ke dalam mobilnya. Sementara motor Bayu ditinggal di sana. Sahabat Aluna tersebut membawa Rafka ke rumah temannya yang biasanya pintar memperbaiki segala tentang produk elektronik. Tak terkecuali dengan CCTV. âKenapa kita ke tempat ini?â âItu teman aku, Kak Rafka. Pasti dia bisa mencari video yang hilang itu. Kakak tinggal kasih tahu tanggal dan waktu detailnya.â âTerima kasih, Bayu.â âSama-sama, Kak.â Bayu dan Rafka duduk di sebuah kursi.Setelah menunggu beberapa menit, teman Bayu bersedia membantu. Tetapi butuh waktu yang cukup lama. âTidak bisa langsung jadi ya, Bay. Nanti kalau sudah berhasil, aku langsung hubungi kamu deh. Gimana?â tanya teman Bayu memastikan. Bayu terlihat ragu-ragu untuk menjawab. Ia bertanya dahulu kepada Rafka. Apakah mau menunggu atau mencari tempat lain untuk memperbaiki data pada rekamannya. âAku percayakan saja kepadanya. Aku yakin dia akan melakukan yang te
âMama? Kenapa Mama memanggilku?â Rania segera menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia turun dari ranjang dan bercermin sejenak untuk memeriksa wajahnya yang terlihat sangat kusut. Dengan langkah berat Rania berjalan menuju pintu kamarnya. Ia membukanya dengan perlahan. âMama? Ada apa?â tanyanya pelan. âKamu masih menangis lagi. Maaf mama mengganggu. Mama hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Setelah ini tidur, ya? Jangan lupa vitaminnya diminum.â Rosita mengingatkan. Rania mengangguk pelan. âApalah Mas Rafka yang meminta Mama menengokku ke kamar?â Rosita menarik nafas dalam. âKamu benar, Sayang. Rafka sangat mengkhawatirkan kamu. Ia merasa bersalah karena tidak berada di sisimu. Rafka sampai tidak bisa tidur karena terus-terusan memikirkan kamu.â Lagi, Rosita membelai rambut panjang Rania. Hal yang akhir-akhir ini ia lakukan untuk menenangkan menantunya tersebut. Wanita paruh baya itu merasa sedih mengingat semua permasalaha yang selalu datang silih berganti un
Tentu saja Rania merasa semakin galau. Sehari tak bertemu Rafka saja sangat tersiksa baginya. Ia takut jika Delvin dan Resti berusaha menjauhkannya dari Rafka. âTidak bisa begitu, Res. Walau bagaimanapun juga Rafka masih suami Rania. Dan sekarang dia lagi hamil. Tidak mungkin mereka bercerai,â ungkap sang paman sambil menunjuk ke arah keponakannya. âSebenarnya Mas Rafka sekarang sedang mencari bukti, Paman. Ia sudah bersumpah bahwa Mas Rafka tidak pernah tidur dengan Rania.â âKamu peryaca?â tanya Delvin ingin tahu. Rania menggeleng lemah. Ia masih dilanda kebimbangan. Perasaannya lebih condong ke Rafka. Tetapi logika mengatakan hal yang bertentangan. âSebenarnya paman lebih percaya kepada Rafka. Kamu tenang saja, Rania. Paman akan ikut turun tangan dan menyelesaikan semua masalah ini.â Delvin mencoba menenangkan keponakannya. Hingga sesaat kemudian ponselnya berdering. Delvin menaikkan sebelah alisnya ketika melihat nama kontak yang meneleponnya. Ia segera mengangkat telepon itu.